Pov Tara"Sial, kenapa tidak diangkat sih!" Aku melempar ponsel di atas bantal. Dengan kesal kujatuhkan diri di ranjang empuk. Seketika bayang Alin datang menyapa, meninggalkan sesak dan penyesalan yang tak ada ujungnya. Kalau boleh jujur aku sangat mencintai dia. Kini aku menyesal meninggalkan dia demi Imelda, anak bau kencur dengan jutaan masalah yang ada. Kalau tahu menikah dengan anak muda tak enak, lebih baik aku mempertahankan Alin. Sial memang, niat hati dapat permata tapi nyatanya hanya duri yang menggoreskan luka. Rugi. "Mas Tara!" teriak Imelda hingga gendang telingaku rasanya mau pecah. "Mas sini!" Lagi suara cempreng itu terdengar, membuat hari liburku hancur berantakan. Nait hati cuti untuk menenangkan diri tapi justru lelah yang tiada bertepi. Aku beranjak, melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Lebih tepatnya kamar Aluna yang disulap menjadi kamar Imelda. Semenjak tubuhnya membengkak, aku enggan berada satu kamar dengannya. "Mas!" Teriakan Imelda disusul tangi
Pov TaraRumah kubuka, debu menempel di mana-mana. Rumah ini rindu sentuhan. Kehilangan Mama menjadikan rumah ini semakin sepi. Kaki melangkah, menaiki anak tangga. Tujuanku adalah kamar Satriya. Aku buka pintu yang masih tertutup rapat, namun tidak dikunci tersebut. Kamar Satriya masih tertata rapi meski debu menempel di barang dan ranjang. Kamar dengan nuansa putih itu masih sama. Dari letak hingga pernak-pernik yang menempel. Tak ada satu pun yang berubah di sini, tempat ini masih persis saat Satriya ada. Aku membuka lemari, hanya tinggal beberapa pakaian yang tersisa. Selebihnya kosong. Satriya pasti sudah mengambilnya sebelum pergi meninggalkan kota ini. Nakas kuperiksa, satu persatu laci kubuka. Dadaku bergetar kala melihat begitu banyak foto Alin di sana. Satriya memang seorang fotografer tapi aku tak menyangka begitu banyak wajah Alin yang berhasil ia abadikan. Sekarang aku baru sadar jika Satriya menyukai Alin sejak lama. Pantas saja ia begitu kekeh membela Alin. Padaha
Pov AlinSepi ketika Aluna dan Satriya tak ada di rumah. Rumah ini mendadak hening dan membosankan. Beberapa bulan bekerja dan kini tinggal di rumah, membuat rasa bosan kerap kali datang menyapa. Pekerjaan Satriya membuat ia berangkat sesuka hati. Sesuai jadwal dan lokasi pemotretan. Terkadang pagi sekali, kadang pula siang. Tak jarang ia pergi beberapa hari ke luar kota. Keluar kamar, aku langkahkan kaki menuju ruang keluarga untuk mencari keberadaan ibu. Lebih tepatnya mencari teman berbicara karena rasa bosan yang mendera. Beruntung masih ada ibu di sini, sehingga aku tidak terlalu kesepian. "Ibu sudah sarapan?" tanyaku seraya menjatuhkan bobot di sofa, tepat di samping ibu. Ibu menoleh ke samping, menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kujelaskan. Tatapan yang aku tahu, ia tak baik-baik saja. "Ibu kenapa?""Kangen bapakmu, Lin."Ibu menundukkan kepala, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Kehilangan bapak adalah luka yang tak bisa disembuhkan bagi ibu. Hanya
"Aluna!" Mas Tara berlari ke arah kami. Aluna yang hendak masuk ke mobil pun berhenti. Dia kembali keluar lalu berlari ke arah Mas Tara. Aku mengalihkan pandangan, tak sanggup menatap kehangatan itu. "Semua akan baik-baik saja, Sayang," ucap Satriya seraya mengelus pundakku. Lelaki itu seolah tahu apa yang kurasakan kini. Cukup lama aku dan Satriya diam, menatap Aluna yang asyik bercerita dengan Mas Tara. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya mengawasinya sedikit jauh. Aku dan Satriya berada di dekat mobil seraya melihat Aluna yang asyik disuapi Mas Tara di warung bakso tak jauh dari stasiun. Mantan suamiku begitu bahagia, begitu pula Aluna. Kini aku sadar, apa arti darah lebih kental dari pada air. "Bagaimana dengan pemotretan kamu, Yang?" tanyaku seraya melirik Satriya yang sibuk dengan ponselnya. "Sudah digantikan sama Gunawan, Yang. Aman."Aku bernapas lega, setidaknya Satriya berada di sampingku saat-saat seperti ini. Jujur aku takut Mas Tara nekat jika Satriya berangk
Pov Tara"Turun, Lun."Aluna terdiam, matanya awas menatap sekeliling. Lalu beralih padaku. Sebuah tanya tanya tergambar jelas di balik netra beningnya. Aku menghela napas, bingung harus menjelaskan bagaimana pada anak itu. Dulu rumah ini selalu bersih dan tertata rapi. Namun sekarang lihatlah, debu menempel di mana pun, tanaman layu, daun berserakan, belum lagi sampah yang menggunung di tong. Rumah ini sudah seperti tempat pembuangan sampah. "Papa tidak sempat bersih-bersih rumah, ya?" tanya putriku polos. Bersih-bersih? Dulu aku menyentuh sapu saja tak pernah. Semua pekerjaan rumah selalu diselesaikan Alin. Dia begitu cekatan mengurus rumah, apa lagi mengurusku. Kurangnya bersyukur membuatku lupa, jika dialah wanita paling sempurna yang Tuhan kirimkan untukku. Sayang, kini dia terlepas dan berada di pelukan Satriya, adikku. Hanya penyesalan yang kini menghantuiku. "Papa gak bersihin rumah, ya? Papi aja sering bantuin Mama kok."Seketika amarahku mendidih. Bisa-bisanya Aluna mem
Pov TaraAku paksa kaki melangkah menuju ruang Bu Amalia. Dalam hati muncul sebuah ketakutan, apa benar ia akan memecatku hanya karena aku membolos dua hari saja? Bukankah harus diberi peringatan terlebih dahulu? Pintu kuketuk pelan. Suara Bu Amalia terdengar dari balik pintu. Mendadak nyaliku menciut, dia memang wanita namun dia pemilik perusahaan ini. Orang yang dengan mudah mendepak diriku dari kantor. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku ragu. Wanita itu diam, menelisik penampilanku dari atas ke bawah. Kepalanya menggeleng hingga satu helaan napas keluar dari mulutnya. Apa lagi yang salah dengan penampilan ini? "Kenapa kamu bolos dua hari, Tara! Laporan berantakan, ini lagi jam segini baru datang! Kamu niat kerja apa enggak? Mau saya pecat?""Jangan, Bu. Saya ke Jakarta menjemput putri saya. Tolong maafkan kesalahan saya.""Itu bukan urusanku!" Bu Amalia menatapku tajam. Kilat kemarahan tergambar jelas di netranya. Aku terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati
Pov Alin"Mobilnya agak cepet, Yang. Perasaanku kok semakin gak enak.""Aluna pasti baik-baik saja, Sayang. Kamu yang tenang, banyak doa."Satriya segera melajukan kendaraan dengan cepat. Semakin dekat rumah Mas Tara, rasa takut semakin menyeruak masuk. Menciptakan rasa yang tak mampu kujelaskan. Mobil Mas Tara masih ada di halaman saat kami sampai. Segera kami keluar, bejalan beriringan menuju pintu. Sebuah ketukan dan ucapan salam menandakan keberadaan kami di rumah ini. "Assalamu'alaikum!" teriak kami seraya mengetuk pintu rumah. Sepi, rumah ini seolah tak berpenghuni. Ke mana perginya Mas Tara dan Aluna? Mendadak perasaanku semakin tak enak. "Bel rumah mati, ya, Yang?" tanya Satriya seraya memencet tombol warna putih itu beberapa kali. Aku menggeleng, tak tahu. Semenjak pindah ke rumah ibu dan resmi bercerai, aku tak tahu menahu tentang Mas Tara, apa lagi rumah ini. Kini memang berubah 180 derajat, entah kenapa, aku pun tak mau tahu. "Aluna! Lun... Ini mama, Nak!" Aku berter
Aku sudah seperti orang gila. Berteriak memanggil nama Aluna berulang kali. Tangis tak lagi bisa terhenti, meski banyak pasang mata menatap penuh tanda tanya. Jalan raya hingga gang kecil sudah kami jelajahi. Namun jejak Aluna tetap tak kutemukan. Entah di mana dia sekarang, aku tak tahu. "Ketemu, Yang?"Satriya mendekat, kepalanya menggeleng. Lemas, tubuhku luruh di trotoar. Tangisku kembali pecah. Aluna bak separuh jiwa, kehilangan dia bak kehilangan separuh hidupku. Entah apa yang terjadi jika ia tak kutemukan. Perlahan Satriya membantuku berdiri. Dia papah tubuh lemahku menuju mobil. Aku hanya bisa pasrah mengikuti gerakan lelakiku. "Makan dulu ya, Sayang," ucap Satriya setelah kami masuk ke mobil. "Aku gak laper. Aku mau Aluna, Yang."Satriya menghela napas, tak mampu berkata apa pun lagi. Bingung harus berbuat bagaimana. Namun dapat kulihat kekhawatiran dari sorot mata itu. "Kamu harus makan biar bisa cari Aluna. Kalau gak makan nanti kamu sakit, Yang. Bagaimana mau cari