Aku dan Satriya saling pandang. Perkataan Aluna tak hanya mengagetkan kami. Namun juga menyelipkan tanda tanya di hati kepala sekolah. Ini benar-benar di luar prediksi kami. Anak-anak memang lugu, mereka berbicara apa adanya, tak satu pun yang mereka tutup-tutupi. Kejujuran yang terkadang orang dewasa tak memilikinya. Hilang oleh rasa ego dan malu. "Ust Muslimah, tolong ajak Aluna bermain di luar! Kenalkan dia dengan lingkungan barunya," ucap Bu kepala sekolah. Beliau tahu perbincangan kali ini terlalu sensitif, tak pantas didengar oleh Aluna. Wanita yang mengenakan hijab menjuntai itu tersenyum. Kemudian ia jongkok hingga netranya bertemu dengan manik bening Aluna. Senyum ramah ia berikan sebagai salam pertemuan dengan gadis kecilku. "Perkenalkan saya Ustadzah Muslimah," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Aluna. Putri kecilku diam, menatap lekat Ustadzah Muslimah, kemudian menatapku. Sebuah tatapan yang menggambarkan keraguan. Tak heran, ini kali pertama mereka saling bertem
"Istri?""Iya istri.""Mas Satriya jangan bercanda dong. Mas, kan masih bujangan. Di m6y6y6edia sosial saja belum ada kabar jika Mas Satriya sudah menikah?""Iya, gak ada pesta."Aku mengepalkan tangan di samping. Menatap tajam lelaki yang justru tersenyum saat beradu pandang denganku. Satriya seolah tengah menguji kesabaranku. Begitu pun kedua wanita yang tak memiliki urat malu itu. Ah, menyebalkan. Perempuan sekarang seolah tak memiliki urat malu. Asal tampan pasti dikejar habis-habisan. Entah ke mana perginya sifat pemalu itu. "Saya memang sudah menikah, Mbak. Ini istri dan anak saya," ucapnya seraya melihat ke arahku dan Aluna. "Ha ha ha, Mas jangan bercanda dong. Gak mungkinlah Mas sudah menikah dengan Mbak ini. Gak serasi."Darahku berdesir, amarah kembali memuncak. Dua wanita itu semakin di diamkan semakin menjadi. Astaga, apa seperti ini wanita kota? "Dia lebih cocok jadi kakak kamu."DEG! Apa aku terlihat tua? Hingga tebakan wanita itu benar. Apa aku tak cocok menjadi is
Pov Tara"Sial, kenapa tidak diangkat sih!" Aku melempar ponsel di atas bantal. Dengan kesal kujatuhkan diri di ranjang empuk. Seketika bayang Alin datang menyapa, meninggalkan sesak dan penyesalan yang tak ada ujungnya. Kalau boleh jujur aku sangat mencintai dia. Kini aku menyesal meninggalkan dia demi Imelda, anak bau kencur dengan jutaan masalah yang ada. Kalau tahu menikah dengan anak muda tak enak, lebih baik aku mempertahankan Alin. Sial memang, niat hati dapat permata tapi nyatanya hanya duri yang menggoreskan luka. Rugi. "Mas Tara!" teriak Imelda hingga gendang telingaku rasanya mau pecah. "Mas sini!" Lagi suara cempreng itu terdengar, membuat hari liburku hancur berantakan. Nait hati cuti untuk menenangkan diri tapi justru lelah yang tiada bertepi. Aku beranjak, melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Lebih tepatnya kamar Aluna yang disulap menjadi kamar Imelda. Semenjak tubuhnya membengkak, aku enggan berada satu kamar dengannya. "Mas!" Teriakan Imelda disusul tangi
Pov TaraRumah kubuka, debu menempel di mana-mana. Rumah ini rindu sentuhan. Kehilangan Mama menjadikan rumah ini semakin sepi. Kaki melangkah, menaiki anak tangga. Tujuanku adalah kamar Satriya. Aku buka pintu yang masih tertutup rapat, namun tidak dikunci tersebut. Kamar Satriya masih tertata rapi meski debu menempel di barang dan ranjang. Kamar dengan nuansa putih itu masih sama. Dari letak hingga pernak-pernik yang menempel. Tak ada satu pun yang berubah di sini, tempat ini masih persis saat Satriya ada. Aku membuka lemari, hanya tinggal beberapa pakaian yang tersisa. Selebihnya kosong. Satriya pasti sudah mengambilnya sebelum pergi meninggalkan kota ini. Nakas kuperiksa, satu persatu laci kubuka. Dadaku bergetar kala melihat begitu banyak foto Alin di sana. Satriya memang seorang fotografer tapi aku tak menyangka begitu banyak wajah Alin yang berhasil ia abadikan. Sekarang aku baru sadar jika Satriya menyukai Alin sejak lama. Pantas saja ia begitu kekeh membela Alin. Padaha
Pov AlinSepi ketika Aluna dan Satriya tak ada di rumah. Rumah ini mendadak hening dan membosankan. Beberapa bulan bekerja dan kini tinggal di rumah, membuat rasa bosan kerap kali datang menyapa. Pekerjaan Satriya membuat ia berangkat sesuka hati. Sesuai jadwal dan lokasi pemotretan. Terkadang pagi sekali, kadang pula siang. Tak jarang ia pergi beberapa hari ke luar kota. Keluar kamar, aku langkahkan kaki menuju ruang keluarga untuk mencari keberadaan ibu. Lebih tepatnya mencari teman berbicara karena rasa bosan yang mendera. Beruntung masih ada ibu di sini, sehingga aku tidak terlalu kesepian. "Ibu sudah sarapan?" tanyaku seraya menjatuhkan bobot di sofa, tepat di samping ibu. Ibu menoleh ke samping, menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kujelaskan. Tatapan yang aku tahu, ia tak baik-baik saja. "Ibu kenapa?""Kangen bapakmu, Lin."Ibu menundukkan kepala, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Kehilangan bapak adalah luka yang tak bisa disembuhkan bagi ibu. Hanya
"Aluna!" Mas Tara berlari ke arah kami. Aluna yang hendak masuk ke mobil pun berhenti. Dia kembali keluar lalu berlari ke arah Mas Tara. Aku mengalihkan pandangan, tak sanggup menatap kehangatan itu. "Semua akan baik-baik saja, Sayang," ucap Satriya seraya mengelus pundakku. Lelaki itu seolah tahu apa yang kurasakan kini. Cukup lama aku dan Satriya diam, menatap Aluna yang asyik bercerita dengan Mas Tara. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya mengawasinya sedikit jauh. Aku dan Satriya berada di dekat mobil seraya melihat Aluna yang asyik disuapi Mas Tara di warung bakso tak jauh dari stasiun. Mantan suamiku begitu bahagia, begitu pula Aluna. Kini aku sadar, apa arti darah lebih kental dari pada air. "Bagaimana dengan pemotretan kamu, Yang?" tanyaku seraya melirik Satriya yang sibuk dengan ponselnya. "Sudah digantikan sama Gunawan, Yang. Aman."Aku bernapas lega, setidaknya Satriya berada di sampingku saat-saat seperti ini. Jujur aku takut Mas Tara nekat jika Satriya berangk
Pov Tara"Turun, Lun."Aluna terdiam, matanya awas menatap sekeliling. Lalu beralih padaku. Sebuah tanya tanya tergambar jelas di balik netra beningnya. Aku menghela napas, bingung harus menjelaskan bagaimana pada anak itu. Dulu rumah ini selalu bersih dan tertata rapi. Namun sekarang lihatlah, debu menempel di mana pun, tanaman layu, daun berserakan, belum lagi sampah yang menggunung di tong. Rumah ini sudah seperti tempat pembuangan sampah. "Papa tidak sempat bersih-bersih rumah, ya?" tanya putriku polos. Bersih-bersih? Dulu aku menyentuh sapu saja tak pernah. Semua pekerjaan rumah selalu diselesaikan Alin. Dia begitu cekatan mengurus rumah, apa lagi mengurusku. Kurangnya bersyukur membuatku lupa, jika dialah wanita paling sempurna yang Tuhan kirimkan untukku. Sayang, kini dia terlepas dan berada di pelukan Satriya, adikku. Hanya penyesalan yang kini menghantuiku. "Papa gak bersihin rumah, ya? Papi aja sering bantuin Mama kok."Seketika amarahku mendidih. Bisa-bisanya Aluna mem
Pov TaraAku paksa kaki melangkah menuju ruang Bu Amalia. Dalam hati muncul sebuah ketakutan, apa benar ia akan memecatku hanya karena aku membolos dua hari saja? Bukankah harus diberi peringatan terlebih dahulu? Pintu kuketuk pelan. Suara Bu Amalia terdengar dari balik pintu. Mendadak nyaliku menciut, dia memang wanita namun dia pemilik perusahaan ini. Orang yang dengan mudah mendepak diriku dari kantor. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku ragu. Wanita itu diam, menelisik penampilanku dari atas ke bawah. Kepalanya menggeleng hingga satu helaan napas keluar dari mulutnya. Apa lagi yang salah dengan penampilan ini? "Kenapa kamu bolos dua hari, Tara! Laporan berantakan, ini lagi jam segini baru datang! Kamu niat kerja apa enggak? Mau saya pecat?""Jangan, Bu. Saya ke Jakarta menjemput putri saya. Tolong maafkan kesalahan saya.""Itu bukan urusanku!" Bu Amalia menatapku tajam. Kilat kemarahan tergambar jelas di netranya. Aku terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati