"Aluna nyoba baju, yuk. Itu bajunya bagus banget, lho," ucap Ibu mengalihkan pembicaraan. Putri kecilku mengangguk lalu melangkah mengikuti Ibu. Aku bernapas lega, setidaknya aku tidak menjawab pertanyaannya itu. Mbak Citra mulai memoles wajahku. Entah apa saja yang ia tempelkan di wajahku. Aku tak memperhatikan. Lagi, pikiranku masih membayangkan akan nasib pernikahan ini. Bagaimana akhir kisah ini, bahagia atau justru nelangsa? "Sudah selesai belum?" Suara bariton itu membuat aku melirik dari balik cermin. Pak Leo mendekat dengan jas putih senada dengan gaun yang kukenakan. Wajahnya tampan penuh kharisma tetapi tak membuat hati ini bergetar. "Kamu cantik sekali, Alin," ucapnya dengan mata berbinar. Aku menoleh sekilas lalu kembali menatap cermin. Bahkan bibir kupaksa tersenyum, semua demi menyenangkan hati lelaki itu. Meski aku sendiri terluka. Ah, perasaanku sama sekali tidak ada artinya. "Siapa dulu MUA-nya?""Oke, akan kuberi kamu bonus.""Terima kasih Pak Leo." Seulas sen
"STOP!" teriak Satriya lalu melangkah mendekat. Pak Leo mengedipkan mata, seketika dua lelaki bertubuh tegap mencekal tangan Satriya. Spontan aku berdiri tapi dengan cepat tangannya mencekalku. Aku kembali duduk sambil menatapnya dengan kesal. "Sa-sakit, Mas.""Diam!" Aku menutup mulut rapat. Tatapan lelaki itu membuat nyaliku menciut. "Lanjutkan pernikahan ini, Pak." Pak Leo menatap tajam ke arah lelaki di hadapan kami. "Tapi, Pak ....""Lanjutkan pernikahan ini!"Aku menoleh ke belakang, Satriya di seret keluar ruangan. Kejadian ini membuat semua orang menatap tanda tanya ke arah kami. "Satriya, tolong aku!" pintaku dalam hati. "Hadap ke depan, Alin!" Tanpa menjawab kulakukan perintahnya. "Saya bilang lanjutkan pernikahan ini!" Pak Leo melotot, matanya seperti mau copot. Pak penghulu dan para saksi saling pandang. Aku sangat berharap semoga mereka menolak permintaan gila Pak Leo. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan, aku tidak mau. "Baik, Pak."Pak penghulu menjabat tanga
Pov Tara"Seorang pengusaha terkenal batal menikah karena ditangkap polisi."Aku letakkan cangkir di atas meja. Mata fokus menatap layar televisi. Mataku membola melihat calon pengantin yang ia maksud. Pak Leo... Kenapa dia ditangkap polisi? Aku semakin fokus menatap layar itu. Posisi pengantin wanita yang membelakangi kamera membuatku tidak mengetahui siapa dia. Rasa penasaran kian menjadi, kukeraskan suara televisi. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri. Rasa tak percaya hadir saat melihat lelaki berkemeja yang berdiri di samping pengantin wanita. Satriya, kenapa dia ada di sana? Jangan-jangan pengantin wanita itu Alin, mantan istriku. Aku kepalkan tangan kanan ini, seketika amarah memenuhi rongga dada. Alin dan Satriya menikah di sebuah hotel mewah. Sial*n! Kenapa selalu anak itu yang beruntung, kenapa tidak aku saja? PYARCangkir yang ada di atas meja kubanting hingga hancur menjadi serpihan kecil. Satriya kenapa kamu selalu mendapatkan apa yang kuinginkan? Harusnya kamu hila
"Kamu suka rumahnya?" Satriya menatapku, tangannya menggenggam tangan ini mesra. Aku kembali menatap rumah minimalis dua lantai yang berada tepat di depanku. Halamannya memang tak seluas rumah ibu dan bapak. Namun rumah ini sangat indah, baik warna maupun modelnya. "Suka, Sat.""Jangan panggil nama, Alin. Satriya sudah menjadi suami kamu!" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, "oke," jawabku. Satriya tersenyum, tangannya kian erat menggenggamku. Kami seperti anak sekolah yang sedang jatuh cinta. Sungguh memalukan memang. Namun kenyataannya seperti itu. Cinta terkadang melupakan logika, bahkan usia. "Boleh masuk gak sih, Om?" tanya Aluna seraya menarik ujung kemeja yang Satriya kenakan. "Boleh, Sayang. Ini kuncinya."Aluna antusias membuka pintu rumah. Ditemani ibu dia masuk terlebih dahulu. Aku dan Satriya masih berada di teras. Kami menatap berbagai jenis bunga yang tersusun rapi di halaman rumah. "Kamu juga yang memilih tanamannya, Sat?"Lelaki yang kini menjadi suamiku it
Aku melonjak kaget. Teriakan Aluna sudah seperti sirine kebakaran, keras dan mengejutkan. Aku dan Satriya saling pandang. Lelaki itu menghela napas. Melihat ekspresinya membuatku menahan tawa. Tampaknya ia harus bersabar lagi. "Gagal lagi!" Dia menepuk jidatnya. "Mama buka pintunya!" teriaknya lagi. Segera aku berlari masuk ke kamar mandi. Kupakai kembali pakaian itu. Untung kamar sudah terkunci, kalau tidak ... Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi. Aluna sudah berada di atas ranjang saat pintu kamar mandi kubuka. Dia tengah bercanda dengan Satriya. Sesekali tertawa, entah apa yang membuatnya tertawa. Mereka berdua memang begitu dekat. "Aluna belum ngantuk?" tanyaku saat menjatuhkan bobot di atas ranjang, tepat di samping Aluna. "Aluna gak bisa bobog sendiri, Ma. Takut."Aku memaklumi jika Aluna tak berani tidur sendirian. Ini malam pertama dia tidur di kamar barunya. Takut dan tak nyaman pasti ia rasakan. Namun perlahan ia akan terbiasa. "Ya udah bobog sini sama Mama."
Aku dan Satriya saling pandang. Perkataan Aluna tak hanya mengagetkan kami. Namun juga menyelipkan tanda tanya di hati kepala sekolah. Ini benar-benar di luar prediksi kami. Anak-anak memang lugu, mereka berbicara apa adanya, tak satu pun yang mereka tutup-tutupi. Kejujuran yang terkadang orang dewasa tak memilikinya. Hilang oleh rasa ego dan malu. "Ust Muslimah, tolong ajak Aluna bermain di luar! Kenalkan dia dengan lingkungan barunya," ucap Bu kepala sekolah. Beliau tahu perbincangan kali ini terlalu sensitif, tak pantas didengar oleh Aluna. Wanita yang mengenakan hijab menjuntai itu tersenyum. Kemudian ia jongkok hingga netranya bertemu dengan manik bening Aluna. Senyum ramah ia berikan sebagai salam pertemuan dengan gadis kecilku. "Perkenalkan saya Ustadzah Muslimah," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Aluna. Putri kecilku diam, menatap lekat Ustadzah Muslimah, kemudian menatapku. Sebuah tatapan yang menggambarkan keraguan. Tak heran, ini kali pertama mereka saling bertem
"Istri?""Iya istri.""Mas Satriya jangan bercanda dong. Mas, kan masih bujangan. Di m6y6y6edia sosial saja belum ada kabar jika Mas Satriya sudah menikah?""Iya, gak ada pesta."Aku mengepalkan tangan di samping. Menatap tajam lelaki yang justru tersenyum saat beradu pandang denganku. Satriya seolah tengah menguji kesabaranku. Begitu pun kedua wanita yang tak memiliki urat malu itu. Ah, menyebalkan. Perempuan sekarang seolah tak memiliki urat malu. Asal tampan pasti dikejar habis-habisan. Entah ke mana perginya sifat pemalu itu. "Saya memang sudah menikah, Mbak. Ini istri dan anak saya," ucapnya seraya melihat ke arahku dan Aluna. "Ha ha ha, Mas jangan bercanda dong. Gak mungkinlah Mas sudah menikah dengan Mbak ini. Gak serasi."Darahku berdesir, amarah kembali memuncak. Dua wanita itu semakin di diamkan semakin menjadi. Astaga, apa seperti ini wanita kota? "Dia lebih cocok jadi kakak kamu."DEG! Apa aku terlihat tua? Hingga tebakan wanita itu benar. Apa aku tak cocok menjadi is
Pov Tara"Sial, kenapa tidak diangkat sih!" Aku melempar ponsel di atas bantal. Dengan kesal kujatuhkan diri di ranjang empuk. Seketika bayang Alin datang menyapa, meninggalkan sesak dan penyesalan yang tak ada ujungnya. Kalau boleh jujur aku sangat mencintai dia. Kini aku menyesal meninggalkan dia demi Imelda, anak bau kencur dengan jutaan masalah yang ada. Kalau tahu menikah dengan anak muda tak enak, lebih baik aku mempertahankan Alin. Sial memang, niat hati dapat permata tapi nyatanya hanya duri yang menggoreskan luka. Rugi. "Mas Tara!" teriak Imelda hingga gendang telingaku rasanya mau pecah. "Mas sini!" Lagi suara cempreng itu terdengar, membuat hari liburku hancur berantakan. Nait hati cuti untuk menenangkan diri tapi justru lelah yang tiada bertepi. Aku beranjak, melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Lebih tepatnya kamar Aluna yang disulap menjadi kamar Imelda. Semenjak tubuhnya membengkak, aku enggan berada satu kamar dengannya. "Mas!" Teriakan Imelda disusul tangi