Sudah tiga hari setelah insiden memalukan itu. Namun hingga detik ini Satriya tak juga menampakkan batang hidungnya. Jangankan meminta maaf, nomornya saja tidak aktif. "Lin."Suara panggilan disertai ketukan pintu mengusik lamunanku. Dengan langkah gontai aku membuka pintu. Seorang wanita menatap iba ke arahku. Entah mengapa aku membenci tatapan itu. "Jangan tatap aku seperti itu, Bu."Ibu mengangguk, sudut bibir ia tarik paksa hingga membentuk sebuah lengkungan ke atas. Namun terlihat jelas itu sebuah keterpaksaan semata. Seperti aku, Ibu juga mengalami kekecewaan. Dia terluka, mungkin jauh lebih terluka. "Kamu tidak makan, Lin?"Aku melirik jam yang menempel di dinding. Sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Ibu memintaku makan. "Aluna ikut ke sawah lagi, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Iya."Aku membungkuk saat melewati Ibu yang berdiri di depan kamar."Alin, tunggu!"Aku menghentikan langkah, menatap wanita yang telah melahirkanku dengan penuh tanda tanya. Ibu mengajak
"Maaf, ini istri Satriya, kan? Kenapa Satriya tidak balik lagi ke Jakarta, Mbak?""Maaf, Mas. Saya dan Satriya batal menikah karena Satriya tidak datang di hari pernikahan kami.""Tidak mungkin. Mbak Alin jangan bercanda. Jelas-jelas Satriya pulang untuk menikah. Bahkan rumah di Jakarta sudah di siapkan, tinggal menempati saja."Aku mematung, sebuah tanda tanya besar memenuhi pikiranku. Kalau Satriya tidak ke Jakarta. Lalu ke mana dia? Apa jangan-jangan .... "Hallo, Mbak Alin masih di situ, kan?" tanyanya lagi. "I-iya," jawabku terbata. "Tolong suruh Satriya ke Jakarta secepatnya."Panggilan telepon ia matikan. Sebuah tanda tanya kembali hadir. Jika Satriya tidak di Jakarta, lalu di mana dia sekarang?"Ma, itu Om Satriya, ya?" Aluna menarik ujung hijab yang aku kenakan."Bukan, tadi temannya Om telepon Mama.""Ah, kenapa bukan Om Satriya?" Aluna mengerucutkan bibir, merajuk. Aku tahu dia merindukan Satriya. Namun sekarang keberadaan Satriya saja tak tahu di mana. Telepon tadi kia
"Tak usah teriak, Satriya tidak ada di sini.""Kamu sembunyikan di mana Satriya, Mas?" "Untuk apa menyembunyikan dia. Dia sudah pergi dan aku tak peduli dengannya.""Tapi dia adik kamu, Mas.""Sudahlah jangan kamu terus mencari Satriya yang gak tahu rimbanya. Di depan sini ada aku yang mencintai kamu dengan tulus. Kembalilah Alin, kita rajut asa bersama lagi.""Sat... Satriya!" teriakku lagi. Masa Tara tersenyum sinis ke arahku. Raut kebahagiaan tergambar jelas di sana. Dasar kakak tak punya hati dan perasaan. "Ketemu, Lin?" tanyanya setelah aku menggeledah semua isi rumah. Namun Satriya tetap tidak ada. Kalau bukan di sini lalu di mana dia? "Sudah aku katakan Satriya tidak ada di sini, Sayang." Mas Tara mendekat, dengan cepat aku berlari keluar rumah. Bahaya jika aku di sana terlalu lama. Mobil kembali kujalankan. Ada yang aneh dalam rumah itu. Kenapa Imelda tidak ada di sana? Apa mereka sedang bertengkar? Ah, untuk apa aku memikirkan urusan orang lain. Saat ini yang paling pent
"Bagaimana, Dok?"Dokter itu menghembuskan napas berat. Tatapan matanya membuat aku yakin ada hal buruk yang akan ia sampaikan. "Maaf, Mbak... Pasien tidak bisa kami selamatkan."Pelan ia berucap tapi bagai halilintar yang menyambar. Hingga mampu membuat tubuhku lemas bagai tak ada tulang di dalamnya. "Sabar, Mbak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkehendak lain."Aku luruh, kaki ini tak mampu lagi menopang tubuh. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. "Bapak...," ucapku lirih. Dokter kembali masuk, ia tinggalkan aku dalam keterpurukan. Tuhan, kenapa Engkau ambil lagi orang yang berharga dalam hidupku? Kenapa secepat ini Bapak pergi dariku. "Tolong urus administrasinya agar jenazah bisa segera dibawa pulang," ucap suster yang kini berdiri di sampingku. "Baik, Sus."Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan ruang operasi. Walau berat kupaksa kaki untuk terus melangkah. Sesekali kuhapus jejak air mata yang menempel di pipi. Semua mata menata
Perlahan kuputar knop pintu. Tidak dikunci, tak mungkin ibu pergi tanpa mengunci pintu depan. Jangan-jangan Ibu di dalam kamar. "Assalamu'alaikum," salamku sambil terus melangkah masuk."Alin." Ibu keluar dari kamar. Sempat kulirik kamar yang terbuka lebar. "Aluna sudah tidur, bagaimana keadaan Bapak, Lin?"Aku diam, mulut ini terasa kelu. Bingung, kata apa yang akan aku ucapkan agar ibu tidak syok dan jatuh pingsan. "Alin, Bapak kamu mana? Bapak baik-baik saja, kan?" cecar Ibu karena aku hanya membisu. "Duduk dulu, Bu." Aku tuntun Ibu lalu mengajaknya duduk di kasur lantai yang ada di depan televisi. Ibu diam, sorot mata penuh tanda tanya tergambar jelas di sana. "Bapak di mana, Lin? Bapak baik-baik saja, to?"Aku tarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Aku atur kata yang akan keluar. Lagi, agar tidak mengejutkan Ibu. "Katakan apa yang terjadi, Lin. Bapak kamu tidak kenapa-napa, kan?""Ba-Bapak, Bu." Air bening nan hangat kembali terjun dan membasahi pipi ini. Begitu suli
"Bagaimana, Alin? Apa kamu menerima tawaranku?" Aku membisu, tawaran Pak Leo begitu berat bagiku. Tidak mungkin aku menyetujui pernikahan itu, sedang statusku masih calon istri orang. Namun Bapak tidak bisa menunggu terlalu lama. Jasadnya harus segera dikebumikan. Tuhan... Kenapa aku selalu berada di situasi seperti ini? Memilih sesuatu yang begitu berat untuk aku lakukan. "Untuk apa memikirkan Satriya. Jelas-jelas dia tak datang di hari pernikahan kalian. Lelaki tidak bertanggung jawab!"Ingin aku bertanya kenapa dia tahu segalanya tentangku. Namun aku tersadar dia bergelimang harta. Dia pasti tahu dengan mudah. Uang bisa membeli segalanya? Apa termasuk membeliku? "Kenapa diam? Ucapanku benar, kan? Satriya bukan lelaki yang baik untukmu. Dia pergi menorehkan luka di hatimu bahkan di hati kedua orang tuamu. Untuk apa kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti, Alin.""Satriya pasti datang. Aku yakin itu."Pak Leo mencebikkan bibir lalu menatap tak suka ke arahku. Seketika nyaliku menc
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah satu minggu Bapak pergi meninggalkan kami. Rumah ini seakan mati, tidak ada gelak tawa yang selalu hadir ketika beliau masih ada. Bahkan di saat kami terpuruk, Bapak mampu memberi warna dan semangat baru. Aku mengatur napas, menghilangkan sesak yang kembali hadir. Bohong jika aku baik-baik saja. Aku hanya berusaha kuat demi Aluna dan Ibu. Meski sebenarnya hatiku hancur. Nada dering panggilan masuk menyentak lamunanku. Segera kuambil benda pipih yang tergeletak di atas kasur. Membuang napas kasar saat kulihat siapa penelepon itu. Terpaksa kutarik gambar telepon berwarna hijau ke atas. Akan jadi masalah jika telepon lelaki itu aku abaikan. "Aku kirim alamat, kamu segera ke sini."Belum sempat aku menjawab panggilan telepon dia matikan sepihak. Menyebalkan. Tidak berapa lama sebuah pesan masuk. Pak Leo mengirimkan sebuah alamat. Terpaksa aku harus pergi. Segera kuganti daster dengan gamis berwarna navy senada dengan hijab yang akan aku
"Apa maksud Pak Leo?"Seketika wajahnya menjadi tegang. Dia mengalihkan pandangan ke samping. "Jangan-jangan Pak Leo yang ....""Apa? Kamu pikir aku yang sudah mencelakai calon suami kamu?" Pak Leo menatapku tajam. Seketika nyaliku menciut. Dia bagai singa kelaparan yang siap menerkam mangsanya, dan itu aku. "Lalu apa maksud ucapan Pak Leo barusan?""Bagiku lelaki yang pergi di hari penting lalu menghilang, dia sudah mati. Tak perlu lagi diharapkan."Kalimat itu memukul telak diriku. Apa aku terlalu bodoh karena masih mengharapkan kedatangan Satriya? Meski hanya sia-sia saja? Bahkan aku tidak tahu di mana lelaki itu berada. Naif memang, tapi hati kecilku berkata demikian. "Kalau benar yang kamu lihat itu Satriya, kenapa dia tidak ke rumahmu? Kenapa dia tidak meminta maaf? Untuk apa kamu masih memikirkan lelaki seperti dia?"Aku menundukkan kepala, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Perkataan Pak Leo memang benar. Jika itu Satriya, kenapa ia tak pernah datang hanya untu