Pagi ini langit terlihat muram, hingga air bening turun tanpa permisi. Sempat aku menatap ke atas, memastikan sinar mentari apakah masih bersembunyi atau sebentar lagi akan berseri. Namun tampaknya hujan masim mendominasi. "Mau berangkat jam berapa, Lin? Ini sudah jam enam lebih," ucap Bapak yang tengah memperhatikan aku dari teras. Sesekali ia seruput kopi yang ada di dalam cangkir bening itu. Hujan-hujan begini memang nikmat minum kopi hangat atau teh hangat. "Ini mau berangkat, Pak." Aku melangkah masuk untuk mengambil tas dan berpamitan dengan Aluna. "Bawa payung, Lin!" teriak ibu dari dapur. "Iya, Bu."Setelah berpamitan dengan Aluna aku kembali berjalan keluar.Tak lupa kubawa payung sesuai permintaan ibu. "Berangkat dulu, Pak." Kuletakkan payung lalu mencium tangannya dengan takzim. Sebelum pergi aku comot pisang goreng yang ada di atas meja. Lumayan untuk bekal berangkat kerja. Mobil melaju meninggalkan rumah. Dalam keadaan hujan membuatku tak berani melajukan mobil den
Aku melotot mendengar ucapan Pak Leo. Calon istri? Apa dia tak waras? Astaga... Cobaan apa lagi ini? Pak Leo mendekat, menyelipkan tangannya di sela jemariku. Seketika jantungku berdebar. Ada aliran listrik yang masuk ke seluruh tubuh. Apa-apaan ini? "Masa iddah Alin sudah selesai, sebentar lagi kami akan menikah." Pak Leo menatap ke arahku. "Bukan begitu, Alin?"Aku hanya tersenyum, entah mengapa mulutku kelu. Bahkan untuk berkata tidak saja begitu sulit. "Apa benar, Lin?"Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa yang harus kukatakan? Hingga memilih diam adalah solusi bagiku. "Diamnya Alin adalah jawaban iya, Pak Tara."Mas menatap kami tajam, tangannya mengepal. Kilau kemarahan tergambar jelas di sana. "Ayo, Sayang. Kita harus meeting dengan klien sebentar lagi." Pak Leo menuntun tanganku hingga ke pintu. Kemudian ia membalikkan badan, menatap Mas Tara dengan pandangan yang sulit kuartikan. "Urusi saja istri dan calon anakmu,Pak Tara. O, ya satu lagi... Perbaiki penampilanmu.
Sudut bibirku tertarik ke atas membaca undangan wisuda itu. "Seriusan ini, Sat? Wah, predikat mahasiswa abadi lengser dong." Satriya mencebikkan bibir. Mendadak ia kesal, sudah persis Aluna saat keinginannya tidak aku turuti. "Silakan, Mbak." Pemilik warung itu meletakkan dua mangkuk soto di atas meja. Tanpa menunggu, kami mulai menikmati makanan itu. Aku harus meniupnya terlebih dahulu agar panas kuah sedikit berkurang. Rasa lapar membuat makanan sederhana begitu nikmat di lidah. "Aku sudah siap, Mbak." Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan ucapannya. Dengan santainya aku meneguk teh hangat itu. "Aku siap menjadi suami kamu, Mbak."Uhuk... Uhuk.... Sepanjang jalan kami diselimuti keheningan. Rasa canggung kian menerpaku. Sebegitu sulitnya menolak pernyataan cinta seseorang. "Aku tidak mencintai wanita lain, Mbak," ucap Satriya seakan tahu isi kepalaku. "Cinta bisa tumbuh dengan sendirinya, Sat.""Berarti itu berlaku untuk Mbak Alin, dong. Cinta bisa tumbuh di hatimu un
Semilir angin melambai,menyentuhku. Bahkan dinginnya malam menusuk tulang ini. Namun tak sedikit pun mengusikku. Aku termenung duduk di teras depan. Sesekali menepuk kaki atau tangan. Karena nyamuk datang mengganggu. Tapi lagi dan lagi tidak membuatku beranjak meninggalkan tempat ini. Aku masih mematung.Bayang kejadian tadi siang kembali hadir,bahkan terasa memenuhi kepalaku. Wajah sedih dan kecewa Satriya serta wajah penuh harap Pak Leo. Kini aku berada di antara mereka.“Kamu belum tidur,Lin?” Aku menoleh, menatap wanita yang tengah berdiri di tengah-tengah pintu.“Belum ngantuk,Bu,” jawabku sekenanya.Ibu menggelengkan kepala lalu melangkah mendekatiku. Dia menjatuhkan bobot di kursi kayu yang berada tepat di sampingku.“Kamu masih memikirkan kejadian tadi pagi?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Ibu menatap lurus ke depan. Seolah menerawang masa depan.“Iya,Bu.”Wanita itu menghela napas lalu menggeser tubuh hingga mampu menatap lekat netra ini. Tatapan itu seolah menelisik kejuj
Cukup aneh jika seorang pengusaha ingin menikahi karyawannya yang sudah janda sepertiku. Sementara di luar sana banyak wanita yang tergila-gilanya padanya. Mereka pasti jauh lebih cantik dan berpendidikan tinggi. Bukan seperti diriku ini.Orang bilang cinta tak mengenal tahta,harta bahkan rupa. Namun kata-kata itu tak masuk dalam kepalaku. Banyak lelaki selingkuh karena istrinya sudah tak menarik lagi. Apa itu definisi cinta tak memandang rupa? Ada pula yang wanita meminta cerai karena suaminya bangkrut. Lalu cinta seperti apa yang mereka banggakan? Cinta yang tak mengenal rupa dan harta. Omong kosong. Cinta seperti itu hanya ada dalam sebuah cerita. Bukan di dunia nyata. Maka aku tak percaya Pak Leo mencintaiku.“Apa cinta selalu memilih,pada siapa ia akan berlabuh?”Memang benar, cinta tak bisa memilih ke mana ia akan berlabuh. Namun logika terkadang diperhitungkan dalam hal ini. "Apa tidak ada wanita lain, Pak? Saya ini janda beranak satu. Sedang Bapak ....""Aku mencintaimu, Ali
"Mbak Alin balik sendiri?" tanya Meli sedikit keheranan. Seulas senyum kuberikan padanya. Tanpa menjawab aku berlalu pergi. Aku rasa pertanyaan itu tak memerlukan sebuah jawaban. Terkadang lebih baik diam dibandingkan berbicara tapi semakin memperburuk suasana. Itu yang sering kali Ibu ajarkan padaku. Lebih baik diam dari pada mengeluarkan kata yang nantinya akan kamu sesali. Sempat kulirik Meli yang kesal karena pertanyaan kuabaikan. Bibirnya manyun beberapa senti saat menatapku. Aku kembali melanjutkan langkah hingga menuju lantai empat. “Kunjungan pabriknya sudah selesai,Mbak?” tanya Lusi yang berdiri di depan ruangannya.Ruangan Lusi bersebelahan dengan ruanganku. Tak heran jika ia tahu kapan aku datang dan pergi. Seperti kali ini. “Iya,sudah selesai,Lus. Makannya aku sudah di sini lagi.”“Pak Leo tidak kembali ke kantor,Mbak?” Lusi menoleh ke kanan dan kiri. Dia cari sosok lelaki yang tadi pergi bersamaku.“Ada urusan,makannya aku balik duluan.”Lagi dan lagi aku harus berb
Dengan rasa penasaran kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Hingga langkahku terhenti saat melihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan wah duduk di kursi tamu. Sesekali ia mengibaskan tangan untuk mengusir nyamuk yang mengusik duduknya.“Rumah apaan ini?” ucapnya kesal.Menggeleng pelan melihat sikap wanita itu. Dia tak bisa menghargai orang lain. Terlihat jelas ia hanya menilai sesuatu dari harta dan materi. "Ada perlu apa Ibu datang kemari?" tanyaku setelah menjatuhkan bobot di kursi tepat di hadapannya. Ibu atasanku itu kembali menepuk tangan dan kaki. Sambutan dari nyamuk membuatnya kewalahan. "Ini rumah atau kandang sapi, sih?" sindirnya tepat di depanku. Apa orang kaya seperti ini? Mengaku berpendidikan tapi tak memiliki etika sedikit pun? "Rumah saya memang seperti ini, bila tak suka silakan pergi.""Kamu ngusir saya!" Dia melotot ke arahku. "Apa yang Anda inginkan hingga datang ke kandang sapi seperti ini?" Kutahan emosi yang hampir meledak. Aku ingat di jauh lebi
"Awas, Pak!" Bapak berusaha memutar mobil ke kiri, meski laju kendaraan masih tak terkendali. Beruntung Bapak bisa mengubah posisi tepat waktu. Hingga akhirnya kami menepi di pinggir jalan. "Ada apa to, Pak?" tanya Ibu sambil memeluk Aluna. Aluna terbangun lalu menangis ketakutan. Sebenarnya bukan hanya dia yang takut, kami semua takut. Terlambat satu detik saja, kecelakaan akan terjadi. Untung saja kendaraan dari belakang tak ada. Kalau tidak... Aku tak bisa membayangkan apa yang akan menimpa kami. "Keluar dulu semuanya biar Bapak cek."Kami semua turun dari mobil. Aku, ibu, dan Aluna duduk di pinggir jalan. Putri kecilku memeluk tubuhku erat. Dia masih sangat ketakutan dengan insiden yang menimpa kami barusan. "Sudah tak apa-apa, ada Mama di sini." Aluna mengangguk meski rasa sakit itu masih ada. "Ban depannya bocor satu, Lin. Pantas goyang-goyang," ucap Bapak setelah memeriksa keadaan mobil. "Mungkin kena paku, Pak.""Ada ban serep gak, Lin?" "Ada di belakang, Pak. Biar Al