"Tunggu, Mbak. Aku akan mencari pendonor di lingkungan rumah sakit. Mbak Alin jangan membatalkan gugatan cerai itu."Seketika Satriya berdiri lalu pergi hingga punggungnya tak terlihat lagi. Kali ini aku benar-benar berharap semoga Satriya menemukan pendonor yang pas untuk Aluna.Aku beranjak berjalan menuju halaman rumah sakit. Kaki ini terus melangkah hingga berhenti tepat di depan seorang lelaki yang memakai seragam berwarna coklat. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya satpam itu. "Maaf, Pak. Apa Bapak bisa membantu saya?""Kalau bisa akan saya bantu, Mbak. Memang mau dibantu apa?""Putri saya mengalami kecelakaan, dia membutuhkan donor darah. Apa Bapak memiliki golongan darah A? Kalau iya, tolong bantu saya, Pak." Aku seka air mata yang jatuh dengan sendirinya. "Saya akan membayar untuk bantuan itu.""Maaf, Mbak. Golongan darah saya AB.""Makasih, Pak."Aku melangkah pergi, lalu menanyai beberapa orang yang ada di dekatku. Lelah hingga akhirnya aku memilih kembali ke ruang IG
"Pak Leo... Adnan." Dua lelaki itu melangkah mendekat. Sekali tarik kertas itu sudah berada di tangan atasannya. Tanpa meminta izin dia merobeknya hingga menjadi serpihan kecil. Aku melongo melihat tingkahnya. "Jangan gadaikan kebahagiaanmu, Lin." Pak Tara melirik Adnan. "Ayo, Nan!" Adnan mengangguk lalu mereka melangkah menuju ruang IGD. "Bagaimana kesepakatan kita, Lin?""Batal!" Melangkah pergi, kutinggalkan Mas Tara yang mematung dengan sorot kebingungan. Setelah kami sampai Adnan dan Pak Leo segera mengikuti suster untuk diambil darahnya. Kami memilih menunggu di depan ruang IGD. "Mas Tara ada di depan, apa dia sudah mendonorkan darahnya, Mbak? Apa Mbak Alin menyetujui permintaan gilanya?" cecar Satriya yang sudah duduk di sampingku. "Kalau tanya satu-satu, Sat! Jangan seperti rel kereta api, panjang gak ada ujungnya.""He he he....""Mbak tidak jadi meminta bantuannya, Sat. Ada dua orang suka relawan yang mau mendonorkan darahnya untuk Aluna.""Alhamdulillah, Mbak Alia tak
"Mbak, bangun! Ya, malah tidur pules," ucap Satriya sambil menyentuh pundakku. Aku paksakan mata ini terbuka, hingga kembali kututup saat sinar lampu menyilaukan. "Kamu baru dateng, Sat?" tanyaku. "Baru aja, Mbak. Dimakan gih, habis itu salat. Aku juga membelikkanmu perlengkapan mandi." Satriya menunjukkan dua kantung plastik di atas nakas, di sebelahku. Kalau Satriya baru saja datang, lalu siapa yang mencium pipi kiriku? Apa aku hanya bermimpi? Tapi kenapa seperti nyata? Aku bertanya dengan diriku sendiri. Aku yakin itu sebuah kecupan. Apa jangan-jangan Satriya sempat ke sini lalu menciumku? Astaga, kenapa pikiranku jadi ke mana-mana begini? "Mbak!" Satriya menepuk pundakku hingga aku terkejut. "Ngalamun muluk!" ucapnya kesal. "Ayo, makan."Aku mengangguk lalu makan bersama Satriya. ***Aku kembali bekerja setelah libur selama tiga hari. Saat aku di kantor Satriya selalu datang untuk menjaga Aluna. Lelaki itu memang bisa diandalkan. Satriya memang tulus menyayangi Aluna terl
"Jadi ini lelaki yang membuat kamu ingin berpisah dengan Mas Tara?"Allah... Apa lagi ini? Semua mata menatapku tak suka. Aku bagai penjahat kelas kakap yang harus dihina. Bahkan direndahkan oleh mereka. Astagfirullah. "Tak usah didengarkan, kita masuk saja, Pak." Aku melangkah masuk. Namun kemudian berhenti saat melihat Pak Leo diam. Dia tatap tajam orang-orang yang ada di hadapannya. Sorot mata itu membuat langkahku terhenti. Aku tak ingin terjadi keributan di sini. "Kalau tidak tahu cerita sebenarnya jangan asal menyimpulkan, Bu." "Halah, memang kenyataannya seperti itu," ucap Bu Romlah kesal. Pak Leo mengepalkan tangan di samping. Aku tahu dia tengah menahan amarah yang sangat besar. Beginilah hidup di desa, banyak mata yang menatap tak suka. Susah dihina, bahagia kena hujat. Tak ada pilihannya. "Ibu tolong jaga mulutnya!" ucap Pak Leo penuh penekanan. "Siapa kamu ngatur-ngatur saya!""Saya calon suami Alin."Aku melotot mendengar ucapannya. Astaga, lelaki itu kenapa membu
Tak lama ibu dan Aluna datang sambil membawa beberapa kantung plastik berwarna putih. "Diisi lima-lima, Bu. Lalu dibagikan ke tetangga," perintah Bapak. Dibantu Aluna, ibu masukkan mangga ke dalam kantung plastik. Masing-masih terisi lima buah mangga. "Kamu berikan ke tetangga, ya, Lin?" pinta Bapak. Diam, aku tak mampu menjawab iya atau tidak. Bayangan kejadian dulu kembali menari di pelupuk mata. Membuat aku enggan melakukan perintah Bapak. Aku takut kejadian dulu terulang kembali. "Biar ibu saja, Pak. Alin kan capek," ucap ibu seolah mengerti apa yang kupikirkan. Ya, capek... Cepak hati dan pikiran. "Aluna ikut nenek, ya, Ma?" tanya Aluna seraya menatap ke arahku. Aku menggeleng pelan. Bukan tak mengizinkan dia untuk bersosialisasi, tapi aku takut ia mendengar perkataan tetangga yang menyakitkan hati. "Kita makan mangga saja, yuk! Nanti dihabiskan Kakek dan Mama, lho."Aluna terdiam lalu menatap kami bergantian. Bingung, ia tak tahu harus memilih apa? "Ya,udah, deh kita mak
Sudah lebih dari dua bulan. Namun surat panggilan sidang tak kunjung datang. Kapan aku terbebas dari Mas Tara? Rasa lelah mulai mendera. "Ma!" teriak Aluna lalu menjatuhkan bobot di sampingku. Aku menggeser tubuh, menyamakan posisi hingga mata kami saling bertemu. Bunyi ranjang yang berderit menjadi saksi pergeseran tubuh ini. "Kenapa? Mau tidur sama Mama?" Aluna menggeleng. Tidak mau tidur denganku, kenapa dia ke sini? "Lalu kenapa?""Aluna kangen Om Satriya. Kenapa Om lama tidak ke sini?"Aku tersenyum mendengar ucapannya. Kukira Mas Tara yang ia rindukan. Namun ternyata bukan. Satriya yang kini ada di hati dah pikirannya. Mungkin karena di saat Aluna terluka, Satriya selalu ada bukan Mas Tara. Atau mungkin Aluna merasakan apa yang kini aku rasakan. Entahlah. "Mau telepon Om?" "Gak mau!""Katanya kangen?""Maunya Om ke sini, Ma," rengeknya. Aku menggeleng pelan, terlalu dimanja Satriya membuatnya susah berpisah. Ditambah Mas Tara mengabaikan putrinya, sosok Satriya bagai pri
"Bapak tak melarang kamu dengan dia. Tapi untuk saat ini tolong jaga jarak. Bapak tak mau kamu dinilai buruk oleh orang lain.""Karena statusku yang masih istri Mas Tara, kan, Pak?" Bapak mengangguk lalu kembali menatap layar televisi. Hanya menatap, tapi pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Hening, hanya suara televisi yang menggema, memenuhi ruangan ini. "Ma, udah." Aluna menyerahkan ponsel padaku. "Aluna mau bobog?""Iya. Mau bobog sama Kakek aja."Bapak beranjak lalu menuntun Aluna menuju kamar. Sesaat aku bernapas lega. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan Bapak. ***"Alin! Bangun, Lin!" teriak Ibu sambil mengetuk pintu kamar. Kubuka mata perlahan, mengumpulkan nyawa yang belum terisi sepenuhnya. Rasa kantuk masih terasa hingga mata terasa berat untuk terbuka. "Alin, sudah setengah tujuh!"Seketika kutoleh jam yang menempel di dinding. Astagfirullah, aku benar-benar kesiangan. Aku segera beranjak lalu berlari menuju kamar mandi. "Kamu sarapan di kantor, ya, Lin. Ibu be
Aku dan Pak Leo saling pandang. Kulihat senyum tipis di wajah penuh kharisma itu. Bahagiakah dia dengan kabar ini? "Jangan percaya, Lin. Imelda bohong!" Mas Tara mendekatiku. "Sudahlah, tak usah mengelak, Mas. Kamu sudah menanam benih di rahim Imelda, tak heran jika bening itu berkembang, kan." Kutepis tangan yang berusaha menyentuhku. Jijik, itu yang kini kurasakan. Rasa cinta yang kubanggakan hilang dalam sekejap mata. Nyatanya dia justru mendua bahkan sudah ada kehidupan di dalam rahim simpanannya."Ini tak seperti yang kamu bayangkan, Lin. Bisa saja itu benih orang lain, kan. Aku saja tak percaya jika di dalam perutnya ada anakku. Selama ini aku selalu memakai pengaman.""Kamu lupa, kita pernah melakukannya tanpa pengaman, Mas. Saat putri kamu masuk rumah sakit karena panas,saat itu kita melakukannya di hotel. Kamu jangan pura-pura lupa!" teriak Imelda hingga beberapa orang kembali menatap kami. Nyeri, hatiku bak disayat sembilu. Saat kami berjuang. Dia justru bersenang-senang