"Kenapa bisa begini, Ust?""Saya tidak tahu pasti siapa yang menjemput Aluna. Karena saya tidak ada saat penjemputan Aluna."Tubuhku luruh di lantai. Tanpa diminta bulit demi bulir jatuh membasahi pipi. "Kamu di mana, Lun?" ucapku lirih. "Ayo bangun dulu, Ma." Ustadzah Hana menuntunku lalu membantu duduk di depan kelas Aluna. "Keluarga mungkin, Ma. Pihak sekolah tak mungkin mengizinkan Aluna pergi jika bukan keluarga yang menjemput. Apa lagi sekolah dalam keadaan sepi."Benar juga perkataan Ustadzah Hana. Siapa lagi yang menjemput Aluna jika bukan Mas Tara. Dia juga tak terlihat saat aku pulang tadi. Mas Tara pasti ingin merebut Aluna dari ku. Lekas aku ambil benda pipih yang ada di dalam tas. Kutekan dua belas digit nomor Mas Tara. Nomornya memang sudah kuhafal di luar kepala. Tersambung tapi tak kunjung diangkat. Ya Allah, jangan-jangan memang benar dia yang telah menjemput Aluna. "Tidak diangkat papanya, Ust."Ustadzah Hana mulai kebingungan. Dia segera masuk ke ruang guru. M
"Aluna akan baik-baik saja." Pak Leo melirikku lalu kembali fokus mengemudikan mobil. Hening. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami seolah berada di dimensi waktu yang berbeda. Setelah dua puluh menit kami sampai di depan sebuah rumah. Terpaksa mobil berhenti di jalan karena Ustadzah Rina tak memiliki halaman. Rumah itu kecil dan sederhana. "Ayo!"Pak Leo membuka pintu, belum sempat aku melangkah nada dering panggilan masuk. Segera kurogoh ponsel yang ada di dalam tas. Mengernyitkan dahi kala kulihat profil yang muncul di layar benda pipih itu. Kenapa ia menghubungiku? Aku tak ingin mendengar kata kangen atau lelucon di saat seperti ini. "Siapa?" Pak Leo menatapku penuh tanda tanya. Tak kujawab. Lekas kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. Lalu menempelkannya di telinga kananku. "Ada apa, Sat?" tanyaku tanpa mengucapkan salam terlebih dulu. "Mama!"Suara ini, kenapa muncul dari telepon Satriya? "Aluna, ada di mana?" tanyaku pelan. Kutahan air mata yan
"Sudah siap, Mbak?"Satriya sudah berdiri di depan pintu rumah. Lelaki masih bergelar adik ipar itu tersenyum hingga tampak gigi gingsulnya. "Rapi bener, Sat?" Kupindai penampilan Satriya dari ujung kepala hingga kaki. Kemeja kotak-kotak dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam menambah penampilannya semakin sempurna. "Iya dong, Mbak. Kan, mau menemani calon istri." Kujitak pelan kepalanya. Anak ini terkadang menyebalkan. "Masuk dulu, Sat. Mbak ambil tas."Satriya mengangguk lalu mengikuti langkahku. "Om Satriya!" teriak Aluna lalu berlari ke arah Satriya. Sempat kulirik mereka saling tertawa dan bercanda. Entah apa yang mereka bicarakan. Aluna sangat bahagia saat bersama Om Satriya. "Satriya sudah datang, Lin?" tanya Bapak saat melewatiku. "Baru saja, Pak." Bapak meletakkan botol minum berisi teh lalu melangkah menuju ruang tamu. Tempat Satriya bercanda dengan Aluna.Satriya memang beberapa kali kemari. Sikapnya yang ramah membuat ia mudah dekat dengan siapa pun. Termasuk
"Bisa ganti lagu gak, Sat?""Kenapa, Mbak? Bagus lho ini. Jadi soundtrack sinetron juga.""Sejak kapan kamu suka sinetron?""Lagunya, Mbak. Bukan sinetronnya," ucapnya kesal. "Ganti deh, Sat. Pusing aku dengarnya."Satriya semakin mengencangkan suaranya. Tiap bait ia nyanyikan penuh penjiwaan. Dasar menyebalkan! Aku duduk di bangku di taman Balekambang. Sambil meminum es teh, kuperhatikan gaya Satriya saat mengambil angle foto. Dia begitu menghayati. Kadang membungkuk, kadang tiduran. Semua ia lakukan untuk mendapatkan hasil foto yang memuaskan. Selain mahasiswa abadi, Satriya merupakan fotografer handal di kota Solo. Saat libur semester ia sering kali pergi ke beberapa tempat untuk menjadi fotografer. Bahkan ia sempat ke luar negeri memenuhi permintaan customer. Mungkin ini salah satu alasan ia betah menjabat sebagai mahasiswa. "Apa sih, Sat!" ucapku kesal karena ia membidikkan kamera ke arahku. "Capek, Mbak." Dia menjatuhkan bobot tepat di sampingku. Tanpa merasa bersalah ia me
"Mundur, Mas! Jangan gila kamu!" Aku dorong tubuhnya. PLAAKKupegangi pipi yang terasa panas dan nyeri. Bahkan mungkin ada gambar tangan di sini, di pipi ini. "Kamu milikku, Lin. Selamanya akan menjadi milikku.""Kamu tidak waras!" Aku dorong tubuh lelaki itu. Namun ia justru menarikku dalam pelukannya. "Lepaskan, Mas!""Tidak, kamu milikku!"BRAAK! Pintu kamar mandi di dorong hingga terdengar suara benturan pintu dan dinding. BUUGMas Tara tersungkur di lantai kamar mandi. Sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah. Aku meringkuk ketakutan, kakiku gemetar. Dengan cepat pak Leo menarik tubuhku hingga kepala ini menempel di dada bidangnya. "Kamu tak apa-apa, Lin?" Kedua tangannya menempel di pipiku. Dia tatap lekat netra ini. "Aku ... Aku tidak apa-apa, Pak," jawabku dengan suara bergetar. Pak Leo membawaku keluar dari kamar mandi. Kemudian dia kembali masuk. Tak lama terdengar caci dan maki yang keluar dari mulut atasanku. Aku berdiri dengan kaki gemetar. Kejadian tadi membuat
Aku menarik sudut bibir ke atas,sebuah senyuman mengejek kuberikan untuknya. Lucu,setelah perceraian berjalan ia memohon untuk kembali. Lalu untuk apa kesempatanku kemarin? Hanya ia anggap angin lalu dan tak berarti apa pun.Bodoh jika aku percaya dengan ucapan lelaki yang terus mengumbar janji tanpa ada niat menepati. Itu hanya akan menyiksa diri. Aku tak ingin itu terjadi.“Kesempatanmu telah hilang,Mas. Kali ini keputusanku sudah bulat. Kita berpisah.” Kunaikkan kaca hingga tertutup rapat. Beberapa kali Mas Tara mengetuknya. Namun aku memilih abai,pura-pura tak mendengar adalah jurus tetuju.Mobil kembali melaju meninggalkan Mas Tara yang masih berdiri dengan tatapan entah, tak bisa kujabarkan."Bagus, Mbak. Mbak Alin harus tegas, jangan mau dipermainkan," ucapnya berapi-api. Sudah persis provokator unjuk rasa. Aku memilih diam, mengabaikan ucapan Satriya. Hingga akhirnya ia memilih menutup mulut rapat. Lelah karena perkataannya aku abaikan. Hening, kami tenggelam dalam kesunyian
"Kenapa, Mbak? Mas Tara mau ke sini, kan?" Satriya menatapku lekat. "Iya, bagaimana, Lin? Tara ke sini, kan?" tanya bapak penuh harap. Aku menghembuskan napas kasar. Lalu menatap bapak dan Satriya bergantian. "Mas Tara mau mendonorkan darahnya ta ....""Alhamdulillah," ucap mereka serempak. Mereka bahagia mendengar berita yang belum selesai aku ucapkan. "Mas Tara mau mendonorkan darahnya asal aku membatalkan gugatan cerai ke pengadilan.""Apa!" teriak mereka bersamaan. "Bapak edan!" maki bapak dengan wajah merah padam. Kedua tangannya pun mengepal ke samping tubuh. Sebagai orang tua, bapak tahu ini pilihan terberat dalam hidupku. Namun untuk membantu bapak pun tak bisa. Harapan kami hanya pada Mas Tara. Kami terdiam untuk beberapa saat. Sibuk dengan pikiran yang sama. Aku sendiri bingung harus berbuat apa? Di saat genting Mas Tara justru mengambil kesempatan. Harusnya dia berkorban tanpa pamrih tapi nyatanya dia memanfaatkan Aluna demi kepentingannya. Ayah macam apa dia? Sejat
"Tunggu, Mbak. Aku akan mencari pendonor di lingkungan rumah sakit. Mbak Alin jangan membatalkan gugatan cerai itu."Seketika Satriya berdiri lalu pergi hingga punggungnya tak terlihat lagi. Kali ini aku benar-benar berharap semoga Satriya menemukan pendonor yang pas untuk Aluna.Aku beranjak berjalan menuju halaman rumah sakit. Kaki ini terus melangkah hingga berhenti tepat di depan seorang lelaki yang memakai seragam berwarna coklat. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya satpam itu. "Maaf, Pak. Apa Bapak bisa membantu saya?""Kalau bisa akan saya bantu, Mbak. Memang mau dibantu apa?""Putri saya mengalami kecelakaan, dia membutuhkan donor darah. Apa Bapak memiliki golongan darah A? Kalau iya, tolong bantu saya, Pak." Aku seka air mata yang jatuh dengan sendirinya. "Saya akan membayar untuk bantuan itu.""Maaf, Mbak. Golongan darah saya AB.""Makasih, Pak."Aku melangkah pergi, lalu menanyai beberapa orang yang ada di dekatku. Lelah hingga akhirnya aku memilih kembali ke ruang IG
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki