Mentari menyapa, hangat sinarnya tak mampu mengalahkan rasa dingin yang sedari tadi terasa. Maklum saja ini di pedesaan, ditambah semalam hujan deras. Tepat setelah Mas Tara meninggalkan rumah ini. Aku yakin dia pasti berhenti di suatu tempat karena hujan disertai angin tiba-tiba datang menyapa. "Melamun wae to, Lin." Ibu datang membawakan secangkir teh dan pisang goreng. "Dimakan dulu mumpung masih anget." Ibu menjatuhkan bobot tepat di sampingku.Kami terdiam, sama-sama menatap lurus ke depan. Aku tahu ada sesuatu yang hendak ia tanyakan tapi bingung harus memulai dari mana. Cangkir yang masih mengeluarkan kepulan itu melambai,memintaku segera menikmati aroma teh melati yang dipadukan dengan gula batu. Aku mengambil cangkir bening itu, meniup lalu menyeruputnya perlahan. "Apa yang ingin ibu bicarakan?" ucapku memecah keheningan yang sedari tadi tercipta. "Kamu yakin akan bercerai dengan Tara?" Ibu masih menatap lurus ke depan. Beliau seolah menatap masa depan yang abstrak saa
"Aku melamar kerja di sini.""Ha ha ha ... Gak salah, Lin? Setahuku tak ada lowongan di sini. Lagi pula...." Mas Tara menjeda kalimatnya, ia tatap penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. "Penampilanmu tak cocok bekerja di sini."Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapannya barusan. Mas Tara menghina penampilanku, istrinya. Kalau orang lain mungkin tidak masalah tapi dia, lelaki yang kuperjuangkan. Sudahlah, mungkin ini watak aslinya. Beruntung aku tak tinggal satu atap lagi dengannya. Dia bagai bunglon, sikapnya secepat kilat berubah. Kadang manis lalu tiba-tiba pahit. Tidak bisa ditebak. "Kamu yakin diterima dengan penampilan seperti ini?" ledeknya lagi. Aku diam,mengabaikan ucapannya. Biarlah dia menilai seperti apa. Lelah jika aku harus menjawab pertanyaannya satu persatu. Pertanyaan yang justru memojokkanku. "Alin, tak bisakah kita bersama? Kamu tak perlu susah-susah mencari pekerjaan seperti ini. Aku akan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan kamu dan Alun
"Kalian saling kenal?"Pertanyaan Pak Leo menyelamatkan aku. Setidaknya untuk sesaat, cepat atau lambat Adnan pasti tahu semuanya. Entah dari Mas Tara atau mungkin dari mulutku sendiri. "Saya sering ke rumah Tara, Pak. Jadi kami cukup kenal."Pak Leo menganggukkan kepala, tanda mengerti."Kalau bagitu kami turun dulu. Kamu silakan melanjutkan pekerjaan."Adnan mengangguk, sesaat ia menatapku sebelum kami berjalan kembali. Lelaki itu terdiam tapi tampak tanda tanya di sorot matanya. Pak Leo menjelaskan setiap ruangan yang kami lalui. Lagi, semua mata menatap kami penuh curiga. Bukan kami, lebih tepatnya menatapku penuh curiga dan tanda tanya. Jujur aku tak nyaman diperlakukan seperti ini. Namun untuk menolak aku juga tak berani. Biar bagaimana pun Pak Leo atasanku di kantor. "Itu ruang bagian pemasaran," ucapnya sambil menunjuk ke kanan."I-iya, Pak."Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut. "Kalau itu ruangan Tara, suami kamu." Aku menoleh tepat saat pintu ruangan Mas Tar
Aku membalikkan badan, sebuah mobil berwarna biru berhenti tepat di samping mobilku. Siapa pemilik mobil itu? Jelas itu bukan milik Mas Tara. Sebuah kaki dengan sepatu kantor terlihat untuk pertama kalinya. Aku semakin penasaran dengan pemiliknya. Siapa gerangan lelaki itu? "Adnan," gumamku lirih. "Lelaki itu kenapa ada di sini?" tanyaku pada diri sendiri. "Siapa, Lin?" tanya Bapak seraya menengok ke belakang. Beliau tatap Adnan dengan penuh tanda tanya. Pasti akan ada tanda tanya setelah ini. "Teman Mas Tara, Pak.""Untuk apa dia kemari?" Aku mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. "Ajak masuk tapi selesaikan dengan cepat. Ingat, Lin statusmu masih istri Tara. Jangan buat nama baikmu jadi kotor hanya karena lelaki lain."Aku mengangguk walau dalam hati berkecambuk. Perkataan Bapak mampu menyentilku. Meski sebenarnya tak ada hubungan apa pun di antara kami. Namun orang yang benci pasti menyudutkan kami. "Baik, Pak." Bapak berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri di dek
Sudah tiga hari aku bekerja di kantor Pak Leo. Sampai detik ini aku selalu menghindar saat berpapasan dengan Mas Tara. Meski tidak setiap saat aku bisa menghindarinya. "Alin siapkan berkas, sebentar lagi kita meeting di luar.""Bersama Mbak Lusi, kan, Pak?" "Tidak, kita berdua saja."Aku mengangguk pasrah meski dalam hati berkecambuk rasa ragu. Menjadi asisten Pak Leo membuat kami selalu menghabiskan waktu berdua, meski semua tuntutan pekerjaan. Berkas yang diminta sudah berada di atas meja. Aku sudah bersiap untuk meeting bersama Pak Leo. "Ayo, Lin!""Baik, Pak."Kami melangkah perlahan menuju lantai bawah. Beberapa kali kami berpapasan dengan karyawan lain. Mereka selalu tersenyum saat berpapasan dengan Pak Leo. Namun senyum itu akan hilang saat menatap aku. "Bukankah itu istrinya Pak Tara, ya?""Iya, rumornya mereka akan bercerai.""Benar ke kantor saja sendiri-sendiri. Mungkin sidah pisah rumah.""Pantas saja dia cari muka pada Pak Leo. Kasihan Pak Tara, ya." Aku mengepalkan
"Kenapa Pak Leo menanyakan hal itu? Apa jangan-jangan Bapak menyukai saya?"Entah dari mana awalnya hingga pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ini semua karena ucapan Adnan tempo hari. Pak Leo menatap lalu tersenyum ke arahku. Memang tak baik selalu berhutang budi pada seseorang. Namun pertanyaanku justru hancur harga diri. Adnan memang keterlaluan. "Apa bertanya bisa dibilang suka, Lin? "Ingin kutengelamkan wajah, malu luar biasa. Di hadapan atasan aku bertanya hal yang memalukan. "Bu-bukan begitu maksud saya, Pak.""Naiklah, kita ke kantor sekarang juga. Masih ada pekerjaan yang menanti di depan mata."Sepanjang jalan aku memilih diam. Sesekalu merutuki diri karena bertanya hal yang justru menjatuhkan harga diri di depan pemilik perusahaan. Seperti biasa karyawan selalu berlomba-lomba keluar saat jam kantor telah usai. Mereka segera ingin pulang bertemu anak dan istri atau bahkan suami. Sama sepertiku. "Alin, tunggu!" Sebuah tangan menghentikan langkahku. Aku membalikkan ba
"Kenapa, Lin?" tanya ibu dan bapak yang masuk bersamaan. Mereka berjalan mendekati kami. Raut khawatir tergambar jelas di sana. "Papa mana, Kek, Nek?" tanyanya lagi. Bapak menghembuskan napas kasar. Kemudian memilih diam meski hati bergemuruh rasa kesal. Sebenarnya ini yang kutakutkan jika Aluna dan Mas Tara bertemu. Putriku akan menangis lalu merengek meminta pulang ke rumah papanya. "Papa kerja, Lun. Cari uang yang banyak untuk sekolah Aluna.""Aku mau pulang! Aku mau sama papa!" Aluna menepis kedua tanganku. Dengan cepat ia beranjak dari atas ranjang. Kemudian berlari keluar kamar. "Ini yang Bapak takutkan jika Aluna bertemu dengan Tama saat kamu belum bisa menjelaskan keadaan ini kepada putrimu."Aku menghembuskan napas kasar. Bagaimana menjelaskan jika Aluna saja tak mengerti apa artinya perceraian? Tuhan, sungguh berat ujianmu kali ini. "Papa! Papa!" teriak Aluna seraya mencari keberadaan Mas Tara. Namun nihil, orang yang ia cari tak ada di sini. "Kenapa papa pergi, Ma? K
"Kenapa bisa begini, Ust?""Saya tidak tahu pasti siapa yang menjemput Aluna. Karena saya tidak ada saat penjemputan Aluna."Tubuhku luruh di lantai. Tanpa diminta bulit demi bulir jatuh membasahi pipi. "Kamu di mana, Lun?" ucapku lirih. "Ayo bangun dulu, Ma." Ustadzah Hana menuntunku lalu membantu duduk di depan kelas Aluna. "Keluarga mungkin, Ma. Pihak sekolah tak mungkin mengizinkan Aluna pergi jika bukan keluarga yang menjemput. Apa lagi sekolah dalam keadaan sepi."Benar juga perkataan Ustadzah Hana. Siapa lagi yang menjemput Aluna jika bukan Mas Tara. Dia juga tak terlihat saat aku pulang tadi. Mas Tara pasti ingin merebut Aluna dari ku. Lekas aku ambil benda pipih yang ada di dalam tas. Kutekan dua belas digit nomor Mas Tara. Nomornya memang sudah kuhafal di luar kepala. Tersambung tapi tak kunjung diangkat. Ya Allah, jangan-jangan memang benar dia yang telah menjemput Aluna. "Tidak diangkat papanya, Ust."Ustadzah Hana mulai kebingungan. Dia segera masuk ke ruang guru. M