Pov TaraCepat-cepat menyalakan ponsel yang sempat aku nonaktifkan. Beberapa panggilan tak terjawab dari Alin dan Pak Leo. Tak berapa lama tiga pesan dari nomor Alin masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku. Disusul pesan dari Pak Leo. Mereka berdua kenapa kompak menghubungiku? [Mas kamu di mana?][Angkat teleponku! ][Aluna masuk rumah sakit!]Ya Tuhan, ternyata Aluna masuk rumah sakit. Bukankah tadi sudah tak panas? Tapi kenapa bisa masuk rumah sakit lagi. Lampu kunyalakan, lalu bergegas menuju rumah sakit tempat Alin biasa memeriksakan Aluna saat sakit. TINGSebuah pesan masuk. Aku hanya meliriknya lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku melihat mobil Alin terparkir di halaman rumah sakit. Ternyata dugaanku benar, Aluna dirawat di rumah sakit ini. "Malam, Sus. Maaf kamar inap atas nama Aluna ada di mana, ya?""Ada di kamar VVIP, lantai tiga, Pak."Setelah mendapatkan kamar inap Aluna aku segera berjalan ke sana. Tentu dengan mengatakan jika aku ayahnya. Ini bukan jam jengu
Menggeleng kala melihat halaman rumah. Daun berserakan, tempat sampah penuh, belum lagi debu yang menempel di kursi. Astaga, ini rumah atau bukan? Baru dua hari kutinggal tapi rumah sudah seperti kapal pecah. Bagaimana dengan isi rumah? Pasti mengerikan. Belum sempat aku membuka,pintu itu sudah ditarik dari dalam. Mas Tara sudah berdiri dengan pakaian kerjanya.“Lho,kamu kok ada di sini,Lin? Aluna siapa yang jaga?” “Aku titipkan kepada Monica sebentar. Aku hanya ingin menukar pakaian kotor ini dengan pakaian bersih.” Kutunjukkan tas berisi pakaian kotor padanya. “Sekalian kamu cuci pakaian kotor yang ada di keranjang,Lin. Sudah menggunung itu.”Menghembuskan napas kasar,ucapan Mas Tara mampu memancing emosi yang sedari tadi kutahan. Bukankah kemarin ia tak ke rumah sakit dengan alasan membersihkan rumah yang berantakan. Tapi apa ini? "Bisa, kan kamu nyuci baju dulu?" "Lihat nantilah, Mas." Aku berlalu menuju belakang untuk menaruh pakaian kotor ini."Kapan Aluna bisa pulang?" ta
"Saya akan mengganti biaya pengobatan Aluna.""Baiklah kalau kamu memaksa. Aku potong dari gaji kamu."Aku melongo mendengar ucapannya. Belum juga melamar sudah mau dipotong gaji. Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah sakit. Belum ada sepuluh menit, Aluna sudah terlelap dengan posisi hampir jatuh ke depan. Kutepikan mobil, dengan hati-hati ku ubah posisi tubuh Aluna agar semakin nyaman. Kembali kulajukan mobil, tapi bukan pulang ke rumah. Melainkan ke kampung tempat tinggalku. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Mas Tara. Ternyata melelahkan jika berjuang seorang diri. Musik pop mengalun, memecah keheningan ini. Aku berhenti sayangKu tak bisa lanjutkanKisah ini bersamamu aku tak kan mampuMenghadapi semuaKebohongan yang biasa kau lakukanAku hanya minta bebaskan dirikuLirik lagu Bebaskan Diriku dari Armada seolah menjelaskan perasaanku saat ini. Aku ingin bebas, lepas dari penderitaan yang Mas Tara berikan padaku. Tanpa sadar tetes demi tetes air bening nan
Pov Tara"Pak Leo belum datang, Lus?" Aku berdiri di depan sekretaris Pak Leo. "Belum, hari ini beliau datang siang, Pak. Memangnya ada apa?" Lusi mendongakkan kepala,menatap lekat mataku. "Tidak apa-apa." Melangkah pergi, kutinggalkan Lusi dengan tanda tanya di matanya. Aku membuka pintu ruangan, mencium aroma ketenangan di tempat ini. Setidaknya sampai Pak Leo datang. Setelah itu neraka akan datang menyapa. Pak Leo, pemimpin yang sangat disiplin. Beberapa kali aku mendapat surat peringatan karena membolos. Terakhir kali aku mendapat SP dua karena izin tapi justru pergi bersama Imelda. Entah dari mana lelaki itu tahu aku pergi dari rumah sejak pagi. Lelaki itu terlalu ikut campur dalam masalah pribadiku. Dia bos di kantor tapi tidak di luar, apa lagi dalam rumah tanggaku. Tumpukan laporan dan bekas sudah menggunung di atas meja. Meski malas tetap kukerjakan. Karena hanya ini sumber penghasilanku. Rumah, kantor, laporan, seperti itu setiap hari. Tak bisa dipungkiri rasa jenuh ki
"Gue cabut duluan!" Imelda melambaikan tangan ke arah teman-temannya. Tanpa rasa malu dia bergelayut manja di lenganku. "Cie ... Cie ...." Sorak-sorak remaja seusianya mengantar kepergian kami. Imelda berbeda dari perempuan seusianya. Dia cuek, berani, agresif dan menantang. Bukan seperti remaja yang pemalu pada umumnya. Keadaan mampu mengubah sikap dan tingkah laku seseorang. Seperti itulah yang terjadi kepada Imelda. Besar dari keluarga broken home membuat ia menjadi liar dan susah diatur. Kebebasan adalah protes dari situasi yang membuatnya tak nyaman. "Mau ke mana, Mas?" Dia menatap lekat manikku. "Aku antar pulang saja, ya.""Kok pulang, sih? Memangnya tidak kangen?" rengeknya saat kenyataan tak sesuai yang ia harapkan. Terkadang tingkahnya seperti Aluna saat merengek meminta es krim atau mainan. Aku maklum dia meminta perhatian padaku karena kurangnya kasih sayang dari orang tuanya. Namun sayang, aku justru memanfaatkannya. Melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan
Pov AlinPLAKSuara tamparan terdengar jelas di telingaku. Aku diam, mempertajam indra pendengaran. Namun tak terlalu jelas. Hati-hati kutarik lengan lalu menggantikannya dengan bantal. Aluna memang selalu meminta lenganku untuk dijadikan bantal. Meski pegal, selalu kuturuti karena itu posisi ternyaman untuknya. Meski tidak untukku. Pintu kututup pelan, jangan sampai Aluna terbangun. Dia masih membutuhkan banyak istirahat agar benar-benar sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. "Menantu kurang ajar!"PLAKAku mempercepat langkah. Takut terjadi sesuatu pada bapak atau ibu. "Hentikan, Pak!"Tangan yang hendak menampar Mas Tara masih melayang di udara, lalu akhirnya turun dengan sendirinya. "Lelaki seperti dia harus diberi pelajaran, Lin!"Mas Tara memegangi pipi yang memerah dengan tangan ayah yang terlukis jelas di sana. Matanya mengiba, meminta belas kasihan dariku. "Harusnya kamu biarkan bapak menghajar Tara, dia sudah menyakiti hati kamu." Tangan Bapak mengepal, soro
Mentari menyapa, hangat sinarnya tak mampu mengalahkan rasa dingin yang sedari tadi terasa. Maklum saja ini di pedesaan, ditambah semalam hujan deras. Tepat setelah Mas Tara meninggalkan rumah ini. Aku yakin dia pasti berhenti di suatu tempat karena hujan disertai angin tiba-tiba datang menyapa. "Melamun wae to, Lin." Ibu datang membawakan secangkir teh dan pisang goreng. "Dimakan dulu mumpung masih anget." Ibu menjatuhkan bobot tepat di sampingku.Kami terdiam, sama-sama menatap lurus ke depan. Aku tahu ada sesuatu yang hendak ia tanyakan tapi bingung harus memulai dari mana. Cangkir yang masih mengeluarkan kepulan itu melambai,memintaku segera menikmati aroma teh melati yang dipadukan dengan gula batu. Aku mengambil cangkir bening itu, meniup lalu menyeruputnya perlahan. "Apa yang ingin ibu bicarakan?" ucapku memecah keheningan yang sedari tadi tercipta. "Kamu yakin akan bercerai dengan Tara?" Ibu masih menatap lurus ke depan. Beliau seolah menatap masa depan yang abstrak saa
"Aku melamar kerja di sini.""Ha ha ha ... Gak salah, Lin? Setahuku tak ada lowongan di sini. Lagi pula...." Mas Tara menjeda kalimatnya, ia tatap penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. "Penampilanmu tak cocok bekerja di sini."Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapannya barusan. Mas Tara menghina penampilanku, istrinya. Kalau orang lain mungkin tidak masalah tapi dia, lelaki yang kuperjuangkan. Sudahlah, mungkin ini watak aslinya. Beruntung aku tak tinggal satu atap lagi dengannya. Dia bagai bunglon, sikapnya secepat kilat berubah. Kadang manis lalu tiba-tiba pahit. Tidak bisa ditebak. "Kamu yakin diterima dengan penampilan seperti ini?" ledeknya lagi. Aku diam,mengabaikan ucapannya. Biarlah dia menilai seperti apa. Lelah jika aku harus menjawab pertanyaannya satu persatu. Pertanyaan yang justru memojokkanku. "Alin, tak bisakah kita bersama? Kamu tak perlu susah-susah mencari pekerjaan seperti ini. Aku akan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan kamu dan Alun