"Saya akan mengganti biaya pengobatan Aluna.""Baiklah kalau kamu memaksa. Aku potong dari gaji kamu."Aku melongo mendengar ucapannya. Belum juga melamar sudah mau dipotong gaji. Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah sakit. Belum ada sepuluh menit, Aluna sudah terlelap dengan posisi hampir jatuh ke depan. Kutepikan mobil, dengan hati-hati ku ubah posisi tubuh Aluna agar semakin nyaman. Kembali kulajukan mobil, tapi bukan pulang ke rumah. Melainkan ke kampung tempat tinggalku. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Mas Tara. Ternyata melelahkan jika berjuang seorang diri. Musik pop mengalun, memecah keheningan ini. Aku berhenti sayangKu tak bisa lanjutkanKisah ini bersamamu aku tak kan mampuMenghadapi semuaKebohongan yang biasa kau lakukanAku hanya minta bebaskan dirikuLirik lagu Bebaskan Diriku dari Armada seolah menjelaskan perasaanku saat ini. Aku ingin bebas, lepas dari penderitaan yang Mas Tara berikan padaku. Tanpa sadar tetes demi tetes air bening nan
Pov Tara"Pak Leo belum datang, Lus?" Aku berdiri di depan sekretaris Pak Leo. "Belum, hari ini beliau datang siang, Pak. Memangnya ada apa?" Lusi mendongakkan kepala,menatap lekat mataku. "Tidak apa-apa." Melangkah pergi, kutinggalkan Lusi dengan tanda tanya di matanya. Aku membuka pintu ruangan, mencium aroma ketenangan di tempat ini. Setidaknya sampai Pak Leo datang. Setelah itu neraka akan datang menyapa. Pak Leo, pemimpin yang sangat disiplin. Beberapa kali aku mendapat surat peringatan karena membolos. Terakhir kali aku mendapat SP dua karena izin tapi justru pergi bersama Imelda. Entah dari mana lelaki itu tahu aku pergi dari rumah sejak pagi. Lelaki itu terlalu ikut campur dalam masalah pribadiku. Dia bos di kantor tapi tidak di luar, apa lagi dalam rumah tanggaku. Tumpukan laporan dan bekas sudah menggunung di atas meja. Meski malas tetap kukerjakan. Karena hanya ini sumber penghasilanku. Rumah, kantor, laporan, seperti itu setiap hari. Tak bisa dipungkiri rasa jenuh ki
"Gue cabut duluan!" Imelda melambaikan tangan ke arah teman-temannya. Tanpa rasa malu dia bergelayut manja di lenganku. "Cie ... Cie ...." Sorak-sorak remaja seusianya mengantar kepergian kami. Imelda berbeda dari perempuan seusianya. Dia cuek, berani, agresif dan menantang. Bukan seperti remaja yang pemalu pada umumnya. Keadaan mampu mengubah sikap dan tingkah laku seseorang. Seperti itulah yang terjadi kepada Imelda. Besar dari keluarga broken home membuat ia menjadi liar dan susah diatur. Kebebasan adalah protes dari situasi yang membuatnya tak nyaman. "Mau ke mana, Mas?" Dia menatap lekat manikku. "Aku antar pulang saja, ya.""Kok pulang, sih? Memangnya tidak kangen?" rengeknya saat kenyataan tak sesuai yang ia harapkan. Terkadang tingkahnya seperti Aluna saat merengek meminta es krim atau mainan. Aku maklum dia meminta perhatian padaku karena kurangnya kasih sayang dari orang tuanya. Namun sayang, aku justru memanfaatkannya. Melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan
Pov AlinPLAKSuara tamparan terdengar jelas di telingaku. Aku diam, mempertajam indra pendengaran. Namun tak terlalu jelas. Hati-hati kutarik lengan lalu menggantikannya dengan bantal. Aluna memang selalu meminta lenganku untuk dijadikan bantal. Meski pegal, selalu kuturuti karena itu posisi ternyaman untuknya. Meski tidak untukku. Pintu kututup pelan, jangan sampai Aluna terbangun. Dia masih membutuhkan banyak istirahat agar benar-benar sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. "Menantu kurang ajar!"PLAKAku mempercepat langkah. Takut terjadi sesuatu pada bapak atau ibu. "Hentikan, Pak!"Tangan yang hendak menampar Mas Tara masih melayang di udara, lalu akhirnya turun dengan sendirinya. "Lelaki seperti dia harus diberi pelajaran, Lin!"Mas Tara memegangi pipi yang memerah dengan tangan ayah yang terlukis jelas di sana. Matanya mengiba, meminta belas kasihan dariku. "Harusnya kamu biarkan bapak menghajar Tara, dia sudah menyakiti hati kamu." Tangan Bapak mengepal, soro
Mentari menyapa, hangat sinarnya tak mampu mengalahkan rasa dingin yang sedari tadi terasa. Maklum saja ini di pedesaan, ditambah semalam hujan deras. Tepat setelah Mas Tara meninggalkan rumah ini. Aku yakin dia pasti berhenti di suatu tempat karena hujan disertai angin tiba-tiba datang menyapa. "Melamun wae to, Lin." Ibu datang membawakan secangkir teh dan pisang goreng. "Dimakan dulu mumpung masih anget." Ibu menjatuhkan bobot tepat di sampingku.Kami terdiam, sama-sama menatap lurus ke depan. Aku tahu ada sesuatu yang hendak ia tanyakan tapi bingung harus memulai dari mana. Cangkir yang masih mengeluarkan kepulan itu melambai,memintaku segera menikmati aroma teh melati yang dipadukan dengan gula batu. Aku mengambil cangkir bening itu, meniup lalu menyeruputnya perlahan. "Apa yang ingin ibu bicarakan?" ucapku memecah keheningan yang sedari tadi tercipta. "Kamu yakin akan bercerai dengan Tara?" Ibu masih menatap lurus ke depan. Beliau seolah menatap masa depan yang abstrak saa
"Aku melamar kerja di sini.""Ha ha ha ... Gak salah, Lin? Setahuku tak ada lowongan di sini. Lagi pula...." Mas Tara menjeda kalimatnya, ia tatap penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. "Penampilanmu tak cocok bekerja di sini."Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapannya barusan. Mas Tara menghina penampilanku, istrinya. Kalau orang lain mungkin tidak masalah tapi dia, lelaki yang kuperjuangkan. Sudahlah, mungkin ini watak aslinya. Beruntung aku tak tinggal satu atap lagi dengannya. Dia bagai bunglon, sikapnya secepat kilat berubah. Kadang manis lalu tiba-tiba pahit. Tidak bisa ditebak. "Kamu yakin diterima dengan penampilan seperti ini?" ledeknya lagi. Aku diam,mengabaikan ucapannya. Biarlah dia menilai seperti apa. Lelah jika aku harus menjawab pertanyaannya satu persatu. Pertanyaan yang justru memojokkanku. "Alin, tak bisakah kita bersama? Kamu tak perlu susah-susah mencari pekerjaan seperti ini. Aku akan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan kamu dan Alun
"Kalian saling kenal?"Pertanyaan Pak Leo menyelamatkan aku. Setidaknya untuk sesaat, cepat atau lambat Adnan pasti tahu semuanya. Entah dari Mas Tara atau mungkin dari mulutku sendiri. "Saya sering ke rumah Tara, Pak. Jadi kami cukup kenal."Pak Leo menganggukkan kepala, tanda mengerti."Kalau bagitu kami turun dulu. Kamu silakan melanjutkan pekerjaan."Adnan mengangguk, sesaat ia menatapku sebelum kami berjalan kembali. Lelaki itu terdiam tapi tampak tanda tanya di sorot matanya. Pak Leo menjelaskan setiap ruangan yang kami lalui. Lagi, semua mata menatap kami penuh curiga. Bukan kami, lebih tepatnya menatapku penuh curiga dan tanda tanya. Jujur aku tak nyaman diperlakukan seperti ini. Namun untuk menolak aku juga tak berani. Biar bagaimana pun Pak Leo atasanku di kantor. "Itu ruang bagian pemasaran," ucapnya sambil menunjuk ke kanan."I-iya, Pak."Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut. "Kalau itu ruangan Tara, suami kamu." Aku menoleh tepat saat pintu ruangan Mas Tar
Aku membalikkan badan, sebuah mobil berwarna biru berhenti tepat di samping mobilku. Siapa pemilik mobil itu? Jelas itu bukan milik Mas Tara. Sebuah kaki dengan sepatu kantor terlihat untuk pertama kalinya. Aku semakin penasaran dengan pemiliknya. Siapa gerangan lelaki itu? "Adnan," gumamku lirih. "Lelaki itu kenapa ada di sini?" tanyaku pada diri sendiri. "Siapa, Lin?" tanya Bapak seraya menengok ke belakang. Beliau tatap Adnan dengan penuh tanda tanya. Pasti akan ada tanda tanya setelah ini. "Teman Mas Tara, Pak.""Untuk apa dia kemari?" Aku mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. "Ajak masuk tapi selesaikan dengan cepat. Ingat, Lin statusmu masih istri Tara. Jangan buat nama baikmu jadi kotor hanya karena lelaki lain."Aku mengangguk walau dalam hati berkecambuk. Perkataan Bapak mampu menyentilku. Meski sebenarnya tak ada hubungan apa pun di antara kami. Namun orang yang benci pasti menyudutkan kami. "Baik, Pak." Bapak berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri di dek