"Mama mau ke mana?" tanya Aluna yang sudah berada di belakangku. Tak lama Mas Tara masuk ke kamar. "Mama ada perlu, Sayang. Aluna sama papa dulu, ya." Ku elus pucuk kepalanya. "Aluna ikut," rengeknya sambil bergelayut di kakiku. Pasti akan ada drama setelah ini. Betapa susah menikmati waktu sendiri. "Aluna main sama papa dulu, ya. Nanti kita nonton film kartun," bujuk Mas Tara. "Gak mau! Aku mau ikut mama.""Nanti mama belikan es krim kalau Aluna mau main sama papa," bujukku sambil menatap lekat maniknya. "Tapi gak boleh lama." Perlahan tangannya terlepas dari kakiku. Selalu saja ada drama saat aku meminta izin pergi. Tak jarang aku harus pergi diam-diam. Itu pun tak akan bisa lama. Aluna akan menerorku dengan telepon yang memintaku cepat pulang. "Iya, Sayang. Mau es krim rasa apa?""Mau es krim rasa coklat dan vanila.""Siap. Mama pergi dulu, ya." Kuciumi pipi Aluna beberapa kali. "Titip Aluna, Mas," ucapku lalu mencium punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, Mama." Mas Ta
Mataku membola melihat Mas Tara berada di atas ranjang tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Bahkan ia melakukan hal menjijikan seperti itu. "A-Alin," ucapnya terbata. Cepat-cepat ia ambil selimut untuk menutupi miliknya yang terekspos sempurna. Aku berlari, dengan cepat kuambil ponsel yang berada di tangannya. Tepat saat ia kebingungan menutupi tubuh. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Jadi begini tingkahnya di belakangku. Menjijikan. Apa jangan-jangan seperti ini kebiasaannya? "Sayang, kamu di mana? Katanya mau sekali lagi.""Sayang, aku sudah memenuhi permintaanmu, lho."Dadaku bergemuruh mendengar suara perempuan di balik telepon itu. Kuarahkan ponsel di depan wajah. Mataku melotot melihat wanita tanpa busana di layar itu. Siapa lagi kalau bukan Imelda. Anak ingusan yang sudah menghancurkan keharmonisan keluarga kecilku. Dia buru-buru mematikan panggilan telepon ketika melihat wajahku di layar ponselnya. "Jadi begini kelakukan kamu di belakangku, Mas!" Ku
"Urusi anakmu jangan urusi gundik kecil itu!" ucapku kesal. Mas Tara diam, dia tak bisa menjawab perkataanku. "Aluna tunggu sebentar, ya. Mama ambilkan kompres dan termometer dulu."Aku segera melangkah menuju lantai bawah untuk mengambil kompres dan termometer. Tak lupa ku ambilkan obat agar menurunkan panasnya. Kutempelkan termometer di ketiaknya. Sambil menunggu termometer berbunyi ku elus pucuk kepalanya. Wajahnya biasanya ceria kini terlihat sayu. "Ma, pusing.""Setelah minum obat pasti sembuh. Sabar, ya, Sayang."Tak berapa lama terdengar bunyi pelan yang keluar dari benda kecil itu. Aku mengambil, melihat tulisan yang ada di sana, 38,8° C. Demam Aluna tinggi. Pasti ia merasakan sakit. Kasihan kamu, Nak. "Aluna minum obat dulu, ya." Aluna mengangguk pelan. Obat yang sudah kugerus, kularutkan dengan air putih di dalam sendok. Dalam hitungan detik obat itu sudah berpindah ke perutnya. Tidak seperti anak kecil lainnya, Aluna termasuk anak yang mudah minum obat. Dia tak akan m
"Hak asuh Aluna akan berada di tanganku. Ingat Alin, kamu itu pengangguran. Kamu mau makan apa jika berpisah denganku? Hakim tak akan memberikan hak asuh anak pada orang tua yang tidak bekerja seperti kamu!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Semangatku untuk berpisah seakan menguap di udara. Kehilangan hak asuh anak adalah momok paling menakutkan bagi seorang ibu. Begitu juga diriku. Mas Tara memang benar, saat ini aku tak memiliki pekerjaan. Bayangan akan kerja di mana aku juga tidak tahu. "Ma." Aku tersentak lalu menoleh ke samping. Aluna masih menutup mata sambil memanggil namaku berulang kali. Dia mengigau. Kuperiksa suhu tubuhnya. Astaga, suhu tubuhnya 39,7°C. Ya Allah, kenapa suhu tubuhnya masih panas padahal sudah diperiksakan ke dokter. Dengan cepat ku ambil ponsel, jemari ini menari di atas layar. Dua belas digit nomor ponsel Mas Tara sudah tertulis jelas di sana. Segera kutarik ke atas gambar telepon berwarna hijau itu. Panggilan itu tersambung tapi tak kunj
"Pak Leo.""Anak kamu sakit apa, Lin?" Mengernyitkan dahi mendengar ucapannya. Dari mana ia tahu jika Aluna sakit? Bahkan aku belum mengatakan apa pun. "Bapak tahu dari mana?""Lho, bukankah Tara izin tidak masuk kantor karena anaknya sakit, ya?"DEG! Mas Tara izin tak masuk kantor? Tapi kenapa tadi ia berangkat ke kantor? Ada yang tidak beres di sini. Mas Tara pasti sedang asyik memadu kasih dengan anak ingusan itu. Allah... Ayah macam apa dia? Di sini kami berjuang tapi di sana ia bersenang-senang. "Alin." Sebuah sentuhan di pundak kembali menyentakku. "Eh, iya, Pak.""Anak kamu sakit a...." Belum sempat Pak Leo melanjutkan kalimatnya, kami dikejutkan dengan suara tangis anak kecil. Aku tahu pasti, suara tangis siapa itu, Aluna. Aku segera masuk ke ruang IGD, kutinggalkan Pak Leo begitu saja. "Mama ... Hu hu hu ...." Suara Aluna semakin keras. "Sayang, kenapa?" Kupeluk tubuhnya erat. Kuhapus jejak air mata yang masih menempel di pipinya. Perlahan tangis itu mereda, rasa tak
Pov Tara"Mas berisik!" ucap Imelda kesal karena ponselku terus saja berbunyi. Kuambil benda pipih yang ada di atas nakas, tiga buah panggilan dari Alin. Kenapa Alin menghubungiku di jam seperti ini? Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Mengingat dia kutinggalkan dalam keadaan sakit. Belum sempat kuangkat panggilan telepon itu berhenti seketika. Ah, mungkin Aluna hanya merindukan aku. Jika ada sesuatu Alin pasti mengirim pesan."Sayang, kok aku dianggurin, sih?" Imelda menyilangkan kedua tangan di dada. Bibirnya mengerucut membuatku semakin gemas saja. Ponsel kumatikan kemudian kuletakkan di atas nakas. Alin tak akan bisa menganggu waktuku dengan Imelda. "Mas, ih nyebelin," ucapnya kesal. Anak remaja dengan tingkah manja dan kekanak-kanakan membuatku semakin gemas. Itu yang membuatku enggan berpaling padanya. Alin memang benar, selama ini aku masih menjalin hubungan dengan gadis itu. Di depan Alin saja aku terlihat setia tapi sejujurnya aku masih memikirkan bahkan berkomunikasi den
Pov TaraCepat-cepat menyalakan ponsel yang sempat aku nonaktifkan. Beberapa panggilan tak terjawab dari Alin dan Pak Leo. Tak berapa lama tiga pesan dari nomor Alin masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku. Disusul pesan dari Pak Leo. Mereka berdua kenapa kompak menghubungiku? [Mas kamu di mana?][Angkat teleponku! ][Aluna masuk rumah sakit!]Ya Tuhan, ternyata Aluna masuk rumah sakit. Bukankah tadi sudah tak panas? Tapi kenapa bisa masuk rumah sakit lagi. Lampu kunyalakan, lalu bergegas menuju rumah sakit tempat Alin biasa memeriksakan Aluna saat sakit. TINGSebuah pesan masuk. Aku hanya meliriknya lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku melihat mobil Alin terparkir di halaman rumah sakit. Ternyata dugaanku benar, Aluna dirawat di rumah sakit ini. "Malam, Sus. Maaf kamar inap atas nama Aluna ada di mana, ya?""Ada di kamar VVIP, lantai tiga, Pak."Setelah mendapatkan kamar inap Aluna aku segera berjalan ke sana. Tentu dengan mengatakan jika aku ayahnya. Ini bukan jam jengu
Menggeleng kala melihat halaman rumah. Daun berserakan, tempat sampah penuh, belum lagi debu yang menempel di kursi. Astaga, ini rumah atau bukan? Baru dua hari kutinggal tapi rumah sudah seperti kapal pecah. Bagaimana dengan isi rumah? Pasti mengerikan. Belum sempat aku membuka,pintu itu sudah ditarik dari dalam. Mas Tara sudah berdiri dengan pakaian kerjanya.“Lho,kamu kok ada di sini,Lin? Aluna siapa yang jaga?” “Aku titipkan kepada Monica sebentar. Aku hanya ingin menukar pakaian kotor ini dengan pakaian bersih.” Kutunjukkan tas berisi pakaian kotor padanya. “Sekalian kamu cuci pakaian kotor yang ada di keranjang,Lin. Sudah menggunung itu.”Menghembuskan napas kasar,ucapan Mas Tara mampu memancing emosi yang sedari tadi kutahan. Bukankah kemarin ia tak ke rumah sakit dengan alasan membersihkan rumah yang berantakan. Tapi apa ini? "Bisa, kan kamu nyuci baju dulu?" "Lihat nantilah, Mas." Aku berlalu menuju belakang untuk menaruh pakaian kotor ini."Kapan Aluna bisa pulang?" ta