"Mama!"Kami segera berlari, mama sudah tergelatak di lantai. Beliau tak sadarkan diri. "Ma, bangun, Ma!" Aku mengguncangkan pelan tubuhnya. Namun beliau masih tak sadarkan diri. "Ma ... Mam! " Satriya menepuk pelan pipi mama. Tapi terap saja tidak ada reaksi. "Bawa ke rumah sakit, Sat! Mas Tara tolong siapkan mobil."Mas Tara mengangguk dengan cepat ia berlari ke depan. Tak berapa ia kembali masuk. "Ayo bopong, Sat!"Satriya dan Mas Tara membopong tubuh mama lalu menidurkannya di jok belakang. Dengan cepat Satriya mengangkat kepala mama laku di tidurkan di atas pahanya. "Kamu di rumah saja, Lin. Jaga Aluna." Mas Tara segera masuk ke mobil. Perlahan kendaraan roda empat itu berjalan meninggalkan halaman rumah mama. Ya Allah... Kenapa bisa seperti ini. Harusnya kami tak bertengkar hingga mengganggu tidur mama. Kalau saja kami bisa menahan amarah mungkin mama tak akan seperti ini. Melangkah gontai menuju kamar, Aluna masih tertidur pulas di atas ranjang. Pertengkaran hebat sama
Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Namun Mas Tara atau Satriya belum memberi kabar lagi. Perasaan gelisah dan takut tiba-tiba menyapa, membuat aku tak bisa tidur. Lelah dengan kejadian hari ini membuat mata ini terasa berat. Hingga akhirnya aku terlelap. "Alin." Suara mama membuat mataku terbuka seketika. Aku membuka mempertajam pengelihatan. Kenapa aku tiba-tiba berada di dalam kamar dengan warna putih mendominasi. Aku berada di dalam ruang rawat mama. Menoleh sekeliling, kucari dua lelaku yang tadi mengantar mama kemari. Namun tak satu pun mereka berada di sini. Apa jangan-jangan mereka pulang? Lalu aku yang mendapat giliran menjaga mama di rumah sakit. Ya, sepertinya begitu. "Alin." Mama menyentuh tanganku. Dingin, sentuhan tangan mama seperti es batu. "Mama sudah sembuh? Jangan buat Alin khawatir, ma." Kugenggam tangan dingin itu. "Maafkan mama, Nak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kuhapus jejak air mata yang menempel di pipinya. " Alin yang harusnya mint
"Bagaimana, Lin? Kamu mau, kan memulai dari awal?" tanya Mas Tara seraya menggenggam kedua tanganku. Aku diam, kuselami sorot netra itu. Namun aku tak tahu kejujuran atau kebohongan yang tergambar di sana? Memulai suatu hubungan setelah luka dan pengkhianatan tidaklah mudah. Bahkan rasa ini begitu berat. Apakah aku sanggup memulai pernikahan dari awal? Setelah dia tega menancapkan belati di hati ini. "Tolong pikirkan baik-baik, Lin. Kasihan Aluna. Kalau kita bercerai Aluna pasti terluka. Aku tahu aku salah, Lin. Tolong maafkan aku."Aku menghela napas, perkataan Mas Tara memang benar. Aluna akan menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya. Namun mengorbankan hati ini, apakah pilihan yang tepat? "Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang juga? Aku butuh waktu untuk berpikir."Mas Tara membuang napas kasar lalu akhirnya menganggukkan kepala. "Makan dulu, Mas." Aku berjalan meninggalkan Mas Tara yang masih mematung di kamar. Satriya sudah makan saat aku tiba di ruang maka
"Aku tidak tahu, Sat.""Beri dia satu kesempatan, Mbak. Kurasa Mas Tara sudah berubah. Tak ada salahnya memperbaiki hubungan yang rusak, kan?"Aku membisu. Entah angin apa yang membuat sikapnya berubah 180 derajat? "Namun satu yang harus Mbak ingat, kalau sampai Mas Tara melakukan hal yang sama. Aku akan merebut Mbak dengan tanganku sendiri," ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Aku melangkah menuju kamar. Rasa lelah menuntunku untuk segera merebahkan tubuh. Aku buka pintu perlahan, takut mengganggu Aluna yang sudah tertidur. Ah, aku lupa, Aluna sudah tertidur pulas bersama kakek dan neneknya. Terpaksa malam ini aku tidur sekamar dengan Mas Tara. Tidak mungkin aku tidur di kamar mama. Ibu dan bapak pasti akan curiga. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Kutarik selimut hingga menutupi perut. Kali ini aku berharap Mas Tara ketiduran di sofa agar tak sekamar denganku. Kreek... Suara pintu dibuka dari luar. Rupanya aku harus kecewa, harapanku tak dikabulkan oleh Tuhan. "Kamu sudah
"Mau apa kamu kemari, anak kecil?" Aku berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Marah dan benci melebur menjadi satu. Kalau boleh ingin kuacak-acak perempuan di hadapanku ini. Namun kutahan agar tak menimbulkan masalah baru. Tak lucu jika aku menghajar seorang anak yang masih sekolah. Kalau dia sudah dewasa pasti akan kuhajar dengan tanganku sendiri. "Aku merindukan suami kamu, Mbak Alin," ucapnya tanpa rasa malu. Ya Allah, apa seperti ini anak muda jaman sekarang? Mencintai lelaki yang pantas menjadi kakaknya atau bahkan ayahnya. “Kamu masih kecil,kamu tak pantas mencintai lelaki yang jauh lebih dewasa. Bahkan dia sudah memiliki anak dan istri. Istighfar kamu,Mel.”“Bukankah cinta tidak pernah memandang usia,kasta bahkan status?” ucapnya penuh keyakinan.Astagfirullah ... setan apa yang menempel di tubuh anak itu. Hingga ia salah mengartikan kata cinta yang sesungguhnya.“Pergi saja kamu dari sini,Mel. Jangan memperkeruh suasa
"Mama mau ke mana?" tanya Aluna yang sudah berada di belakangku. Tak lama Mas Tara masuk ke kamar. "Mama ada perlu, Sayang. Aluna sama papa dulu, ya." Ku elus pucuk kepalanya. "Aluna ikut," rengeknya sambil bergelayut di kakiku. Pasti akan ada drama setelah ini. Betapa susah menikmati waktu sendiri. "Aluna main sama papa dulu, ya. Nanti kita nonton film kartun," bujuk Mas Tara. "Gak mau! Aku mau ikut mama.""Nanti mama belikan es krim kalau Aluna mau main sama papa," bujukku sambil menatap lekat maniknya. "Tapi gak boleh lama." Perlahan tangannya terlepas dari kakiku. Selalu saja ada drama saat aku meminta izin pergi. Tak jarang aku harus pergi diam-diam. Itu pun tak akan bisa lama. Aluna akan menerorku dengan telepon yang memintaku cepat pulang. "Iya, Sayang. Mau es krim rasa apa?""Mau es krim rasa coklat dan vanila.""Siap. Mama pergi dulu, ya." Kuciumi pipi Aluna beberapa kali. "Titip Aluna, Mas," ucapku lalu mencium punggung tangannya. "Hati-hati di jalan, Mama." Mas Ta
Mataku membola melihat Mas Tara berada di atas ranjang tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Bahkan ia melakukan hal menjijikan seperti itu. "A-Alin," ucapnya terbata. Cepat-cepat ia ambil selimut untuk menutupi miliknya yang terekspos sempurna. Aku berlari, dengan cepat kuambil ponsel yang berada di tangannya. Tepat saat ia kebingungan menutupi tubuh. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Jadi begini tingkahnya di belakangku. Menjijikan. Apa jangan-jangan seperti ini kebiasaannya? "Sayang, kamu di mana? Katanya mau sekali lagi.""Sayang, aku sudah memenuhi permintaanmu, lho."Dadaku bergemuruh mendengar suara perempuan di balik telepon itu. Kuarahkan ponsel di depan wajah. Mataku melotot melihat wanita tanpa busana di layar itu. Siapa lagi kalau bukan Imelda. Anak ingusan yang sudah menghancurkan keharmonisan keluarga kecilku. Dia buru-buru mematikan panggilan telepon ketika melihat wajahku di layar ponselnya. "Jadi begini kelakukan kamu di belakangku, Mas!" Ku
"Urusi anakmu jangan urusi gundik kecil itu!" ucapku kesal. Mas Tara diam, dia tak bisa menjawab perkataanku. "Aluna tunggu sebentar, ya. Mama ambilkan kompres dan termometer dulu."Aku segera melangkah menuju lantai bawah untuk mengambil kompres dan termometer. Tak lupa ku ambilkan obat agar menurunkan panasnya. Kutempelkan termometer di ketiaknya. Sambil menunggu termometer berbunyi ku elus pucuk kepalanya. Wajahnya biasanya ceria kini terlihat sayu. "Ma, pusing.""Setelah minum obat pasti sembuh. Sabar, ya, Sayang."Tak berapa lama terdengar bunyi pelan yang keluar dari benda kecil itu. Aku mengambil, melihat tulisan yang ada di sana, 38,8° C. Demam Aluna tinggi. Pasti ia merasakan sakit. Kasihan kamu, Nak. "Aluna minum obat dulu, ya." Aluna mengangguk pelan. Obat yang sudah kugerus, kularutkan dengan air putih di dalam sendok. Dalam hitungan detik obat itu sudah berpindah ke perutnya. Tidak seperti anak kecil lainnya, Aluna termasuk anak yang mudah minum obat. Dia tak akan m
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki