"Apa bedanya kamu dan dia? Dia tak akan masuk jika kamu tak membukakan pintu. Kamu dan Imelda sama-sama murahan!"Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari mulut seorang istri untuk suaminya. Namun suami yang bagaimana dulu? Kalau seperti Mas Tara kata-kata itu tak ada artinya. Dia jauh lebih menjijikkan dari kata yang kuucapkan. "Sayang, maafkan aku." Mas Tara menundukkan kepala, dia takut beradu pandang denganku. "Sejak kapan? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Satu bulan? Tiga bulan? Atau justru satu tahun?" Suaraku bergetar. Kalimat yang kuucapkan sungguh menyesakkan dada. "A-aku... Aku dan Imelda ....""Katakan dengan jelas, kamu bisa ngomong, kan, Mas? Kamu tidak bisu, kan!"Mas Tara menelan ludah dengan susah payah. Kemudian memilih diam, dia seolah sedang merangkai kata agar tak menyakiti hatiku. Dia lupa tanpa ia rangkai kenyataan ini sudah memporak-porandakan hati dan jiwaku. Lelaki yang dulu kubanggakan, kucintai dengan tulus justru menusuk dari belakang. Apa ini bal
CIIT.... BRUGG!Mobil yang aku kemudikan menabrak mobil mewah yang ada di depanku. Ah, gara-gara memikirkan Mas Tara membuat pikiranku kacau seperti ini. Mobil itu menepi ke kiri. Aku pun segera menepikan mobil tepat di belakangnya. Dengan ragu aku keluar dari mobil. Tepat di saat seorang lelaki ke luar dari sana. Masalah satu belum selesai tambah lagi masalah baru. Kenapa cobaan datang bertubi-tubi padaku? Ya Robb... "Maaf, saya tidak sengaja menabrak mobil, Bapak," ucapku pelan seraya menundukkan kepala. Aku tak berani beradu pandang dengan lelaki itu. Aku atur napas sambil menyiapkan mental. Setelah ini cacian dan makian akan kembali kudengar. Memang salahku yang tak fokus mengendarai. Tak salah jika pemilik mobil itu akan marah dan menuntut ganti rugi. "Bu Alin, istri Pak Tara, kan?" Aku mengangkat kepala ke atas saat mendengar namaku disebut. Siapa gerangan lelaki ini? Kenapa mengetahui nama dan suamiku? "Pak... Pak Leo," panggilku lirih.Aku semakin tak enak hati mengetah
"Mbak, melamun?" Aku kembali menoleh ke arah Satriya. "Supnya sudah matang itu!" Satriya menunjukkan panci di atas kompor yang telah mendidih. "Mau, Sat?""Boleh deh, Mbak. Aku juga belum makan dari tadi. Lapar." Dia memegangi perutnya masih sudah kempes itu. "Ambilkan mangkuk dua, Sat!" Dia mengangguk kemudian mengambil mangkuk yang ada di belakangku. Aku hendak memutar badan tapi lantai yang terkena air membuat keseimbangan tubuhku berkurang. BRUUGAku jatuh tepat di tubuh Satriya. Tangan kanan lelaki itu memegang satu mangkuk. Sesaat mata kami saling bertemu. Satriya menatap lekat mata ini, lalu kudengar detak jantungnya yang begitu cepat. Apa jangan-jangan.... Prok! Prok! Prok! Seketika terdengar suara tepuk tangan. Aku dan Satriya menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Mataku membola melihat siapa yang berdiri tak jauh dari kami. "Bagus, ya. Ini yang kalian lakukan di belakangku?" Aku dan Satriya langsung berdiri. "Pantas saja kamu kekeh minta cerai, Lin. Ternyata sudah
"Mama!"Kami segera berlari, mama sudah tergelatak di lantai. Beliau tak sadarkan diri. "Ma, bangun, Ma!" Aku mengguncangkan pelan tubuhnya. Namun beliau masih tak sadarkan diri. "Ma ... Mam! " Satriya menepuk pelan pipi mama. Tapi terap saja tidak ada reaksi. "Bawa ke rumah sakit, Sat! Mas Tara tolong siapkan mobil."Mas Tara mengangguk dengan cepat ia berlari ke depan. Tak berapa ia kembali masuk. "Ayo bopong, Sat!"Satriya dan Mas Tara membopong tubuh mama lalu menidurkannya di jok belakang. Dengan cepat Satriya mengangkat kepala mama laku di tidurkan di atas pahanya. "Kamu di rumah saja, Lin. Jaga Aluna." Mas Tara segera masuk ke mobil. Perlahan kendaraan roda empat itu berjalan meninggalkan halaman rumah mama. Ya Allah... Kenapa bisa seperti ini. Harusnya kami tak bertengkar hingga mengganggu tidur mama. Kalau saja kami bisa menahan amarah mungkin mama tak akan seperti ini. Melangkah gontai menuju kamar, Aluna masih tertidur pulas di atas ranjang. Pertengkaran hebat sama
Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Namun Mas Tara atau Satriya belum memberi kabar lagi. Perasaan gelisah dan takut tiba-tiba menyapa, membuat aku tak bisa tidur. Lelah dengan kejadian hari ini membuat mata ini terasa berat. Hingga akhirnya aku terlelap. "Alin." Suara mama membuat mataku terbuka seketika. Aku membuka mempertajam pengelihatan. Kenapa aku tiba-tiba berada di dalam kamar dengan warna putih mendominasi. Aku berada di dalam ruang rawat mama. Menoleh sekeliling, kucari dua lelaku yang tadi mengantar mama kemari. Namun tak satu pun mereka berada di sini. Apa jangan-jangan mereka pulang? Lalu aku yang mendapat giliran menjaga mama di rumah sakit. Ya, sepertinya begitu. "Alin." Mama menyentuh tanganku. Dingin, sentuhan tangan mama seperti es batu. "Mama sudah sembuh? Jangan buat Alin khawatir, ma." Kugenggam tangan dingin itu. "Maafkan mama, Nak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kuhapus jejak air mata yang menempel di pipinya. " Alin yang harusnya mint
"Bagaimana, Lin? Kamu mau, kan memulai dari awal?" tanya Mas Tara seraya menggenggam kedua tanganku. Aku diam, kuselami sorot netra itu. Namun aku tak tahu kejujuran atau kebohongan yang tergambar di sana? Memulai suatu hubungan setelah luka dan pengkhianatan tidaklah mudah. Bahkan rasa ini begitu berat. Apakah aku sanggup memulai pernikahan dari awal? Setelah dia tega menancapkan belati di hati ini. "Tolong pikirkan baik-baik, Lin. Kasihan Aluna. Kalau kita bercerai Aluna pasti terluka. Aku tahu aku salah, Lin. Tolong maafkan aku."Aku menghela napas, perkataan Mas Tara memang benar. Aluna akan menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya. Namun mengorbankan hati ini, apakah pilihan yang tepat? "Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang juga? Aku butuh waktu untuk berpikir."Mas Tara membuang napas kasar lalu akhirnya menganggukkan kepala. "Makan dulu, Mas." Aku berjalan meninggalkan Mas Tara yang masih mematung di kamar. Satriya sudah makan saat aku tiba di ruang maka
"Aku tidak tahu, Sat.""Beri dia satu kesempatan, Mbak. Kurasa Mas Tara sudah berubah. Tak ada salahnya memperbaiki hubungan yang rusak, kan?"Aku membisu. Entah angin apa yang membuat sikapnya berubah 180 derajat? "Namun satu yang harus Mbak ingat, kalau sampai Mas Tara melakukan hal yang sama. Aku akan merebut Mbak dengan tanganku sendiri," ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Aku melangkah menuju kamar. Rasa lelah menuntunku untuk segera merebahkan tubuh. Aku buka pintu perlahan, takut mengganggu Aluna yang sudah tertidur. Ah, aku lupa, Aluna sudah tertidur pulas bersama kakek dan neneknya. Terpaksa malam ini aku tidur sekamar dengan Mas Tara. Tidak mungkin aku tidur di kamar mama. Ibu dan bapak pasti akan curiga. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Kutarik selimut hingga menutupi perut. Kali ini aku berharap Mas Tara ketiduran di sofa agar tak sekamar denganku. Kreek... Suara pintu dibuka dari luar. Rupanya aku harus kecewa, harapanku tak dikabulkan oleh Tuhan. "Kamu sudah
"Mau apa kamu kemari, anak kecil?" Aku berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Marah dan benci melebur menjadi satu. Kalau boleh ingin kuacak-acak perempuan di hadapanku ini. Namun kutahan agar tak menimbulkan masalah baru. Tak lucu jika aku menghajar seorang anak yang masih sekolah. Kalau dia sudah dewasa pasti akan kuhajar dengan tanganku sendiri. "Aku merindukan suami kamu, Mbak Alin," ucapnya tanpa rasa malu. Ya Allah, apa seperti ini anak muda jaman sekarang? Mencintai lelaki yang pantas menjadi kakaknya atau bahkan ayahnya. “Kamu masih kecil,kamu tak pantas mencintai lelaki yang jauh lebih dewasa. Bahkan dia sudah memiliki anak dan istri. Istighfar kamu,Mel.”“Bukankah cinta tidak pernah memandang usia,kasta bahkan status?” ucapnya penuh keyakinan.Astagfirullah ... setan apa yang menempel di tubuh anak itu. Hingga ia salah mengartikan kata cinta yang sesungguhnya.“Pergi saja kamu dari sini,Mel. Jangan memperkeruh suasa