Mobil yang Satriya kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan Aluna terus menyanyi, putri kecilku sangat bahagia. Harusnya Mas Tara yang ada di depan, bukan justru Satriya. "Om nyalakan musiknya, dong. Lagu balonku ada lima," pinta Aluna sambil menyenggol tangan Satriya. "Adek, duduk yang anteng." Aluna tak menghiraukan ucapanku, dia terus saja meminta Satriya menyalakan musik sesuai permintaannya. "Ditepikan dulu, Sat." Satriya segera menepikan mobil kemudian menyalakan musik sesuai permintaan putriku. Alunan lagu balonku ada lima menggema memenuhi mobil. Aluna pun mengikuti setiap syair lagu itu. Mobil kembali berjalan menuju Tawangmangu, tempat kebun stroberi berada. "Alin." Aku tersentak lalu menoleh ke kiri. Mama menatap penuh tanya ke arahku"Kamu kenapa diam saja, Lin. Mama lihat dari tadi kamu melamun."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa yang harus kukatakan padanya? "Alin tidak melamun, Ma. Alin hanya menikmati pemandangan luar. Ternyata banyak, ya
"Aluna ...."Aluna tak menjawab dia fokus menatap ke seberang jalan. Apa dia masih takut? Rasa penasaran membuatku membalikkan badan. Mataku melotot melihat dua orang yang ada di seberang jalan. "Mas Tara ...," ucapku lirih."Papa!" teriak Aluna lantang. Mas Tara memutar badan,tangan yang sempat merangkul wanita itu terlepas begitu saja. Kakiku terasa lemas, menopang tubuh saja tak sanggup. Apa lagi harus menggendong Aluna. Allah... Rasanya begitu berat melihat suami bermesraan dengan orang lain di depan mata. "Tara!" bentak Mama. Wanita yang sudah kuanggap ibu kandung itu berjalan cepat ke arah Mas Tara. Dadanya naik turun, tangan mengepal dengan sorot mata tajam bak elang. PLAAKSatu tamparan Mama hadiahkan pada putra kesayangannya. Mas Tara memegangi pipi yang memerah. Sakit, tapi lebih sakit hatiku."Aluna sama om, ya." Dengan cekatan Satriya mengambil Aluna dari gendonganku. Dia ajak Aluna pergi dari sini. Anak sekecil itu tak pantas melihat pertengkaran yang terjadi pada
“Mama kenapa?” Kubantu Mama duduk di jalan.Sempat aku melirik Mas Tara,lelaki itu justru melangkah pergi dari kerumunan ini. Lelaki macam apa yang masih menjadi suamiku itu? Degan ibu kandungnya saja tega,apa lagi denganku,wanita asing yang ia hidupi.“Ma-maafkan anak Mama,Lin,” ucapnya lirih seraya memegangi dada. “Kita ke rumah sakit,Ma.”“Lin ....”Seketika tubuh Mama ambruk dalam pelukanku.“Mama bangun,Ma!” Kusentuh kedua pipinya. Tetapi Mama sudah tak sadarkan diri.“Satriya!Tolong! Mama pingsan!”“Ya Allah,bantu-bantu,” ucap seseorang tapi aku tak tahu siapa itu. Pikiranku sudah dipenuhi oleh Mama“Tolong bantu angkat ke mobil,Pak.”Beberapa lelaki segera membopong tubuh Mama kemudian menidurkannya di jok tegah mobil. Tak berapa lama Satriya datang sambil menggendong Aluna.“Oma ....” Aluna menangis melihat Omanya sudah tak sadarkan diri. “Mama kenapa, Mbak?” Satriya mendekat,raut kekhawatiran terlihat jelas di sana.“Mas Tara di mana,Mbak?” Satriya menatap sekeliling tapi l
Aku membisu, pertanyaan Mama tak mampu kujawab. Memang terlalu cepat kata pisah terucap dari mulutku. Namun bagaimana aku bisa bertahan menghadapi suami yang telah membagi hatinya untuk perempuan lain. "Jangan pikirkan hal yang berat, Ma. Mama harus fokus dengan kesembuhan Mama." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Setelah Mama sudah lebih baik, akhirnya Mama diperbolehkan pulang. Dengan catatan beliau tak boleh capek dan banyak pikiran. Karena itu sangat berpengaruh terhadap kesehatannya. "Mbak mau pulang atau menginap di sini?" tanya Satriya setelah kami tiba di rumah mama. "Mbak di sini saja, Sat. Kasihan Mama kalau Mbak pulang," jawabku lalu membantu membaringkan Mama di ranjangnya. Sebenarnya bukan hanya itu alasanku memilih tinggal di sini. Aku tak ingin bertemu Mas Tara untuk sementara waktu. Aku butuh menenangkan diri. "Baiklah, kurasa itu yang terbaik untuk Mbak saat ini." Satriya melangkah pergi menuju pintu. Dengan cepat aku mengikuti langkahnya. "Tunggu, Sat!"
"Apa bedanya kamu dan dia? Dia tak akan masuk jika kamu tak membukakan pintu. Kamu dan Imelda sama-sama murahan!"Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari mulut seorang istri untuk suaminya. Namun suami yang bagaimana dulu? Kalau seperti Mas Tara kata-kata itu tak ada artinya. Dia jauh lebih menjijikkan dari kata yang kuucapkan. "Sayang, maafkan aku." Mas Tara menundukkan kepala, dia takut beradu pandang denganku. "Sejak kapan? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Satu bulan? Tiga bulan? Atau justru satu tahun?" Suaraku bergetar. Kalimat yang kuucapkan sungguh menyesakkan dada. "A-aku... Aku dan Imelda ....""Katakan dengan jelas, kamu bisa ngomong, kan, Mas? Kamu tidak bisu, kan!"Mas Tara menelan ludah dengan susah payah. Kemudian memilih diam, dia seolah sedang merangkai kata agar tak menyakiti hatiku. Dia lupa tanpa ia rangkai kenyataan ini sudah memporak-porandakan hati dan jiwaku. Lelaki yang dulu kubanggakan, kucintai dengan tulus justru menusuk dari belakang. Apa ini bal
CIIT.... BRUGG!Mobil yang aku kemudikan menabrak mobil mewah yang ada di depanku. Ah, gara-gara memikirkan Mas Tara membuat pikiranku kacau seperti ini. Mobil itu menepi ke kiri. Aku pun segera menepikan mobil tepat di belakangnya. Dengan ragu aku keluar dari mobil. Tepat di saat seorang lelaki ke luar dari sana. Masalah satu belum selesai tambah lagi masalah baru. Kenapa cobaan datang bertubi-tubi padaku? Ya Robb... "Maaf, saya tidak sengaja menabrak mobil, Bapak," ucapku pelan seraya menundukkan kepala. Aku tak berani beradu pandang dengan lelaki itu. Aku atur napas sambil menyiapkan mental. Setelah ini cacian dan makian akan kembali kudengar. Memang salahku yang tak fokus mengendarai. Tak salah jika pemilik mobil itu akan marah dan menuntut ganti rugi. "Bu Alin, istri Pak Tara, kan?" Aku mengangkat kepala ke atas saat mendengar namaku disebut. Siapa gerangan lelaki ini? Kenapa mengetahui nama dan suamiku? "Pak... Pak Leo," panggilku lirih.Aku semakin tak enak hati mengetah
"Mbak, melamun?" Aku kembali menoleh ke arah Satriya. "Supnya sudah matang itu!" Satriya menunjukkan panci di atas kompor yang telah mendidih. "Mau, Sat?""Boleh deh, Mbak. Aku juga belum makan dari tadi. Lapar." Dia memegangi perutnya masih sudah kempes itu. "Ambilkan mangkuk dua, Sat!" Dia mengangguk kemudian mengambil mangkuk yang ada di belakangku. Aku hendak memutar badan tapi lantai yang terkena air membuat keseimbangan tubuhku berkurang. BRUUGAku jatuh tepat di tubuh Satriya. Tangan kanan lelaki itu memegang satu mangkuk. Sesaat mata kami saling bertemu. Satriya menatap lekat mata ini, lalu kudengar detak jantungnya yang begitu cepat. Apa jangan-jangan.... Prok! Prok! Prok! Seketika terdengar suara tepuk tangan. Aku dan Satriya menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Mataku membola melihat siapa yang berdiri tak jauh dari kami. "Bagus, ya. Ini yang kalian lakukan di belakangku?" Aku dan Satriya langsung berdiri. "Pantas saja kamu kekeh minta cerai, Lin. Ternyata sudah
"Mama!"Kami segera berlari, mama sudah tergelatak di lantai. Beliau tak sadarkan diri. "Ma, bangun, Ma!" Aku mengguncangkan pelan tubuhnya. Namun beliau masih tak sadarkan diri. "Ma ... Mam! " Satriya menepuk pelan pipi mama. Tapi terap saja tidak ada reaksi. "Bawa ke rumah sakit, Sat! Mas Tara tolong siapkan mobil."Mas Tara mengangguk dengan cepat ia berlari ke depan. Tak berapa ia kembali masuk. "Ayo bopong, Sat!"Satriya dan Mas Tara membopong tubuh mama lalu menidurkannya di jok belakang. Dengan cepat Satriya mengangkat kepala mama laku di tidurkan di atas pahanya. "Kamu di rumah saja, Lin. Jaga Aluna." Mas Tara segera masuk ke mobil. Perlahan kendaraan roda empat itu berjalan meninggalkan halaman rumah mama. Ya Allah... Kenapa bisa seperti ini. Harusnya kami tak bertengkar hingga mengganggu tidur mama. Kalau saja kami bisa menahan amarah mungkin mama tak akan seperti ini. Melangkah gontai menuju kamar, Aluna masih tertidur pulas di atas ranjang. Pertengkaran hebat sama
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki