Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Ini memang bukan kali pertama Satriya mengatakan hal itu. Namun tak pernah kutanggapi dengan serius. Aku tahu sifatnya humoris dan suka bercanda. Sehingga apa yang keluar dari mulutnya tak pernah kuanggap serius."Bercanda, Mbak. Itu muka biasa aja kali," ucapnya lagi. Perkataan Satriya mampu membuatku semakin tak enak berdua dalam ruangan yang sama dengannya. Rasa canggung kian mendominasi menjadikan batasan untukku bergerak. "Mas Tara gak ke sini, Mbak?" tanyanya memecah keheningan yang sempat melanda. Aku mengangkat bahu tanda tak mengetahui jawaban. Beberapa kali kukirim pesan tapi tak satu pun yang dibaca. Entah di mana Mas Tara berada. "Coba telepon temen kantornya, Mbak."Ah, kenapa aku tak pernah kepikiran untuk menanyakan pada rekan kerja Mas Tara. Namun untuk apa kutanyakan jika aku sendiri yakin Mas Tara sedang berada dalam pelukan wanita lain. "Buruan telepon, Mbak."Dengan terpaksa kucari kontak Adnan, teman sekantor Mas Ta
"Mbak Alin percaya?" tanya Satriya lagi karena aku diam membisu. "Mungkin Mas Tara pulang mendadak karena ingin mempersiapkan keberangkatan ke luar kota," jawabku sekenanya. Perkataan ini memang tidak masuk akal, aku yakin Satriya tak akan percaya. Apa yang harus kujelaskan jika ia kembali bertanya?"Alasan klise, Mbak. Anak TK saja tak percaya." Satriya mencebikkan bibir. Dengan kasar ia menjatuhkan tubuhnya di kursi. Dia tatap lurus ke depan. Tampak kekecewaan di sorot mata itu. Haruskah aku berkata jujur pada Satriya? Perlahan kujatuhkan bobot di kursi tepat di sebelahnya. Kuatur napas, tapi rasa sesak masih saja mendera. Sekuat apa pun aku pura-pura bahagia tapi nyatanya luka itu kian menggores hati, menyisakan perih tak bertepi. "Mas Tara memiliki perempuan lain.""APA!"Satriya saja terkejut, bagaimana dengan Mama? Bisa-bisa penyakit Mama kambuh, dan aku tak sanggup melihat itu. Mama memang bukan ibu kandungku, tapi kasih sayangnya sama seperti ibu kandungku sendiri. Belia
"Kita pulang,Mbak?" tanya Satriya ketika kami gagal membuntuti Mas Tara. Aku menghela napas, mengatur hati yang terlanjur kecewa. "Mbak!" Sentuhan di pundak menyentakku. Kutoleh ke kanan, tepat di mana Satriya menatapku penuh iba. "Kita pulang, kan?" tanyanya lagi. "Ke pasar dulu.""Mau ngapain? Belanja sayur? Mas Tara, kan gak ada di rumah.".Memijit kepala yang terasa berdenyut, begini kalau rekan kerjanya masih anak labil. "Alasan pada Mama tadi ke pasar, Sat. Tidak lucu kalau kita pulang tanpa membawa apa pun.""O, iya, Mbak. Lupa." Satriya menggaruk kepala yang tak gatal. Satriya kembali melajukan kendaraan roda empat ini menuju Pasar Legi. Jarak antara pasar dan tempat kami berhenti sekitar sepuluh menit. Kali ini Satriya mengemudikan mobil dengan hati-hati. "Mau beli apa, Mbak?" tanyanya setelah kami sampai di parkiran pasar. "Gak tahh juga, Sat. Kepala Mbak pusing."Aku tak bisa berpikir jernih. Hati dan pikiran terpaut pada Mas Tara. Aku dan Satriya berjalan sejajar
Mobil yang Satriya kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan Aluna terus menyanyi, putri kecilku sangat bahagia. Harusnya Mas Tara yang ada di depan, bukan justru Satriya. "Om nyalakan musiknya, dong. Lagu balonku ada lima," pinta Aluna sambil menyenggol tangan Satriya. "Adek, duduk yang anteng." Aluna tak menghiraukan ucapanku, dia terus saja meminta Satriya menyalakan musik sesuai permintaannya. "Ditepikan dulu, Sat." Satriya segera menepikan mobil kemudian menyalakan musik sesuai permintaan putriku. Alunan lagu balonku ada lima menggema memenuhi mobil. Aluna pun mengikuti setiap syair lagu itu. Mobil kembali berjalan menuju Tawangmangu, tempat kebun stroberi berada. "Alin." Aku tersentak lalu menoleh ke kiri. Mama menatap penuh tanya ke arahku"Kamu kenapa diam saja, Lin. Mama lihat dari tadi kamu melamun."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa yang harus kukatakan padanya? "Alin tidak melamun, Ma. Alin hanya menikmati pemandangan luar. Ternyata banyak, ya
"Aluna ...."Aluna tak menjawab dia fokus menatap ke seberang jalan. Apa dia masih takut? Rasa penasaran membuatku membalikkan badan. Mataku melotot melihat dua orang yang ada di seberang jalan. "Mas Tara ...," ucapku lirih."Papa!" teriak Aluna lantang. Mas Tara memutar badan,tangan yang sempat merangkul wanita itu terlepas begitu saja. Kakiku terasa lemas, menopang tubuh saja tak sanggup. Apa lagi harus menggendong Aluna. Allah... Rasanya begitu berat melihat suami bermesraan dengan orang lain di depan mata. "Tara!" bentak Mama. Wanita yang sudah kuanggap ibu kandung itu berjalan cepat ke arah Mas Tara. Dadanya naik turun, tangan mengepal dengan sorot mata tajam bak elang. PLAAKSatu tamparan Mama hadiahkan pada putra kesayangannya. Mas Tara memegangi pipi yang memerah. Sakit, tapi lebih sakit hatiku."Aluna sama om, ya." Dengan cekatan Satriya mengambil Aluna dari gendonganku. Dia ajak Aluna pergi dari sini. Anak sekecil itu tak pantas melihat pertengkaran yang terjadi pada
“Mama kenapa?” Kubantu Mama duduk di jalan.Sempat aku melirik Mas Tara,lelaki itu justru melangkah pergi dari kerumunan ini. Lelaki macam apa yang masih menjadi suamiku itu? Degan ibu kandungnya saja tega,apa lagi denganku,wanita asing yang ia hidupi.“Ma-maafkan anak Mama,Lin,” ucapnya lirih seraya memegangi dada. “Kita ke rumah sakit,Ma.”“Lin ....”Seketika tubuh Mama ambruk dalam pelukanku.“Mama bangun,Ma!” Kusentuh kedua pipinya. Tetapi Mama sudah tak sadarkan diri.“Satriya!Tolong! Mama pingsan!”“Ya Allah,bantu-bantu,” ucap seseorang tapi aku tak tahu siapa itu. Pikiranku sudah dipenuhi oleh Mama“Tolong bantu angkat ke mobil,Pak.”Beberapa lelaki segera membopong tubuh Mama kemudian menidurkannya di jok tegah mobil. Tak berapa lama Satriya datang sambil menggendong Aluna.“Oma ....” Aluna menangis melihat Omanya sudah tak sadarkan diri. “Mama kenapa, Mbak?” Satriya mendekat,raut kekhawatiran terlihat jelas di sana.“Mas Tara di mana,Mbak?” Satriya menatap sekeliling tapi l
Aku membisu, pertanyaan Mama tak mampu kujawab. Memang terlalu cepat kata pisah terucap dari mulutku. Namun bagaimana aku bisa bertahan menghadapi suami yang telah membagi hatinya untuk perempuan lain. "Jangan pikirkan hal yang berat, Ma. Mama harus fokus dengan kesembuhan Mama." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Setelah Mama sudah lebih baik, akhirnya Mama diperbolehkan pulang. Dengan catatan beliau tak boleh capek dan banyak pikiran. Karena itu sangat berpengaruh terhadap kesehatannya. "Mbak mau pulang atau menginap di sini?" tanya Satriya setelah kami tiba di rumah mama. "Mbak di sini saja, Sat. Kasihan Mama kalau Mbak pulang," jawabku lalu membantu membaringkan Mama di ranjangnya. Sebenarnya bukan hanya itu alasanku memilih tinggal di sini. Aku tak ingin bertemu Mas Tara untuk sementara waktu. Aku butuh menenangkan diri. "Baiklah, kurasa itu yang terbaik untuk Mbak saat ini." Satriya melangkah pergi menuju pintu. Dengan cepat aku mengikuti langkahnya. "Tunggu, Sat!"
"Apa bedanya kamu dan dia? Dia tak akan masuk jika kamu tak membukakan pintu. Kamu dan Imelda sama-sama murahan!"Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari mulut seorang istri untuk suaminya. Namun suami yang bagaimana dulu? Kalau seperti Mas Tara kata-kata itu tak ada artinya. Dia jauh lebih menjijikkan dari kata yang kuucapkan. "Sayang, maafkan aku." Mas Tara menundukkan kepala, dia takut beradu pandang denganku. "Sejak kapan? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Satu bulan? Tiga bulan? Atau justru satu tahun?" Suaraku bergetar. Kalimat yang kuucapkan sungguh menyesakkan dada. "A-aku... Aku dan Imelda ....""Katakan dengan jelas, kamu bisa ngomong, kan, Mas? Kamu tidak bisu, kan!"Mas Tara menelan ludah dengan susah payah. Kemudian memilih diam, dia seolah sedang merangkai kata agar tak menyakiti hatiku. Dia lupa tanpa ia rangkai kenyataan ini sudah memporak-porandakan hati dan jiwaku. Lelaki yang dulu kubanggakan, kucintai dengan tulus justru menusuk dari belakang. Apa ini bal