"Lin, bukannya itu Tara, ya, suami kamu. Tapi kok jalan dengan wanita," ucap Monica seraya menunjuk ke belakang.
Seketika aku menoleh ke belakang, mencari sosok Mas Tara.Aku masih menoleh ke kanan dan kiri karena situasi foot court ramai. Maklum saja ini hari sabtu, banyak pasangan kekasih atau anak muda yang menghabiskan waktu di akhir pekan.Mataku melotot kala melihat sepasang manusia berbeda jenis kelamin bergandengan mesra dengan posisi membelakangiku. Ya, dia Mas Tara, suamiku. Tapi siapa wanita muda yang dirangkul mesra.Kenapa wanita muda? Karena dia masih mengenakan seragam sekolah. Khas anak SMA.Dadaku bergemuruh, mataku mengembun, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi."Suami kamu selingkuh, Lin?"Aku diam, ingin mengatakan bukan. Namun fakta berkata lain. Tidak mungkin berpelukan mesra jika buka sepasang kekasih. Tapi kenapa anak SMA?"Hapus air mata kamu, Lin! Jangan cengeng! Kita ikuti mereka!" Monica menarik tanganku hingga aku nyaris jatuh berciuman dengan lantai. Untung saja kakiku bisa menopang dengan cepat."Ayo!" Monica kembali menarik tanganku.Aku dan Monica sedikit berlari mengejar Mas Tara. Namun entah ke mana perginya lelaki itu. Mereka seakan hilang di telan bumi. Bahkan bayangnya saja tidak nampak. Kami kehilangan jejak.Kakiku lemas, bumi yang kupijak seolah bergoyang. Aku luruh di lantai mall, air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi.Pengkhianatan adalah hal yang paling aku takutkan dalam sebuah hubungan, terlebih pernikahan. Rasanya masih tak percaya jika suamiku memiliki kekasih lain. Namun mata ini tak bisa menampik kenyataan yang ada."Jangan cengeng, Lin! Ayo, bangun!" Monica menarik tubuhku. Terseok-seok aku mengikuti langkahnya.Tatapan penasaran bahkan mengejek tergambar di sorot mata orang-orang yang kami lewati. Ada pula yang berbisik-bisik, mereka seolah mentertawakan aku. Ah, aku tak perduli, saat ini hanya Mas Tara yang memenuhi isi kepalaku.Apa dia benar-benar tega mengkhianati ikatan suci ini?Monica membuka pintu mobil sedikit kasar. Dengan kedipan mata ia memintaku duduk di samping kursi pengemudi. Perlahan aku menjatuhkan bobot, kulirik Monica yang tengah menatapku tajam. Tak lama sahabatku itu membuang napas kasar."Masih mau nangis?" tanyanya dengan nada suara sedikit pelan. Tidak segalak saat menarik tanganku tadi."Mas Tara... Mas Tara selingkuh, Mon."Cairan bening berlomba-lomba terjun bebas hingga mendarat di pipi, bahkan di hijab yang kukenakan. Aku tak bisa membohongi perasaan jika hati ini terluka, sangat terluka."Menangislah sepuas kamu, tapi cukup hari ini. Setelah ini kamu harus menyelidiki suami kamu. Kalau perlu bayar mata-mata untuk mengikuti Tama."Aku tidak mampu menjawab, hanya air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Bahkan perkataan Monica tak mampu kucerna. Kepalaku buntu, aku tidak mampu memikirkan apa pun selain pengkhianatan suamiku."Sudah cukup, ayo kita pulang!"Monica menyalakan mesin, perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan mall. Lalu lalang kendaraan silih berganti menyalip mobil ini."Kamu baik-baik saja, Lin?" Monica milirikku lalu kembali fokus menatap depan."Kamu mau jawaban jujur atau bohong, Mon?""Tidak usah kamu jawab, Lin. Aku sudah tahu apa yang kamu rasakan."Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Aku terlalu sibuk menata hati yang terlanjur hancur berantakan.Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam akhirnya kami berhenti tepat di halaman rumahku."Aku langsung pulang, ya, Lin. Masih ada urusan." Aku mengangguk lalu melangkah gontai menuju rumah.Rumah masih kosong saat aku tiba. Ya, jelas Mas Tara belum sampai, dia pasti tengah asyik memadu kasih dengan daun muda itu. Sakit, jika apa yang kulihat adalah kenyataan. Apa aku sanggup menerima kenyataan ini?Aku merebahkan tubuh di atas ranjang, kutenggelamkan wajah di atas bantal. Satu demi satu cairan bening nan hangat kembali jatuh. Aku terisak, menangisi nasib percintaan ini. Rasa lelah membuat rasa kantuk itu datang. Perlahan aku menutup mata hingga akhirnya terlelap ke alam mimpi."Sayang...."Sebuah tangan menyentuh pipi lalu berjalan ke leher."Sayang, kamu kenapa tidur tengkurap seperti ini?"Perlahan aku membuka mata, seketika cahaya tertangkap oleh retina. Namun saat kubuka terasa mengganjal. Kenapa ini?Dengan lembut Mas Tara membalikkan badan ini. Ia tautkan dua alis kala menatapku."Kamu nangis, Sayang? Kenapa?" Dia membantuku bersandar. Dengan lembut ia selipkan rambut di balik telinga. Kemudian menatapku lekat.Dadaku bergemuruh, rasa marah dan kecewa kembali hadir. Satu persatu air mata jatuh. Aku tak sanggup menyembunyikan perasaan ini. Masihkan ia bertanya jika dia sendiri yang menancapkan duri di hati?Memang benar perkataan orang jika kelembutan tak bisa menjamin ia akan tetap setia. Keharmonisan tak menjamin ia tidak bermuka dua. Kini perkataan itu terbukti, suamiku memiliki tambatan hati lain."Lho, kok nangis lagi. Kenapa Alin sayang?""Tadi kamu ke mana, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar."Ke mana? Kamu itu lucu. Aku tadi meeting di luar dengan Pak Leo. Kamu lupa?""Pak Leo dengan seragam sekolah maksudmu?" ucapku tapi hanya di dalam hati. Entah kenapa mulut ini menjadi kelu. Haruskah aku berkata melihat dia bersama gundik kecilnya?"Kamu kenapa, Lin?" tanyanya lagi karena aku terus membisu. "Aku melihat kamu bergandengan mesra dengan wanita, Mas," ucap hanya di dalam hati. Entah kenapa aku ragu mengatakannya. Mas Tara menghembuskan napas perlahan. Kemudian menghapus bekas air mata dengan kedua tangannya. "Kalau belum siap cerita gak apa-apa." Mas Tara melihat sekeliling kemudian tatapannya berhenti padaku. "Aluna belum kamu jemput, Lin?" Ya Allah, aku sampai lupa dengan putri kecil kami. Seharusnya aku menjemput dia setelah acaraku dengan Monica selesai. Gara-gara melihat Mas Tara dengan perempuan itu aku jadi tak bisa berpikir logis. Pikiranku selalu dipenuhi dengan prasangka dan prasangka. "Maaf, Mas. Aku lupa untuk menjemput Aluna."Mas Tara menghembuskan napas kasar lalu melangkah ke luar kamar. Segera aku beranjak dari ranjang, dengan cepat kusambar hijab yang ada di atas kursi. Tergesa aku berlari mengejar dia. "Aku ikut, Mas!" Kubuka pintu mobil sebelum Mas Tara menginjak pedal gas. Mobil melaju m
"Siapa wanita itu, Mas?" Seketika wajahnya menjadi tegang. "Wanita yang mana, Lin?" Mas Tara kembali melajukan kendaraan roda empatnya. Kali ini laju mobil diperlambat. "Yang tadi bersama kamu di mall."Mas Tara melirikku kemudian tertawa terbahak-bahak. Seolah apa yang kukatakan sebuah lelucon yang lucu. Dia tidak tahu betapa hancur hatiku ini. Bagaimana bisa suamiku tertawa lepas setelah aku memergokinya berjalan mesra dengan wanita lain. "Aku serius, Mas!" Aku menatapnya tajam. Mobil segera ia tepikan di pinggir jalan. Lelaki yang telah menikahiku lima tahun yang lalu itu membalikkan badan, ia tatap lekat manik bening milikku. "Kamu pasti salah lihat, Sayang. Dari tadi Mas berada di kantor kok. Kalau tidak percaya kamu bisa telepon OB, Riyan atau mungkin Pak Leo."Mas Tara berkata begitu meyakinkan. Tidak mungkin kami salah lihat. Kalau hanya aku mungkin iya, tapi aku dan Monica yang melihatnya "Model rambut dan pakaian bisa saja sama, Sayang. Kamu lihatnya dari sudut mana?"
Aku segera berlari mendekati Aluna. Putri kecilku menangis sambil memegangi lututnya. Melihatku berlari Mas Tara tersentak lalu melangkah tepat di belakangku. "Kamu tidak apa-apa, kan?" Kulihat setiap inci tubuhnya. Ada sedikit goresan di lututnya, pasti karena terjatuh lagi. "Sini sakit, Ma." Aluna menyentuh lutut kanannya. "Maaf, ya, Mbak. Saya tidak sengaja." Wanita itu menatap Aluna dengan rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Mbak. Namanya juga tidak sengaja," ucap Mas Tara sambil menatap ke arah kami. Bukan, bukan ke arahku atau Aluna. Melainkan ke arah wanita muda yang memakai pakaian renang itu. Aku kembali memperhatikan wanita dengan pakaian kurang bahan itu. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tubuh langsing khas anak muda dengan bibir ranum menjadi daya tarik di mata laki-laki. Apa termasuk di mata suamiku? Apa mungkin Mas Tara menyukai daun muda? Astaga! Segera kutepis pikiran aneh yang tiba-tiba masuk. Jangan sampai aku salah menduga lagi. "Maaf, sepertinya ak
Aku melangkah mengikuti Mas Tara yang berjalan menggendong Aluna ke kamar. Ya, setelah berenang ia tidur saat perjalanan pulang. Dia begitu kelelahan setelah puas bermain air dengan papanya. Perlahan Mas Tara membaringkan tubuh Aluna di atas ranjang. Segera kunyalakan pendingin ruangan. Putri kecilku tak bisa tidur lama jika AC dalam keadaan mati. Sebuah kecupan Mas Tara berikan di kening Aluna. Melihat itu membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Namun secepatnya hilang jika mengingat sikap suamiku dengan Imelda tadi. Suamiku terlihat mencuri pandang pada gadis muda itu. Mereka baru bertemu tapi seperti mengenal sejak lama. Berulang kali kucoba meyakinkan diri jika Mas Tara lelaki setia. Namun semakin ke sini justru kecurigaan yang selalu menghantui. Bahkan aku mulai tak percaya dengan kata-katanya. "Sayang." Sebuah sentuhan membangunkan aku dari lamunan. Mas Tara sudah berdiri di hadapanku dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Kenapa diam saja, Sayang?""Tidak apa-apa, kok, Mas
Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapan Mas Tara bagai elang yang siap menerkam mangsanya. "Kenapa kamu menyentuh ponselku, Alin?"Apa yang harus kujawab? Pasti Mas Tara sudah mendengar ucapanku tadi. Percuma juga berbohong atau menutupinya lebih baik kutanyakan sekalian. "Ini telepon dari siapa, Mas?" Kuberikan ponsel miliknya. Mas Tara menautkan dua alis mengangkat kedua bahunya siap pura-pura tak tahu. Dia pikir aku akan diam saja,tidak ... Tidak akan! "Siapa yang menghubungimu lalu memanggilmu mas bahkan berganti Om? Siapa perempuan itu,Mas? Apa jangan-jangan apa yang kulihat di mall waktu itu benar kamu, kan? kamu selingkuh dari aku" Lepas semua tanda tanya yang memenuhi pikiranku. Aku keluarkan beban yang membuat napasku terasa sesak. Entah bagaimana reaksi suamiku nanti. Mas Tara kembali menatap layar pada benda mati itu,sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa yang lucu hingga ia menertawakan aku? Mas Tara beranjak di ranjang lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. A
Anting? Kenapa ada anting di saku jas Mas Tara? Seketika pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Apa mungkin kecurigaanku benar, Mas Tara memiliki wanita lain di luar sana. Tanpa permisi rasa sesak kembali datang. Mataku memanas air bening hampir saja jatuh. "Ayo, Alin! Jangan cengeng!" Aku menatap langit-langit kamar, berharap air mata tak jadi meluncur. Ya, aku harus kuat meski kenyataan pahit di depan mata. Setelah cukup tenang kuambil jas kotor Mas Tara yang ada di keranjang baju kotor. Satu persatu saku kuraba, kucari pasangan anting berbentuk hati itu. Namun hingga aku lelah membolak-balikkan jas, pasangan anting itu tetap tak kutemukan. Satu anting meyakinkanku jika benda itu bukan untukku. Tak mungkin Mas Tara membelikan anting satu, bukan sepasang. Lagi pula model anting itu terlalu muda untukku. Apa ini milik Imelda? Atau justru perempuan lain? Lagi dan lagi kecurigaan itu muncul. Sekuat apa pun aku menolak tapi realita bertolak belakang. Mas Tara telah bermain api di bel
Sebuah pernikahan harus dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan. Namun jika keduanya sudah tak ada mampukah aku bertahan? Atau memilih mundur dan menyerah? Kuhilangkan pikiran ini untuk sesaat. Karena aku sedang berada di rumah Mama. Jangan sampai ibu Mas Tara tahu. Jika putra kesayangannya sudah melakukan perbuatan memalukan. "Mbak Alin diam saja, itu kopi diminum, Mbak! Bukan dianggurin macam aku ini." Satriya duduk di kursi tepat di sampingku. Adik kandung Mas Tara memang suka ceplas-ceplos kalau bicara. Untung aku sudah kebal dengan tingkahnya. "Baru datang, Sat?" tanyaku lalu mengambil cangkir yang berisi kopi yang sudah dingin. "Sudah dari semalam, Mbak. Memangnya Mas Tara tidak cerita?" Dia tatap wajahku dengan lekat. Membuatku sedikit risih lalu memilih mengalihkan pandangan. "Memangnya harus cerita, gitu?" "Iya, aku tahu kok, aku memang gak penting buat kalian. Apa lagi buat Mbak Alin."Aku membuang napas, anak ini lama-lama menguji kesabaranku. Dia tidak tahu apa, per
Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Ini memang bukan kali pertama Satriya mengatakan hal itu. Namun tak pernah kutanggapi dengan serius. Aku tahu sifatnya humoris dan suka bercanda. Sehingga apa yang keluar dari mulutnya tak pernah kuanggap serius."Bercanda, Mbak. Itu muka biasa aja kali," ucapnya lagi. Perkataan Satriya mampu membuatku semakin tak enak berdua dalam ruangan yang sama dengannya. Rasa canggung kian mendominasi menjadikan batasan untukku bergerak. "Mas Tara gak ke sini, Mbak?" tanyanya memecah keheningan yang sempat melanda. Aku mengangkat bahu tanda tak mengetahui jawaban. Beberapa kali kukirim pesan tapi tak satu pun yang dibaca. Entah di mana Mas Tara berada. "Coba telepon temen kantornya, Mbak."Ah, kenapa aku tak pernah kepikiran untuk menanyakan pada rekan kerja Mas Tara. Namun untuk apa kutanyakan jika aku sendiri yakin Mas Tara sedang berada dalam pelukan wanita lain. "Buruan telepon, Mbak."Dengan terpaksa kucari kontak Adnan, teman sekantor Mas Ta