"Kamu kenapa, Lin?" tanyanya lagi karena aku terus membisu.
"Aku melihat kamu bergandengan mesra dengan wanita, Mas," ucap hanya di dalam hati. Entah kenapa aku ragu mengatakannya.Mas Tara menghembuskan napas perlahan. Kemudian menghapus bekas air mata dengan kedua tangannya."Kalau belum siap cerita gak apa-apa." Mas Tara melihat sekeliling kemudian tatapannya berhenti padaku."Aluna belum kamu jemput, Lin?"Ya Allah, aku sampai lupa dengan putri kecil kami. Seharusnya aku menjemput dia setelah acaraku dengan Monica selesai. Gara-gara melihat Mas Tara dengan perempuan itu aku jadi tak bisa berpikir logis. Pikiranku selalu dipenuhi dengan prasangka dan prasangka."Maaf, Mas. Aku lupa untuk menjemput Aluna."Mas Tara menghembuskan napas kasar lalu melangkah ke luar kamar. Segera aku beranjak dari ranjang, dengan cepat kusambar hijab yang ada di atas kursi. Tergesa aku berlari mengejar dia."Aku ikut, Mas!" Kubuka pintu mobil sebelum Mas Tara menginjak pedal gas.Mobil melaju meninggalkan rumah. Kecepatan kendaraan roda empat ini masih lambat di area perumahan, kemudian semakin cepat saat berada di jalan raya."Kenapa bisa lupa menjemput Aluna, Lin?" tanyanya memecah keheningan yang sempat tercipta."Em, itu...."Aku sedikit ragu, haruskah kukatakan sekarang."Aku tadi me...."CIIITMas Tara menginjak pedal rem tiba-tiba saat sebuah motor memotong jalan tanpa melihat ke belakang."Hati-hati, woy!" teriak Mas Tara tapi pengendara sepeda motor itu terus melaju tanpa sekali pun menoleh ke belakang."Kamu tidak apa-apa, Lin?" tanyanya saat melihatku memegangi dada karena terkejut."Tidak apa-apa, Mas.""Kita lanjut lagi." Mas Tara kembali melajukan kendaraannya. Namun kali ini lebih hati-hati lagi.Aku mengatur napas, menetralisir detak jantung yang sudah seperti genderang. Kata-kata yang akan ku ucapkan hilang karena insiden barusan. Ingin kusampaikan ulang tapi keadaan tidak memungkinkan. Aku takut terjadi kecelakaan karena pertengkaran kami.Jarak antara rumah Bunda dan rumah kami hanya sekitar 25 menit. Itu jika keadaan jalan lancar. Kami memang tinggal di kota yang sama. Namun berbeda lokasi, meski sama-sama tinggal di perumahan.Lalu lalang kota Solo begitu ramai. Banyak kendaraan roda dua yang berlomba-lomba melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Seolah ingin segera sampai di tempat tujuan. Mau tak mau mobillah yang mengalah.Azan magrib berkumandang tepat saat kami sampai di depan rumah Bunda. Setelah mengucapkan salam kami segera masuk tanpa menunggu Mama membukakan pintu."Papa... Mama...!" Aluna berlari menuju ke arah kami.Mas Tara segera menggendong putri kecil kami yang baru berusia empat tahun. Kemudian menghujaninya dengan ciuman."Papa geli," ucap Aluna seraya mendorong wajah suamiku.Akankah momen seperti ini akan hilang setelah kuketahui kenyataan pahit yang ia sembunyikan?"Kenapa lama, Lin?" tanya Bunda yang baru saja muncul dari balik pintu kamar."Maaf, Bun. Alin lupa," ucapku sambil menundukkan kepala."Yasudah, ndak apa-apa. Aluna juga tidak rewel."Aku bernapas lega karena Bunda tak marah padaku. Beliau memang mertua yang baik, bukan seperti mertua dalam serial drama."Ayo shalat bareng,kalian belum magrib, kan?" Bunda melirik kami secara bergantian."Kalian shalat dulu saja, aku mau buang air besar." Mas Tara berjalan cepat menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur.Aku menghela napas mendengar jawaban suamiku. Akhir-akhir ini dia jarang melaksanakan kewajiban kepada Illahi Robbi. Aku sendiri tak tahu kenapa? Sering aku mengingatkan tapi selalu berujung dengan pertengkaran. Akhirnya aku memilih diam."Kamu dulu saja, Lin. Bunda mau buatkan minum."Aku mengangguk lalu segera mengambil wudhu ke belakang."Iya, Sayang."Langkahku terhenti kala mendengar Mas Tara menyebut kata Sayang. Dadaku kembali bergemuruh. Apa dia sedang menghubungi anak sekolah yang tadi bersamanya? Apa benar Mas Tama berselingkuh seperti dugaanku? Ya Allah....Beberapa saat aku menunggu Mas Tara berbicara dengan seseorang. Namun suara suamiku tak lagi terdengar, hanya suara gemercik air yang masuk ke dalam indra pendengaran.Gegas aku melangkah ke belakang untuk berwudhu.Aku menengadahkan tangan ke atas. Dalam hati aku berdoa, meminta Allah menguatkan pondasi pernikahan kami. Namun di tengah doa bayangan Mas Tara menggandeng mesra seorang anak sekolah tiba-tiba hadir lalu kembali menyesakkan dada. Lagi air bening jatuh lalu membasahi pipi.Aku sempat menepis kecurigaan ini. Namun panggilan sayang yang sempat kudengar kembali membuatku ragu. Akankah Mas Tara mengkhianati ikatan suci ini?"Sudah belum, Lin?" Aku tersentak, buru-buru kuhapus jejak air mata yang sempat menempel di pipi. Aku tidak ingin Bunda mengkhawatirkanku."Sudah, Bunda." Aku membalikkan badan laku melepas mukena yang kukenakan."Kamu nangis, Lin? Kenapa?" tanya Bunda kala mata kami tak sengaja bertemu."Kelilipan, Bun." Aku melangkah keluar, menghindari pertanyaan yang sebentar lagi Bunda lontarkan.Pukul delapan malam kami pulang dari rumah Bunda. Aluna sudah terlelap di kursi belakang. Dengkuran halus terdengar hingga di kursi depan. Putri kecilku pasti kelelahan bermain bersama neneknya."Dari tadi kamu hanya diam, Lin. Kamu kenapa? Bukankah tadi habis reuni dengan teman-teman kamu?" tanya Mas Tara sambil fokus menyetir.Apa ini saat yang tepat untuk menanyakan hal itu? Bagaimana jika Mas Tara mengakuinya? Apa aku sanggup menerima kenyataan ini?"Alin," panggilnya lagi karena aku masih menutup mulut rapat-rapat."Kamu tadi dari mana, Mas?""Dari meeting, Al. Kenapa tanya terus.""Meeting dengan seorang anak sekolah maksud kamu?"CIITMas Tara menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Beruntung tak ada kendaraan lain yang ada di depan kami."Siapa wanita itu, Mas?" Seketika wajahnya menjadi tegang."Siapa wanita itu, Mas?" Seketika wajahnya menjadi tegang. "Wanita yang mana, Lin?" Mas Tara kembali melajukan kendaraan roda empatnya. Kali ini laju mobil diperlambat. "Yang tadi bersama kamu di mall."Mas Tara melirikku kemudian tertawa terbahak-bahak. Seolah apa yang kukatakan sebuah lelucon yang lucu. Dia tidak tahu betapa hancur hatiku ini. Bagaimana bisa suamiku tertawa lepas setelah aku memergokinya berjalan mesra dengan wanita lain. "Aku serius, Mas!" Aku menatapnya tajam. Mobil segera ia tepikan di pinggir jalan. Lelaki yang telah menikahiku lima tahun yang lalu itu membalikkan badan, ia tatap lekat manik bening milikku. "Kamu pasti salah lihat, Sayang. Dari tadi Mas berada di kantor kok. Kalau tidak percaya kamu bisa telepon OB, Riyan atau mungkin Pak Leo."Mas Tara berkata begitu meyakinkan. Tidak mungkin kami salah lihat. Kalau hanya aku mungkin iya, tapi aku dan Monica yang melihatnya "Model rambut dan pakaian bisa saja sama, Sayang. Kamu lihatnya dari sudut mana?"
Aku segera berlari mendekati Aluna. Putri kecilku menangis sambil memegangi lututnya. Melihatku berlari Mas Tara tersentak lalu melangkah tepat di belakangku. "Kamu tidak apa-apa, kan?" Kulihat setiap inci tubuhnya. Ada sedikit goresan di lututnya, pasti karena terjatuh lagi. "Sini sakit, Ma." Aluna menyentuh lutut kanannya. "Maaf, ya, Mbak. Saya tidak sengaja." Wanita itu menatap Aluna dengan rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Mbak. Namanya juga tidak sengaja," ucap Mas Tara sambil menatap ke arah kami. Bukan, bukan ke arahku atau Aluna. Melainkan ke arah wanita muda yang memakai pakaian renang itu. Aku kembali memperhatikan wanita dengan pakaian kurang bahan itu. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tubuh langsing khas anak muda dengan bibir ranum menjadi daya tarik di mata laki-laki. Apa termasuk di mata suamiku? Apa mungkin Mas Tara menyukai daun muda? Astaga! Segera kutepis pikiran aneh yang tiba-tiba masuk. Jangan sampai aku salah menduga lagi. "Maaf, sepertinya ak
Aku melangkah mengikuti Mas Tara yang berjalan menggendong Aluna ke kamar. Ya, setelah berenang ia tidur saat perjalanan pulang. Dia begitu kelelahan setelah puas bermain air dengan papanya. Perlahan Mas Tara membaringkan tubuh Aluna di atas ranjang. Segera kunyalakan pendingin ruangan. Putri kecilku tak bisa tidur lama jika AC dalam keadaan mati. Sebuah kecupan Mas Tara berikan di kening Aluna. Melihat itu membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Namun secepatnya hilang jika mengingat sikap suamiku dengan Imelda tadi. Suamiku terlihat mencuri pandang pada gadis muda itu. Mereka baru bertemu tapi seperti mengenal sejak lama. Berulang kali kucoba meyakinkan diri jika Mas Tara lelaki setia. Namun semakin ke sini justru kecurigaan yang selalu menghantui. Bahkan aku mulai tak percaya dengan kata-katanya. "Sayang." Sebuah sentuhan membangunkan aku dari lamunan. Mas Tara sudah berdiri di hadapanku dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Kenapa diam saja, Sayang?""Tidak apa-apa, kok, Mas
Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapan Mas Tara bagai elang yang siap menerkam mangsanya. "Kenapa kamu menyentuh ponselku, Alin?"Apa yang harus kujawab? Pasti Mas Tara sudah mendengar ucapanku tadi. Percuma juga berbohong atau menutupinya lebih baik kutanyakan sekalian. "Ini telepon dari siapa, Mas?" Kuberikan ponsel miliknya. Mas Tara menautkan dua alis mengangkat kedua bahunya siap pura-pura tak tahu. Dia pikir aku akan diam saja,tidak ... Tidak akan! "Siapa yang menghubungimu lalu memanggilmu mas bahkan berganti Om? Siapa perempuan itu,Mas? Apa jangan-jangan apa yang kulihat di mall waktu itu benar kamu, kan? kamu selingkuh dari aku" Lepas semua tanda tanya yang memenuhi pikiranku. Aku keluarkan beban yang membuat napasku terasa sesak. Entah bagaimana reaksi suamiku nanti. Mas Tara kembali menatap layar pada benda mati itu,sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa yang lucu hingga ia menertawakan aku? Mas Tara beranjak di ranjang lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. A
Anting? Kenapa ada anting di saku jas Mas Tara? Seketika pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Apa mungkin kecurigaanku benar, Mas Tara memiliki wanita lain di luar sana. Tanpa permisi rasa sesak kembali datang. Mataku memanas air bening hampir saja jatuh. "Ayo, Alin! Jangan cengeng!" Aku menatap langit-langit kamar, berharap air mata tak jadi meluncur. Ya, aku harus kuat meski kenyataan pahit di depan mata. Setelah cukup tenang kuambil jas kotor Mas Tara yang ada di keranjang baju kotor. Satu persatu saku kuraba, kucari pasangan anting berbentuk hati itu. Namun hingga aku lelah membolak-balikkan jas, pasangan anting itu tetap tak kutemukan. Satu anting meyakinkanku jika benda itu bukan untukku. Tak mungkin Mas Tara membelikan anting satu, bukan sepasang. Lagi pula model anting itu terlalu muda untukku. Apa ini milik Imelda? Atau justru perempuan lain? Lagi dan lagi kecurigaan itu muncul. Sekuat apa pun aku menolak tapi realita bertolak belakang. Mas Tara telah bermain api di bel
Sebuah pernikahan harus dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan. Namun jika keduanya sudah tak ada mampukah aku bertahan? Atau memilih mundur dan menyerah? Kuhilangkan pikiran ini untuk sesaat. Karena aku sedang berada di rumah Mama. Jangan sampai ibu Mas Tara tahu. Jika putra kesayangannya sudah melakukan perbuatan memalukan. "Mbak Alin diam saja, itu kopi diminum, Mbak! Bukan dianggurin macam aku ini." Satriya duduk di kursi tepat di sampingku. Adik kandung Mas Tara memang suka ceplas-ceplos kalau bicara. Untung aku sudah kebal dengan tingkahnya. "Baru datang, Sat?" tanyaku lalu mengambil cangkir yang berisi kopi yang sudah dingin. "Sudah dari semalam, Mbak. Memangnya Mas Tara tidak cerita?" Dia tatap wajahku dengan lekat. Membuatku sedikit risih lalu memilih mengalihkan pandangan. "Memangnya harus cerita, gitu?" "Iya, aku tahu kok, aku memang gak penting buat kalian. Apa lagi buat Mbak Alin."Aku membuang napas, anak ini lama-lama menguji kesabaranku. Dia tidak tahu apa, per
Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Ini memang bukan kali pertama Satriya mengatakan hal itu. Namun tak pernah kutanggapi dengan serius. Aku tahu sifatnya humoris dan suka bercanda. Sehingga apa yang keluar dari mulutnya tak pernah kuanggap serius."Bercanda, Mbak. Itu muka biasa aja kali," ucapnya lagi. Perkataan Satriya mampu membuatku semakin tak enak berdua dalam ruangan yang sama dengannya. Rasa canggung kian mendominasi menjadikan batasan untukku bergerak. "Mas Tara gak ke sini, Mbak?" tanyanya memecah keheningan yang sempat melanda. Aku mengangkat bahu tanda tak mengetahui jawaban. Beberapa kali kukirim pesan tapi tak satu pun yang dibaca. Entah di mana Mas Tara berada. "Coba telepon temen kantornya, Mbak."Ah, kenapa aku tak pernah kepikiran untuk menanyakan pada rekan kerja Mas Tara. Namun untuk apa kutanyakan jika aku sendiri yakin Mas Tara sedang berada dalam pelukan wanita lain. "Buruan telepon, Mbak."Dengan terpaksa kucari kontak Adnan, teman sekantor Mas Ta
"Mbak Alin percaya?" tanya Satriya lagi karena aku diam membisu. "Mungkin Mas Tara pulang mendadak karena ingin mempersiapkan keberangkatan ke luar kota," jawabku sekenanya. Perkataan ini memang tidak masuk akal, aku yakin Satriya tak akan percaya. Apa yang harus kujelaskan jika ia kembali bertanya?"Alasan klise, Mbak. Anak TK saja tak percaya." Satriya mencebikkan bibir. Dengan kasar ia menjatuhkan tubuhnya di kursi. Dia tatap lurus ke depan. Tampak kekecewaan di sorot mata itu. Haruskah aku berkata jujur pada Satriya? Perlahan kujatuhkan bobot di kursi tepat di sebelahnya. Kuatur napas, tapi rasa sesak masih saja mendera. Sekuat apa pun aku pura-pura bahagia tapi nyatanya luka itu kian menggores hati, menyisakan perih tak bertepi. "Mas Tara memiliki perempuan lain.""APA!"Satriya saja terkejut, bagaimana dengan Mama? Bisa-bisa penyakit Mama kambuh, dan aku tak sanggup melihat itu. Mama memang bukan ibu kandungku, tapi kasih sayangnya sama seperti ibu kandungku sendiri. Belia