"Siapa wanita itu, Mas?" Seketika wajahnya menjadi tegang.
"Wanita yang mana, Lin?" Mas Tara kembali melajukan kendaraan roda empatnya. Kali ini laju mobil diperlambat."Yang tadi bersama kamu di mall."Mas Tara melirikku kemudian tertawa terbahak-bahak. Seolah apa yang kukatakan sebuah lelucon yang lucu. Dia tidak tahu betapa hancur hatiku ini. Bagaimana bisa suamiku tertawa lepas setelah aku memergokinya berjalan mesra dengan wanita lain."Aku serius, Mas!" Aku menatapnya tajam.Mobil segera ia tepikan di pinggir jalan. Lelaki yang telah menikahiku lima tahun yang lalu itu membalikkan badan, ia tatap lekat manik bening milikku."Kamu pasti salah lihat, Sayang. Dari tadi Mas berada di kantor kok. Kalau tidak percaya kamu bisa telepon OB, Riyan atau mungkin Pak Leo."Mas Tara berkata begitu meyakinkan. Tidak mungkin kami salah lihat. Kalau hanya aku mungkin iya, tapi aku dan Monica yang melihatnya"Model rambut dan pakaian bisa saja sama, Sayang. Kamu lihatnya dari sudut mana?""Dari belakang, Mas. Kamu ada di mall bergandengan mesra bersama seorang anak sekolah," ucapku tanpa ada yang kututup-tutupi.Aku tidak tahu kejujuranku benar atau salah. Namun aku tak kuasa memendam rasa curiga yang meronta meminta sebuah penjelasan. Lugu atau naif, entahlah. Aku sendiri tipe wanita yang sulit memendam rasa marah apa lagi kecewa. Semua akan tampak jelas di ekspresi wajah."Ha ha ha... Kamu itu terlalu cemburu, Alin. Bisa-bisanya menuduh Mas menjalin hubungan dengan anak bau kencur. Mas bukan pedofilia." Mas Tara mengusap pucuk kepalaku mesra.Aku gamam, tidak tahu harus menjawab apa? Semua yang dikatakan suamiku begitu meyakinkan. Bahkan tak ada keraguan dalam setiap ucapannya. Apa benar yang ia katakan, aku salah orang? Ah, tapi rasanya tak mungkin."Kamu masih tidak percaya, Lin?" Mas Tara mengunci netraku. "Kamu hubungi saja Pak Leo." Mas Tara memberikan ponselnya kepadaku.Apa masih tak percaya jika ia berani menghubungi atasannya hanya untuk menjelaskan kesalahpahaman ini?"Tidak, Mas. Aku percaya. Aku hanya terlalu takut kamu memiliki wanita lain di luar sana." Bulir demi bulir jatuh dengan sendirinya."Mas tidak mungkin mengkhianati janji suci yang sudah Mas ucapkan. Di hatiku hanya ada nama kamu." Aku mengangguk meski hati masih dilanda keraguan."Bagaimana kalau besok kita liburan, ke mall atau ke kebun binatang mungkin.""Terserah kamu saja, Mas.""Asyik ke kebun bintang. Kita ke Jurug, ya, Pa." teriak Aluna sambil melonjak kegirangan. Sejak kapan anak itu bangun?"Siap, Tuan Putri," jawab Mas Tara.Aluna berpindah ke kursi depan, putri kecilku menanyakan ini dan itu. Dia begitu antusias karena besok pergi ke kebun binatang.***Sesuai yang direncanakan semalam,hari ini kami akan piknik ke kebun binatang. Sengaja kami memilih yang dekat agar tidak kelelahan karena perjalanan jauh karena besok Mas Tara ada meeting pagi.Barang-barang sudah kumasukkan ke dalam mobil. Semua adalah barang bawaan Aluna, dari pakaian ganti, makanan ringan hingga keperluan lainnya."Sudah siap, Sayang?" tanya Mas Tara seraya mengecup keningku.Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kejadian kemarin masih terus membayangi. Membuat rasa percaya terhadap suamiku sedikit berkurang. Meski aku berusaha melupakan itu. Namun ternyata tak semudah mengucapkan kata maaf."Aluna, ayo masuk!"Putri kecilku berlari menuju mobil. Dengan cepat ia duduk di kursi depan, tepat di samping kursi kemudi."Aluna tidak di belakang saja? Luas,lho, Aluna bisa tiduran." Aluna menggeleng sambil menyilangkan kedua tangan di dada."Biar Aluna duduk di depan, Mama di belakang, ya, Sayang." Dia mengangguk, seketika matanya berbinar."Ayo kita berangkat!"Mas Tara segera menyalakan mobil.Kriing ... Kriing ....Belum sempat mobil berjalan sebuah panggilan telepon masuk di nomor suamiku. Benda pipih itu terus saja bergetar hingga membuatku sedikit terganggu."Diangkat dulu, Mas. Siapa tahu telepon penting."Mas Tara hanya melirik tanpa sedikit pun menyentuh benda pipih yang ada di samping jok mobil."Bukan siapa-siapa kok," jawabnya dengan wajah sedikit tegang.Ponsel yang terus bernyanyi menyita perhatian putriku. Tangan kecilnya segera meraih benda pipih milik suamiku."Ada foto cewek cantik, Ma," ucapnya polos."Aduh Aluna, kemarikan hp Papa!" Mas Tara merebut paksa ponsel itu. Wajahnya juga terlihat ketakutan.Hanya karena ponsel Mas Tara sampai menaikkan nada suaranya. Dia juga tega merebut ponsel dari tangan anakku. Jangan-jangan ada yang ia sembunyikan dariku."Telepon dari siapa, Mas?" Kutatap tajam lelaki yang duduk di kursi depan."Dari Indra, kamu tidak percaya?" Mas Tara membalikkan badan, "ini lihat saja," ucapnya sambil memberikan ponsel itu.Tanpa menunggu segera kubuka ponsel. Kucari kontak panggilan tak terjawab. Benar saja ada foto wanita di profil itu. Namun kenapa namanya Indra?"Itu pacarnya, masih tidak percaya?" Mas Tara segera menginjak pedal gas."Percaya, Mas." Kukembalikan ponsel itu.Ya Allah, apa aku terlalu kepikiran hingga menuduh Mas Tara yang bukan-bukan.Sepanjang jalan kami diam, hanya tawa dan nyanyian Aluna yang memenuhi mobil. Jarak antara rumah dan kebun binatang hanya setengah jam. Sebentar lagi kami akan segera sampai.Senyum dan tawa Aluna seketika hilang. Kini raut kekecewaan tergambar jelas kala melihat tulisan TUTUP di depan kebun binatang. Terlalu fokus pada Mas Tara membuatku lupa jika kebun binatang sedang dalam renovasi."Tutup, Sayang. Kita pulang saja, ya," bujukku.Aluna tidak menjawab hanya tangisan yang keluar dari mulutnya. Sungguh membuatku tidak tega."Bagaimana kalau kita ke mall?" usul Mas Tara."Gak mau!" Aluna kembali menangis."Bagaimana kalau kita berenang.""Benar, Pa? Aluna mau."Seketika tangis itu hilang berganti senyum dan tawa bahagia."Papa tidak bawa baju ganti, lho.""Nanti beli di toko, Ma, yang penting Aluna tidak menangis lagi." Aku hanya mengangguk pasrah.Mas Tara memang menyayangi putrinya. Apa pun dia lakukan untuk membuatnya tertawa. Apa mungkin lelaki seperti itu memiliki wanita idaman lain?"Ayo, turun."Aluna berlari ke sana ke mari. Dia begitu bahagia bisa berenang bersama papanya."Hati-hati, Nak. Jangan lari-lari nan...."BRUGBelum sempat aku melanjutkan kalimat Aluna sudah jatuh karena bertabrakan dengan seorang perempuan."Maafkan kakak, ya, Dek." Perempuan itu membantu Aluna berdiri.Mas Tara justru diam terpaku sambil menatap perempuan muda itu. Tunggu, kenapa wajah itu seperti pernah kulihat?Aku segera berlari mendekati Aluna. Putri kecilku menangis sambil memegangi lututnya. Melihatku berlari Mas Tara tersentak lalu melangkah tepat di belakangku. "Kamu tidak apa-apa, kan?" Kulihat setiap inci tubuhnya. Ada sedikit goresan di lututnya, pasti karena terjatuh lagi. "Sini sakit, Ma." Aluna menyentuh lutut kanannya. "Maaf, ya, Mbak. Saya tidak sengaja." Wanita itu menatap Aluna dengan rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Mbak. Namanya juga tidak sengaja," ucap Mas Tara sambil menatap ke arah kami. Bukan, bukan ke arahku atau Aluna. Melainkan ke arah wanita muda yang memakai pakaian renang itu. Aku kembali memperhatikan wanita dengan pakaian kurang bahan itu. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tubuh langsing khas anak muda dengan bibir ranum menjadi daya tarik di mata laki-laki. Apa termasuk di mata suamiku? Apa mungkin Mas Tara menyukai daun muda? Astaga! Segera kutepis pikiran aneh yang tiba-tiba masuk. Jangan sampai aku salah menduga lagi. "Maaf, sepertinya ak
Aku melangkah mengikuti Mas Tara yang berjalan menggendong Aluna ke kamar. Ya, setelah berenang ia tidur saat perjalanan pulang. Dia begitu kelelahan setelah puas bermain air dengan papanya. Perlahan Mas Tara membaringkan tubuh Aluna di atas ranjang. Segera kunyalakan pendingin ruangan. Putri kecilku tak bisa tidur lama jika AC dalam keadaan mati. Sebuah kecupan Mas Tara berikan di kening Aluna. Melihat itu membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Namun secepatnya hilang jika mengingat sikap suamiku dengan Imelda tadi. Suamiku terlihat mencuri pandang pada gadis muda itu. Mereka baru bertemu tapi seperti mengenal sejak lama. Berulang kali kucoba meyakinkan diri jika Mas Tara lelaki setia. Namun semakin ke sini justru kecurigaan yang selalu menghantui. Bahkan aku mulai tak percaya dengan kata-katanya. "Sayang." Sebuah sentuhan membangunkan aku dari lamunan. Mas Tara sudah berdiri di hadapanku dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Kenapa diam saja, Sayang?""Tidak apa-apa, kok, Mas
Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapan Mas Tara bagai elang yang siap menerkam mangsanya. "Kenapa kamu menyentuh ponselku, Alin?"Apa yang harus kujawab? Pasti Mas Tara sudah mendengar ucapanku tadi. Percuma juga berbohong atau menutupinya lebih baik kutanyakan sekalian. "Ini telepon dari siapa, Mas?" Kuberikan ponsel miliknya. Mas Tara menautkan dua alis mengangkat kedua bahunya siap pura-pura tak tahu. Dia pikir aku akan diam saja,tidak ... Tidak akan! "Siapa yang menghubungimu lalu memanggilmu mas bahkan berganti Om? Siapa perempuan itu,Mas? Apa jangan-jangan apa yang kulihat di mall waktu itu benar kamu, kan? kamu selingkuh dari aku" Lepas semua tanda tanya yang memenuhi pikiranku. Aku keluarkan beban yang membuat napasku terasa sesak. Entah bagaimana reaksi suamiku nanti. Mas Tara kembali menatap layar pada benda mati itu,sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa yang lucu hingga ia menertawakan aku? Mas Tara beranjak di ranjang lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. A
Anting? Kenapa ada anting di saku jas Mas Tara? Seketika pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Apa mungkin kecurigaanku benar, Mas Tara memiliki wanita lain di luar sana. Tanpa permisi rasa sesak kembali datang. Mataku memanas air bening hampir saja jatuh. "Ayo, Alin! Jangan cengeng!" Aku menatap langit-langit kamar, berharap air mata tak jadi meluncur. Ya, aku harus kuat meski kenyataan pahit di depan mata. Setelah cukup tenang kuambil jas kotor Mas Tara yang ada di keranjang baju kotor. Satu persatu saku kuraba, kucari pasangan anting berbentuk hati itu. Namun hingga aku lelah membolak-balikkan jas, pasangan anting itu tetap tak kutemukan. Satu anting meyakinkanku jika benda itu bukan untukku. Tak mungkin Mas Tara membelikan anting satu, bukan sepasang. Lagi pula model anting itu terlalu muda untukku. Apa ini milik Imelda? Atau justru perempuan lain? Lagi dan lagi kecurigaan itu muncul. Sekuat apa pun aku menolak tapi realita bertolak belakang. Mas Tara telah bermain api di bel
Sebuah pernikahan harus dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan. Namun jika keduanya sudah tak ada mampukah aku bertahan? Atau memilih mundur dan menyerah? Kuhilangkan pikiran ini untuk sesaat. Karena aku sedang berada di rumah Mama. Jangan sampai ibu Mas Tara tahu. Jika putra kesayangannya sudah melakukan perbuatan memalukan. "Mbak Alin diam saja, itu kopi diminum, Mbak! Bukan dianggurin macam aku ini." Satriya duduk di kursi tepat di sampingku. Adik kandung Mas Tara memang suka ceplas-ceplos kalau bicara. Untung aku sudah kebal dengan tingkahnya. "Baru datang, Sat?" tanyaku lalu mengambil cangkir yang berisi kopi yang sudah dingin. "Sudah dari semalam, Mbak. Memangnya Mas Tara tidak cerita?" Dia tatap wajahku dengan lekat. Membuatku sedikit risih lalu memilih mengalihkan pandangan. "Memangnya harus cerita, gitu?" "Iya, aku tahu kok, aku memang gak penting buat kalian. Apa lagi buat Mbak Alin."Aku membuang napas, anak ini lama-lama menguji kesabaranku. Dia tidak tahu apa, per
Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Ini memang bukan kali pertama Satriya mengatakan hal itu. Namun tak pernah kutanggapi dengan serius. Aku tahu sifatnya humoris dan suka bercanda. Sehingga apa yang keluar dari mulutnya tak pernah kuanggap serius."Bercanda, Mbak. Itu muka biasa aja kali," ucapnya lagi. Perkataan Satriya mampu membuatku semakin tak enak berdua dalam ruangan yang sama dengannya. Rasa canggung kian mendominasi menjadikan batasan untukku bergerak. "Mas Tara gak ke sini, Mbak?" tanyanya memecah keheningan yang sempat melanda. Aku mengangkat bahu tanda tak mengetahui jawaban. Beberapa kali kukirim pesan tapi tak satu pun yang dibaca. Entah di mana Mas Tara berada. "Coba telepon temen kantornya, Mbak."Ah, kenapa aku tak pernah kepikiran untuk menanyakan pada rekan kerja Mas Tara. Namun untuk apa kutanyakan jika aku sendiri yakin Mas Tara sedang berada dalam pelukan wanita lain. "Buruan telepon, Mbak."Dengan terpaksa kucari kontak Adnan, teman sekantor Mas Ta
"Mbak Alin percaya?" tanya Satriya lagi karena aku diam membisu. "Mungkin Mas Tara pulang mendadak karena ingin mempersiapkan keberangkatan ke luar kota," jawabku sekenanya. Perkataan ini memang tidak masuk akal, aku yakin Satriya tak akan percaya. Apa yang harus kujelaskan jika ia kembali bertanya?"Alasan klise, Mbak. Anak TK saja tak percaya." Satriya mencebikkan bibir. Dengan kasar ia menjatuhkan tubuhnya di kursi. Dia tatap lurus ke depan. Tampak kekecewaan di sorot mata itu. Haruskah aku berkata jujur pada Satriya? Perlahan kujatuhkan bobot di kursi tepat di sebelahnya. Kuatur napas, tapi rasa sesak masih saja mendera. Sekuat apa pun aku pura-pura bahagia tapi nyatanya luka itu kian menggores hati, menyisakan perih tak bertepi. "Mas Tara memiliki perempuan lain.""APA!"Satriya saja terkejut, bagaimana dengan Mama? Bisa-bisa penyakit Mama kambuh, dan aku tak sanggup melihat itu. Mama memang bukan ibu kandungku, tapi kasih sayangnya sama seperti ibu kandungku sendiri. Belia
"Kita pulang,Mbak?" tanya Satriya ketika kami gagal membuntuti Mas Tara. Aku menghela napas, mengatur hati yang terlanjur kecewa. "Mbak!" Sentuhan di pundak menyentakku. Kutoleh ke kanan, tepat di mana Satriya menatapku penuh iba. "Kita pulang, kan?" tanyanya lagi. "Ke pasar dulu.""Mau ngapain? Belanja sayur? Mas Tara, kan gak ada di rumah.".Memijit kepala yang terasa berdenyut, begini kalau rekan kerjanya masih anak labil. "Alasan pada Mama tadi ke pasar, Sat. Tidak lucu kalau kita pulang tanpa membawa apa pun.""O, iya, Mbak. Lupa." Satriya menggaruk kepala yang tak gatal. Satriya kembali melajukan kendaraan roda empat ini menuju Pasar Legi. Jarak antara pasar dan tempat kami berhenti sekitar sepuluh menit. Kali ini Satriya mengemudikan mobil dengan hati-hati. "Mau beli apa, Mbak?" tanyanya setelah kami sampai di parkiran pasar. "Gak tahh juga, Sat. Kepala Mbak pusing."Aku tak bisa berpikir jernih. Hati dan pikiran terpaut pada Mas Tara. Aku dan Satriya berjalan sejajar
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki