Share

Kecurigaan

Aku segera berlari mendekati Aluna. Putri kecilku menangis sambil memegangi lututnya. Melihatku berlari Mas Tara tersentak lalu melangkah tepat di belakangku.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" Kulihat setiap inci tubuhnya. Ada sedikit goresan di lututnya, pasti karena terjatuh lagi.

"Sini sakit, Ma." Aluna menyentuh lutut kanannya.

"Maaf, ya, Mbak. Saya tidak sengaja." Wanita itu menatap Aluna dengan rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Mbak. Namanya juga tidak sengaja," ucap Mas Tara sambil menatap ke arah kami. Bukan, bukan ke arahku atau Aluna. Melainkan ke arah wanita muda yang memakai pakaian renang itu.

Aku kembali memperhatikan wanita dengan pakaian kurang bahan itu. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana?

Tubuh langsing khas anak muda dengan bibir ranum menjadi daya tarik di mata laki-laki. Apa termasuk di mata suamiku? Apa mungkin Mas Tara menyukai daun muda?

Astaga! Segera kutepis pikiran aneh yang tiba-tiba masuk. Jangan sampai aku salah menduga lagi.

"Maaf, sepertinya aku pernah melihat kamu. Tapi di mana, ya?" Kalimat itu akhirnya keluar.

"Mbak mungkin salah lihat, saya orang baru di sini," jawabnya begitu meyakinkan.

Ah, sudahlah aku mungkin salah lihat. Bukankah di dunia ini banyak orang mirip? Mungkin dia salah satunya.

"Berarti aku salah lihat. Kalau begitu aku permisi." Aku gendong Aluna menuju kolam renang khas anak-anak.

Mas Tara sudah berganti pakaian, ia mengajak Aluna masuk ke kolam renang. Tawa bahagia keluar dari mulut mungil putriku begitu pula Mas Tara, mereka asyik bermain air.

Aluna memang baru berusia empat tahun tapi ia sudah mulai bisa berenang. Berbeda denganku yang hanya bisa renang gaya batu. Alias tenggelam.

Dari kecil aku tak menyukai olahraga renang. Jika pergi ke tempat wisata yang ada kolam renang aku hanya diam. Tak jarang aku menjadi tempat penitipan barang.

Berulang kali Mas Tara membujukku untuk ikut masuk ke dalam kolam. Namun aku tetap tak mau. Di saat semua orang tertawa bahagia bermain air. Aku justru duduk diam sambil memainkan ponsel. Lucu, tapi itu kenyataannya.

Alunan lagu pop terdengar, sesekali aku ikut bernyanyi untuk menghilangkan sedikit penat yang ada. Menunggu adalah hal yang membosankan meski sudah ditemani ponsel. Namun tetap saja rasa jenuh singgah dan menyapa.

"Mama, mau mie." Aluna sudah berdiri di hadapanku dengan tubuh basah kuyup dengan air.

Tidak berapa lama Mas Tara berdiri di belakangnya. Dia usap wajah yang masih basah. Sorot mentari membuatnya terlihat semakin menawan. Andai kaos itu dilepas semua mata pasti tertuju ke arahnya. Ah, pikiran kenapa berkelana ke mana-mana.

"Ma...."

"Eh, iya, Sayang."

Aku terkesiap, segera kualihkan mata ini dari Mas Tara.

"Aluna mau mie goreng," pintanya.

"Papa mau apa?" Kulirik Mas Tara yang sudah menjatuhkan bobot di kursi yang terbuat dari besi itu.

"Kopi panas saja, Ma," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Ekor matanya tengah mencari sesuatu. Entah apa, aku pun tidak ingin tahu.

"Gak mau makan, Pa?"

"Gorengan juga boleh." Lagi ia sibuk menatap ke sana kemari. Seolah tengah mencari seseorang.

Astagfirullah....

Gara-gara kejadian kemarin membuat pikiran ini selalu dilanda rasa curiga. Namun jika kecurigaanku menjadi kenyataan bagaimana?

"Oke, Mama belikan dulu."

"Ayo, Pa, kita berenang lagi." Aluna menarik tangan Mas Tara hingga berada di tepi kolam. Kemudian mereka kembali berenang.

Aku melangkah melewati beberapa orang yang tengah duduk tak jauh dari tempat penjual mie instan dan aneka jajanan. Aku masih berdiri tak jauh dari penjual. Banyaknya pembeli membuatku harus ekstra sabar. Untung saja Mas Tara dan Aluna masih asyik bermain di dalam air.

"Mie goreng satu, gorengan satu porsi, kopi satu dan es teh manis dua," pintaku pada penjual.

"Duduk dulu, Mbak. Masih antri." Dia menunjuk bangku kosong yang ada di belakangku.

Aku mengangguk kemudian menjatuhkan bobot di bangku kosong.

"Mbak yang tadi, kan?" Suara lembut seorang wanita mengusik kenyamanan dudukku.

Aku menoleh ke kanan, perempuan yang tadi bertabrakan dengan Aluna duduk di sampingku. Kini pakaiannya sudah berganti meski masih sama. Sebagian besar tubuhnya terekspos. Celana pendek dengan kaos tanpa lengan yang ketat menempel di tubuh rampingnya.

Aku beristigfar dalam hati saat melihatnya berpakaian seperti itu. Namun untuk menasehati juga tak mungkin. Kami tak saling mengenal, tidak sopan jika aku mengkritik seseorang yang baru saja kutemui.

"Adik kecil tadi di mana, Mbak?" tanyanya.

"Di sana." Aku menunjuk ke arah kolam renang bagian anak-anak.

"Berenang dengan Papanya, ya. Papa idaman ya seperti itu," ucapnya dengan mata fokus ke arah Aluna dan Mas Tara.

"Maksudnya?"

"Bukan apa-apa, kok, Mbak." Perempuan itu terlihat gugup dan salah tingkah.

"Perkenalkan nama aku Imelda, Mbak siapa namanya? Dari tadi berbincang tapi tidak tahu namanya," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanan.

"Alin." Kuterima uluran tangan itu.

"Imelda sekolah di mana?" Iseng kutanyakan hal itu.

Dia menyebutan nama salah satu sekolah di daerah Solo. Benar dugaanku, dia masih berstatus pelajar. Namun kenapa pakaiannya seperti itu?

Setelah beberapa saat berbincang pesananku telah selesai dibuat. Aku pun segera berpamitan lalu melangkah pergi meninggalkan bangku itu.

"Mbak Alin." Aku menghentikan langkah lalu menoleh kembali ke arahnya.

"Ikut gabung boleh, Mbak?" tanyanya dengan mata penuh harap.

Ada keraguan yang menelusup tapi rasa tak tega lebih mendominasi. Ah, kenapa susah membuang rasa iba yang berlebihan ini?

Mas Tara dan Aluna keluar dari kolam dia melangkah mendekat ke arah kami.

"Kakak yang tadi, ya," ucap Aluna polos.

Imelda mulai memperkenalkan diri, sepertiku Mas Tara dan Aluna menerimanya dengan baik.

"Kamu ke sini sendiri?" tanyaku.

"Iya Mbak," jawabnya sambil melirik ke arah kananku, tepat di mana Mas Tara duduk.

Entah perasaanku saja atau bagaimana, Imelda seolah mencuri pandang ke arah suamiku. Apa jangan-jangan ia tertarik dengan Mas Tara?

Ya Allah, aku salah. Harusnya aku tak mengizinkan dia bergabung di maja kami. Sudah terlanjur mau bagaimana lagi?

"Kamu tidak punya pacar? Biasanya anak muda suka pergi dengan kekasihnya saat liburan seperti ini, tapi kamu malah sendirian."

Pertanyaan itu keluar dengan sendirinya. Entah kenapa rasa penasaran begitu besar pada Imelda.

Imelda diam, ini membuatku tak enak hati. Apa aku telah salah bicara?

"Maaf jika ucapanku salah."

"Tidak kok, Mbak. Aku memang punya pacar tapi pacarku sedang asyik dengan keluarganya."

Uhuk... Uhuk....

Mas Tara tersedak, kopi yang ada di mulutnya menyembur keluar.

Ya Tuhan apa jangan-jangan mereka memiliki hubungan?

Komen (5)
goodnovel comment avatar
sulikah
Betul bangettttt itu
goodnovel comment avatar
Khaira
Terlalu gampang ditebak ceritanya
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
waaa...imelda mungkin kalo malam dia suka ngetem di silir...hahaha...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status