"Hamil?" Satriya yang baru datang seketika menatapku lekat. Raut tanda tanya tergambar jelas di sana. Sama sepertiku, dia terkejut dengan ucapan ibu. "Iya, Lin, kamu pasti hamil. Sudah haid belum?" tanya ibu seraya berjalan mendekat ke arahku. Piring berisi telur dadar ibu bawa kian mendekat. Aroma yang sempat memudar kini terasa menusuk hidung. Isi perutku pun kembali keluar. Lemas, hingga aku kemudian menutupnya lagi karena cahaya yang menyilaukan. Pusing, rasa itu kian memenuhi kepalaku. Bahkan benda-benda itu seolah berputar-putar."Masih pusing, Yang?" Satriya menggenggam tanganku, menatap diri ini dengan penuh kekhawatiran. "Benda-benda berputar-putar gini, Sat. Itu lemari kenapa bergoyang-goyang?" Aku menunjuk lemari yang berputar seperti gangsing. "Ini karena kamu gak makan, Yang. Kamu mau makan apa? Aku beliin apa masakin?" Satriya terus saja mengomel ini dan itu. Dia seperti radio yang tak ada hentinya menyala. Namun aku tahu, ada kepedulian dalam setiap kata-katanya
Seketika aku dan Satriya saling pandang. Sama halnya denganku, Satriya pun tak tahu harus menjawab apa. Situasi ini sangat menyulitkan diriku. Apa yang harus aku jawab? "Aku gak mau punya adik, Ma. Aku gak mau!" teriaknya seraya berlari pergi. Tak lama suara pintu dibanting terdengar jelas. Aluna marah, dia berlari masuk kamar. Suara tangis pun terdengar hingga di ruang keluarga. Karena memang ruangan ini bersebelahan dengan kamar ibu dan bapak. Aku beranjak, menyingkirkan kursi yang menghalangi langkah kakiku. Namun sebuah tangan menghentikan gerakan kakiku. Satriya menggeleng, memintaku untuk duduk kembali. "Biar aku saja, Yang. Kamu habiskan asinan itu dulu."Satriya pun segera melangkah menuju kamar. Dia ketuk pintu kemudian masuk tanpa dipersilakan oleh pemiliknya. Aku berharap lelaki itu mampu meluluhkan hati Aluna. Menyembuhkan luka karena goresan tangan Mas Tara, ayah kandungnya. "Buruan dimakan, Lin. Nanti ada lalat yang masuk."Kembali aku melihat mangkuk di hadapan. As
Pintu kamar mandi aku buka perlahan. Tatapan penuh tanya Satriya berikan padaku. Apa yang harus aku katakan? "Bagaimana hasilnya, Yang?" tanyanya. Aku melangkah mendekat, memberikan benda kecil itu padanya. Lelaki yang masih menguap itu seketika berbinar melihat dua garis di sana. Rasa kantuk yang sempat hadir hilang dalam sekejap mata. "Kamu hamil, Sayang!" Satriya memeluk tubuhku erat, ciuman bertubi-tubi dia berikan di wajahku. Dia begitu bahagia, sementara aku mematung. Aku terbelenggu dengan dua perasaan yang bertarung menjadi satu. "Kamu tak bahagia, Lin?" tanyanya memecah keheningan yang sempat menderaHarusnya aku bahagia atas kehamilan ini. Sama seperti yang Satriya rasakan, namun sikap Aluna membuatku bingung harus bersikap bagaimana. Apakah aku bahagia di atas tangis putriku? Ya Robb... Kenapa harus di saat seperti ini? "Sayang ...."Satriya menyentuh pundakku, seketika aku tersadar dari lamunan. "Kamu tidak bahagia dengan kehamilan ini?" Satriya menatapku dengan tat
"Siapa yang hamil, Nek?" tanya Aluna lagi. Aku dan Satriya saling pandang. Seketika kebingungan datang. Jawaban apa yang harus kuberikan saat mentalnya tak kuat menerima kenyataan. "Salah denger kamu, Lun. Nenek gak bilang hamil.""Hamil gitu kok. Iya, kan, Pi?" Aluna melirik Satriya, meminta sebuah kata iya. Sebuah gelengan kepala kuberikan saat Satriya melirikku. Aku harap dia mengerti, terkadang berbohong lebih baik karena keadaan yang memaksa demikian. Ya, meski tak ada pembenaran dari sebuah kebohongan. "Papi gak denger, Sayang. Papi datang terakhir, kan?"Aku bernapas lega mendengar jawaban Satriya. Semoga Aluna percaya dan tak menanyakan hal itu lagi. Kami butuh waktu untuk menjelaskan semua hal itu. "Ah, Papi gak asyik!" Aluna menyilangkan kedua tangan di dada, bibirnya mengerucut, kesal. "Papi gak denger, Lun.""Ah...."Aluna memutar badan, melangkah pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Dia merajuk, kesal karena jawaban tak sesuai dengan harapannya. Namun aku bernapa
"Mama!"Ah, kenapa harus kembali di saat begini. Aluna pasti akan ikut. Tidak mungkin aku menolaknya. Bagaimana jika ia.... Satriya menghentikan kendaraan roda empat. Segera aku membuka pintu dan berjalan mendekati Aluna. Satriya memilih menunggu di dalam mobil. "Mama mau ke mana?" tanyanya dangan tatapan penuh selidik. "Mama mau periksa, Nak. Masuk angin gak sembuh-sembuh dari kemarin.""Aluna mau ikut, Ma," rengeknya seraya menarik ujung kaos yang aku kenakan. Tatapan memgiba dia berikan, membuat rasa tak tega tumbuh dan bersemayam. "Mama ke rumah sakit, Nak. Anak kecil gak boleh ikut ke rumah sakit. Aluna di rumah sama nenek, ya?" Aku sentuh pundaknya, memberi pengertian pada gadis kecilku. "Ikut Ma ... ikut!"Aluna terus merengek, tangisnya seketika pecah. Dia memelukku, meminta agar aku mengajaknya pergi. Lalu bagaiamana jika ia tahu aku pergi ke dokter kandungan? Bagaimana perasaan dia? Dua rasa berkecambuk dalam dada. Baru seperti ini sudah menyiksa. Lalu bagaimana jika A
"Bukan urusan kamu, Mas."Aku langkahkan kaki menuju mobil. Mengabaikan panggilan lelaki yang kini menjadi kakak ipar. Pintu mobil masih tertutup kala aku tiba. Tak ada Aluna atau pun Satriya. Ke mana dua orang itu? "Alin."Menghela napas kala Mas Tara mendekat. Lelaki itu sudah berdiri di sebelahku. Dia menoleh kanan dan kiri, mencari keberadaan Aluna. Sama sepertiku. "Apa?""Aluna tahu kamu hamil?"Aku menghela napas, lelaki ini menguji kesabaranku. Harusnya dia diam, aku hamil atau tidak... ini bukan urusannya lagi. Karena aku dan dia hanya sekedar mantan. "Kamu tahu, Lin. Aluna sangat membenci bayi. Lalu bagaimana jika ia tahu mamanya hamil?""Dia benci bayi karena kamu, Mas!""Dulu aku takut dengan kebencian Aluna. Namun sekarang aku justru bahagia, karena hidupmu tak akan sebahagia saat bersamaku, Lin."Aku mengepalkan tangan di samping. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak ini. Ini rumah sakit, bukan tempat terbaik untuk melampiaskan kemarahan. "Mama!"Aluna be
"Satriya!" Satriya menutup mulut rapat. Dapat kulihat rasa bersalah karena berbicara seperti tadi. Namun mau bagaimana lagi, dia keceplosan. "Adik bayi apa, Pi?""Bukan adik bayi, Lun. Tapi mumu, kucing yang kemarin kita temukan di parit depan rumah."Terpaksa aku berbohong. Semua demi menutupi kebohongan pertama. Seterusnya akan begitu hingga kejujuran muncul. Ah, entah berapa minggu lagi. "Oh, Mumu? Papi tenang aja, aku jagain kok."Seulas senyum kembali nampak di wajah Satriya. Rasa tegang seketika lenyap. "Papi titip mama, ya. Pastikan mama minum obat. Kalau mama ngeyel, segera lapor papi.""Siap, Pi," jawab Aluna seraya menempelkan tangan kanan di kening. Persis separti gerakan hormat saat upacara. Setelah berpamitan, Satriya pun pergi meninggalkan rumah. Deru mobil perlahan menghilang berganti keheningan yang sempat tercipta. Kini kami terpisah oleh jarak. Meski hanya sementara. Terkadang kita harus merelakan seseorang itu pergi. Bukan meninggalkan, namun berjuang untuk ke
"Aku gak mau punya adik, Ma. Hmm ...."Aluna membuka pintu kamar, menatapku dengan linangan air mata membasahi pipi. Tatapan itu mencubit hatiku. Sakit, kala melihat dia menangis. Beranjak perlahan, memaksa kakiku untuk berjalan mendekat padanya. Aku sejajarkan tubuh hingga tinggi kami terlihat sama. Dengan hati-hati kuhapus jejak air mata itu. Namun bulir demi bulir kembali jatuh membasahi pipi. Apa dia sangat membenci kehadiran seorang bayi? Ya Robb ... apa yang akan terjadi nanti? Apa dia akan membenci anak ini selamanya? "Aluna gak mau punya adik, Ma. Aluna gak mau."Menghela napas, kutepis rasa sesak yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Setelah hamil perasaan semakin sensitif. Tak bisa kupungkiri, ucapan Aluna bak belati yang menancap di jantung hati. Meski aku tahu dia tak bermaksud seperti itu. "Kenapa Aluna ngomong gitu? Siapa yang mau punya adik?" Aku menutupi kenyataan dengan sebuah kebohongan. Lagi-lagi hal buruk menjadi kebiasaan atas dasar keterpaksaan. Ah, sampai kap