"Mama!"Ah, kenapa harus kembali di saat begini. Aluna pasti akan ikut. Tidak mungkin aku menolaknya. Bagaimana jika ia.... Satriya menghentikan kendaraan roda empat. Segera aku membuka pintu dan berjalan mendekati Aluna. Satriya memilih menunggu di dalam mobil. "Mama mau ke mana?" tanyanya dangan tatapan penuh selidik. "Mama mau periksa, Nak. Masuk angin gak sembuh-sembuh dari kemarin.""Aluna mau ikut, Ma," rengeknya seraya menarik ujung kaos yang aku kenakan. Tatapan memgiba dia berikan, membuat rasa tak tega tumbuh dan bersemayam. "Mama ke rumah sakit, Nak. Anak kecil gak boleh ikut ke rumah sakit. Aluna di rumah sama nenek, ya?" Aku sentuh pundaknya, memberi pengertian pada gadis kecilku. "Ikut Ma ... ikut!"Aluna terus merengek, tangisnya seketika pecah. Dia memelukku, meminta agar aku mengajaknya pergi. Lalu bagaiamana jika ia tahu aku pergi ke dokter kandungan? Bagaimana perasaan dia? Dua rasa berkecambuk dalam dada. Baru seperti ini sudah menyiksa. Lalu bagaimana jika A
"Bukan urusan kamu, Mas."Aku langkahkan kaki menuju mobil. Mengabaikan panggilan lelaki yang kini menjadi kakak ipar. Pintu mobil masih tertutup kala aku tiba. Tak ada Aluna atau pun Satriya. Ke mana dua orang itu? "Alin."Menghela napas kala Mas Tara mendekat. Lelaki itu sudah berdiri di sebelahku. Dia menoleh kanan dan kiri, mencari keberadaan Aluna. Sama sepertiku. "Apa?""Aluna tahu kamu hamil?"Aku menghela napas, lelaki ini menguji kesabaranku. Harusnya dia diam, aku hamil atau tidak... ini bukan urusannya lagi. Karena aku dan dia hanya sekedar mantan. "Kamu tahu, Lin. Aluna sangat membenci bayi. Lalu bagaimana jika ia tahu mamanya hamil?""Dia benci bayi karena kamu, Mas!""Dulu aku takut dengan kebencian Aluna. Namun sekarang aku justru bahagia, karena hidupmu tak akan sebahagia saat bersamaku, Lin."Aku mengepalkan tangan di samping. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak ini. Ini rumah sakit, bukan tempat terbaik untuk melampiaskan kemarahan. "Mama!"Aluna be
"Satriya!" Satriya menutup mulut rapat. Dapat kulihat rasa bersalah karena berbicara seperti tadi. Namun mau bagaimana lagi, dia keceplosan. "Adik bayi apa, Pi?""Bukan adik bayi, Lun. Tapi mumu, kucing yang kemarin kita temukan di parit depan rumah."Terpaksa aku berbohong. Semua demi menutupi kebohongan pertama. Seterusnya akan begitu hingga kejujuran muncul. Ah, entah berapa minggu lagi. "Oh, Mumu? Papi tenang aja, aku jagain kok."Seulas senyum kembali nampak di wajah Satriya. Rasa tegang seketika lenyap. "Papi titip mama, ya. Pastikan mama minum obat. Kalau mama ngeyel, segera lapor papi.""Siap, Pi," jawab Aluna seraya menempelkan tangan kanan di kening. Persis separti gerakan hormat saat upacara. Setelah berpamitan, Satriya pun pergi meninggalkan rumah. Deru mobil perlahan menghilang berganti keheningan yang sempat tercipta. Kini kami terpisah oleh jarak. Meski hanya sementara. Terkadang kita harus merelakan seseorang itu pergi. Bukan meninggalkan, namun berjuang untuk ke
"Aku gak mau punya adik, Ma. Hmm ...."Aluna membuka pintu kamar, menatapku dengan linangan air mata membasahi pipi. Tatapan itu mencubit hatiku. Sakit, kala melihat dia menangis. Beranjak perlahan, memaksa kakiku untuk berjalan mendekat padanya. Aku sejajarkan tubuh hingga tinggi kami terlihat sama. Dengan hati-hati kuhapus jejak air mata itu. Namun bulir demi bulir kembali jatuh membasahi pipi. Apa dia sangat membenci kehadiran seorang bayi? Ya Robb ... apa yang akan terjadi nanti? Apa dia akan membenci anak ini selamanya? "Aluna gak mau punya adik, Ma. Aluna gak mau."Menghela napas, kutepis rasa sesak yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Setelah hamil perasaan semakin sensitif. Tak bisa kupungkiri, ucapan Aluna bak belati yang menancap di jantung hati. Meski aku tahu dia tak bermaksud seperti itu. "Kenapa Aluna ngomong gitu? Siapa yang mau punya adik?" Aku menutupi kenyataan dengan sebuah kebohongan. Lagi-lagi hal buruk menjadi kebiasaan atas dasar keterpaksaan. Ah, sampai kap
Pov Tara"Ngawur kamu, Mas. Kamu yang tega merusak pikiran Aluna. Dasar papa tak waras.""Apa kamu bilang?"Aku melangkah mendekat, menatap tajam Alin. Entah kenapa aku justru terhipnotis dengan wajahnya. Semakin hari, dia nampak memesona. Kenapa tidak sejak dulu aku sadar, dia begitu sempurna. "Sial!" umpatku dalam hati. "Mas Tara!" teriak seseorang dari luar. Hampir saja kusentuh wajah itu. Namun suara teriakan dari luar menghentikan gerakan tangan. Ah, mau apa wanita itu datang kemari? Merepotkan! Alin melangkah cepat menuju sumber suara. Ada rasa malas mengikutinya. Namun Imelda akan membuat keributan. Dasar bocah! "Mas Tara!""Tara!"Amarah yang sempat meluap seketika lenyap. Nyaliku menciut melihat lelaki di samping Imelda. Ah, sial! Kenapa juga dia ikut kemari! "Papa kapan datang?"Aku mendekat, mengulas senyum palsu. Meski sebenarnya aku ingin menghajarnya. Namun kutahan, takut menimbulkan masalah baru lagi. Bisa mati jika beradu mulut dengan mantan pelatih silat. "Suda
"Papa mau tinggal di sini?" "Iya, untuk mengawasi tingkah kamu. Ada aku saja kamu berani berbuat kasar dengan Imelda. Bagaimana kalau aku tidak ada?"Sial! Harusnya aku tahan emosi yang meledak. Kalau sudah begini aku bisa apa? Ah! Berkali-kali aku rutuki kebodohan dan sikap ceroboh ini. Andai aku bisa menahan amarah, lelaki tua itu tak mungkin tinggal di sini. "Kenapa syok begitu, Tara? Kamu gak suka papa tinggal di sini!" Lelaki tua itu melirikku tajam. Mau tak mau sebuah anggukan kuberikan. Ah, sial! Memang benar-benar sial hidupku. "Aku ke kamar dulu, Pa."Beranjak, aku tinggalkan kopi yang baru berkurang sedikit. Telingaku sudah terlalu panas untuk mendengarkan ocehan lelaki itu. Dia pikir aku anak kecil yang bisa diatur. Oh, no! "Tara!"Memutar bola mata malas, terpaksa aku memutar tubuh, kembali menatap lelaki tua tak tahu diri itu. Senyum penuh kemenangan ia berikan padaku. Seolah dia memenangkan pertempuran yang baru saja dimulai. Ini belum berakhir. "Siapkan kamar untu
"Alin!Alin!"Gedoran pintu disertai panggilan ibu terdengar jelas di telinga. Hampir saja memecah gendang telinga karena keras. Aku segera beranjak menuju depan. Sebelum sirine itu kembali berbunyi "Kenapa pakai dikunci segala, Lin? Ini kampung, jam segini dibuka tetap aman." Ibu masuk sambil membawa tas yang berisi penuh belanjaan. "Ada setan tadi, Bu.""Setan apa?" Ibu membalikkan badan, meletakkan tas di lantai. "Ibu hamil itu wangi, banyak setan yang mau mendekati."Aku memutar bola mata malas. Ibu terlalu banyak menonton film horor. Hingga mitos dibawa ke mana pun. "Bukan setan itu, Bu."Aku melambaikan tangan, meminta beliau mendekat. "Apa?""Mas Tara baru saja kemari.""Apa?""Genderuwo itu berani datang kemari? Untuk apa, Lin?""Bertemu Aluna dan membujukku untuk kembali bersamanya.""Lelaki gak waras. Gak usah ditanggepin, Lin." Ibu membalikkan badan, mengambil tas lalu berjalan menuju dapur. Aku memang tak mempedulikan Mas Tara. Namun lelaki itu akan tetap kemari. Dia t
"Ada apa sih, Ma?" Aluna sudah berdiri di sampingku. Sorot mata penuh tanda tanya tergambar jelas di sana. Anak itu diam, mendengarkan dengan seksama perdebatan yang terjadi di antara papa dan neneknya. "Suara papa, kan, Ma?" Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut kecil Aluna. Ingin berkata tidak, tapi nyatanya suara itu memang Mas Tara. Berbohong pun percuma. "Papa ke sini, Ma?" Aluna melangkah, dia hendak berlari menuju pintu depan. Segera kutarik tangannya hingga berhenti, menatap diri ini dengan kebingungan. "Di sini saja, Lun.""Aluna pengen ketemu papa, Ma."Aku menghela napas, bingung harus menjawab apa. Ingin menahan, tapi tak bisa. Ikatan anak dan bapak tak akan terputus hingga kapan pun. "Papa, Aluna minta gendong." "Sini, Sayang." Mas Tara dengan cepat menggendong Aluna. "Papa jadi kuda, ya.""Oke, kita kejar mama!""Ma, ayo!" Aluna menarik tanganku. Bayang masa lalu itu hilang dalam sekejap. "Di sini saja, ya.""Ayo, Ma! Aluna kangen papa."Berat hati aku ikuti
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki