"Alin!Alin!"Gedoran pintu disertai panggilan ibu terdengar jelas di telinga. Hampir saja memecah gendang telinga karena keras. Aku segera beranjak menuju depan. Sebelum sirine itu kembali berbunyi "Kenapa pakai dikunci segala, Lin? Ini kampung, jam segini dibuka tetap aman." Ibu masuk sambil membawa tas yang berisi penuh belanjaan. "Ada setan tadi, Bu.""Setan apa?" Ibu membalikkan badan, meletakkan tas di lantai. "Ibu hamil itu wangi, banyak setan yang mau mendekati."Aku memutar bola mata malas. Ibu terlalu banyak menonton film horor. Hingga mitos dibawa ke mana pun. "Bukan setan itu, Bu."Aku melambaikan tangan, meminta beliau mendekat. "Apa?""Mas Tara baru saja kemari.""Apa?""Genderuwo itu berani datang kemari? Untuk apa, Lin?""Bertemu Aluna dan membujukku untuk kembali bersamanya.""Lelaki gak waras. Gak usah ditanggepin, Lin." Ibu membalikkan badan, mengambil tas lalu berjalan menuju dapur. Aku memang tak mempedulikan Mas Tara. Namun lelaki itu akan tetap kemari. Dia t
"Ada apa sih, Ma?" Aluna sudah berdiri di sampingku. Sorot mata penuh tanda tanya tergambar jelas di sana. Anak itu diam, mendengarkan dengan seksama perdebatan yang terjadi di antara papa dan neneknya. "Suara papa, kan, Ma?" Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut kecil Aluna. Ingin berkata tidak, tapi nyatanya suara itu memang Mas Tara. Berbohong pun percuma. "Papa ke sini, Ma?" Aluna melangkah, dia hendak berlari menuju pintu depan. Segera kutarik tangannya hingga berhenti, menatap diri ini dengan kebingungan. "Di sini saja, Lun.""Aluna pengen ketemu papa, Ma."Aku menghela napas, bingung harus menjawab apa. Ingin menahan, tapi tak bisa. Ikatan anak dan bapak tak akan terputus hingga kapan pun. "Papa, Aluna minta gendong." "Sini, Sayang." Mas Tara dengan cepat menggendong Aluna. "Papa jadi kuda, ya.""Oke, kita kejar mama!""Ma, ayo!" Aluna menarik tanganku. Bayang masa lalu itu hilang dalam sekejap. "Di sini saja, ya.""Ayo, Ma! Aluna kangen papa."Berat hati aku ikuti
Dadaku bergemuruh, tangan mengepal di samping. Belum lagi tanduk yang mulai keluar dari kepala. Tahu, kan? Aku sedang terbakar api cemburu, dan itu menyakitkan. "Ayo, Ma!" Aluna menarik tangan ini, namun wanita itu membuatku terpaku. Mulut dan kaki mendadak tak bisa aku gerakkan. Hanya amarah yang melompat, minta dilampiaskan. Melihat tak ada respon, Aluna pun segera berlari ke rumah. Teriakan memanggil Satriya terdengar begitu jelas. Lelaki itu pun keluar, lengkap dengan kamera yang menggantung di lehernya. "Papi!" Aluna berlari, memeluk Satriya erat. Ciuman bertubi-tubi Satriya berikan pada putriku. Mereka melepas rindu yang membelenggu. "Sayang, kenapa masih di situ?"Satriya melepas pelukan Aluna, melangkah mendekat padaku. Gerakan Satriya bak magnet yang membuat netra wanita itu terus menatapnya. Senyum yang sempat mengembang mendadak sirna, wanita diam menahan cemburu. "Papi ... sayang? Apa-apaan ini, Sat?" Wanita itu mendekat, berdiri di hadapan kami. Berulang kali ia m
"Apa kamu bilang ... dari Ellen?""Iya, dari Ellen. Ayo dimakan, Yang. Kamu pengen bubur ayam, kan? Ini mumpung masih anget."Satriya berbicara tanpa dosa, justru terkesan bahagia. Seolah baru mendapatkan emas permata. Hello... dia tidak sadar bubur itu dari perempuan yang ingin mengambilnya dariku. Ah, menyebalkan. "Kenapa diam, Sayang?""Makan saja sendiri, aku sudah gak nafsu!"Aku beranjak meninggalkan dia yang masih menatap bubur ayam itu. Entah dari mana perempuan itu tahu, aku menginginkan bubur ayam. Apa jangan-jangan Satriya mengatakannya? "Sayang, kamu kenapa sih?" Panggilan dan ketukan pintu kembali mengusik rasa kesal ini. Harusnya dia tahu tanpa aku jelaskan. Ini tak tahu, apa hanya pura-pura? Kebanyakan lelaki memang tak peka dengan perasaan perempuan. Kode sama sekali tidak bisa dimengerti. Haruskan aku menjelaskannya? Itu melelahkan."Kenapa! Kenapa! Pikir aja sendiri! Sana sama Ellen sana! Gak usah panggil-panggil!" Kembali aku benamkan kepala di bawah bantal. Ak
"Papi kenapa cium perut mama?" tanya Aluna lagi. Satriya melepas ciuman, tubuhnya tegak, tersenyum kaku pada gadis kecil berbaju kuning itu. Sempat ia mengedipkan mata padaku, meminta bantuan memberi penjelasan agar tak ada pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Aluna memang kritis, semua hal ia tanyakan, hingga kadang kami lelah menjawabnya. "Pengen cium aja, Lun. Aluna mau dicium papi?""Gak mau!"Aluna berlari, disusul Satriya. Adegan kejar-kejaran tak dapat terelakkan. Tawa dan canda mewarnai rumah ini. Andai Aluna dapat menerima bayi ini, mungkin kami akan semakin bahagia. Aku harus mencari cara agar dia menyukai bayi, karena perut iki akan semakin membesar. Rintik hujan masih setia menemani siang ini. Mentari benar-benar terlelap hingga tak muncul walau sebentar. Aku masih berada di kamar, bersandar pada tubuh lelaki yang asyik menonton pertandingan bulu tangkis di televisi. Kaki aku luruskan di ranjang dengan kepala menempel di pundak Satriya. Semilir angin masuk melalui cela j
"Aku gak mau adik! Gak mau, ya gak mau!"Aluna pun berlari menuju kamar. Hentakan kaki terdengar menjauh, dia marah. Sangat marah. Entah bagaimana aku akan menjelaskan nanti. Pendirian anak itu kuat, aku bingung harus membujuknya dengan cara apa. Menghembuskan napas perlahan, mengatur rasa sesak yang tiba-tiba tumbuh di dadaku. Penolakan Aluna tak ubahnya belati yang menancap tepat di jantung. Sakit, teramat sakit. Perlahan aku beranjak dadi sofa, melangkah menuju dapur yang ada di belakang. Aku buka kulkas, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Hanya ada melon setengahnya. Dia benar-benar tak mengurus makannya. Tak ada pilihan lain selain memesan makanan melalui aplikasi online. Aku duduk di kursi makan, sebuah gelas berisi air putih berada di atas meja. Hanya ada biskuit kalengan yang menemani secangkir air putih itu. Sepertinya Satriya memang jarang berada di rumah. Terbukti tak ada cemilan dan bahan makanan di rumah ini. Tangan dengan lincah menari di atas layar. Memesan donat ma
Aku mengedipkan mata, meminta Satriya diam. Namun lelaki itu justru berbicara panjang lebar. Sikap antusias Satriya mengabaikan ekspresi kesal gadis kecilku. "Papi mau bomboloni?"Aku mengalihkan pembicaraan Satriya. "Nanti, Ma. Papi lagi cerita adik bayi sama Aluna. Rambutnya udah banyak lho, Lun. Adiknya nangis sambil merem, kaya Aluna waktu masih bayi.""Aku gak mau bayi, Papi!"Aluna melepas tangan Satriya yang melingkar di perut. Dia pun berlari kembali ke kamar. Putri kecilku merajuk. Astaga, Satriya, kenapa kamu tak menerima sinyal yang aku berikan? "Kamu lupa Aluna masih membenci bayi?""Astagfirullah, aku lupa, Yang."Satriya menatapku lekat, raut bersalah tergambar jelas di matanya. Namun sudah terlanjur, Aluna kembali merajuk. "Sepertinya harus kita katakan, Yang. Pelan-pelan saja."Aku menghela napas, mengangguk meski terasa begitu berat. Sebagai ibu, aku tahu perasaan Aluna. Dia tak ingin berbagi, dari segi perhatian dan barang. Mungkin ini salah satu dampak dari perc
Pintu rumah kubuka, Aluna dengan cepat berlari menuju kamar. Es krim yang sempat dibeli ia abaikan. Dia merajuk. Aku melangkah gontai menuju dapur. Dua buah es krim yang sudah mencair kumasukkan ke freezer. Tak lupa memutar tombol pendingin agar es itu kembali membeku. Meski aku tak begitu yakin. Bunyi notifikasi menyentakku. Sebuah pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. Aku rogoh benda pipih yang ada di saku gamis. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat nama Satriya di layar ponsel. [Mama mau dibelikan apa?]Sebuah perhatian yang mampu menghilangkan rasa bimbang yang mendera. Setidaknya Satriya tahu aku sedang tak baik-baik saja. [Cepat pulang, Aluna merajuk, Yang. Dia tahu aku tengah mengandung.]Ponsel kembali aku letakkan di atas meja. Perlahan aku berjalan ke lantai atas, menuju kamar Aluna. Sepanjang jalan aku rangkai kata agar hatinya tak terluka. Kenyataan ini memang menakutkan untuknya. Namun tak mungkin kututup terlalu lama. "Mama boleh masuk, Lun?"Hening, tak ada