"Papi kenapa cium perut mama?" tanya Aluna lagi. Satriya melepas ciuman, tubuhnya tegak, tersenyum kaku pada gadis kecil berbaju kuning itu. Sempat ia mengedipkan mata padaku, meminta bantuan memberi penjelasan agar tak ada pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Aluna memang kritis, semua hal ia tanyakan, hingga kadang kami lelah menjawabnya. "Pengen cium aja, Lun. Aluna mau dicium papi?""Gak mau!"Aluna berlari, disusul Satriya. Adegan kejar-kejaran tak dapat terelakkan. Tawa dan canda mewarnai rumah ini. Andai Aluna dapat menerima bayi ini, mungkin kami akan semakin bahagia. Aku harus mencari cara agar dia menyukai bayi, karena perut iki akan semakin membesar. Rintik hujan masih setia menemani siang ini. Mentari benar-benar terlelap hingga tak muncul walau sebentar. Aku masih berada di kamar, bersandar pada tubuh lelaki yang asyik menonton pertandingan bulu tangkis di televisi. Kaki aku luruskan di ranjang dengan kepala menempel di pundak Satriya. Semilir angin masuk melalui cela j
"Aku gak mau adik! Gak mau, ya gak mau!"Aluna pun berlari menuju kamar. Hentakan kaki terdengar menjauh, dia marah. Sangat marah. Entah bagaimana aku akan menjelaskan nanti. Pendirian anak itu kuat, aku bingung harus membujuknya dengan cara apa. Menghembuskan napas perlahan, mengatur rasa sesak yang tiba-tiba tumbuh di dadaku. Penolakan Aluna tak ubahnya belati yang menancap tepat di jantung. Sakit, teramat sakit. Perlahan aku beranjak dadi sofa, melangkah menuju dapur yang ada di belakang. Aku buka kulkas, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Hanya ada melon setengahnya. Dia benar-benar tak mengurus makannya. Tak ada pilihan lain selain memesan makanan melalui aplikasi online. Aku duduk di kursi makan, sebuah gelas berisi air putih berada di atas meja. Hanya ada biskuit kalengan yang menemani secangkir air putih itu. Sepertinya Satriya memang jarang berada di rumah. Terbukti tak ada cemilan dan bahan makanan di rumah ini. Tangan dengan lincah menari di atas layar. Memesan donat ma
Aku mengedipkan mata, meminta Satriya diam. Namun lelaki itu justru berbicara panjang lebar. Sikap antusias Satriya mengabaikan ekspresi kesal gadis kecilku. "Papi mau bomboloni?"Aku mengalihkan pembicaraan Satriya. "Nanti, Ma. Papi lagi cerita adik bayi sama Aluna. Rambutnya udah banyak lho, Lun. Adiknya nangis sambil merem, kaya Aluna waktu masih bayi.""Aku gak mau bayi, Papi!"Aluna melepas tangan Satriya yang melingkar di perut. Dia pun berlari kembali ke kamar. Putri kecilku merajuk. Astaga, Satriya, kenapa kamu tak menerima sinyal yang aku berikan? "Kamu lupa Aluna masih membenci bayi?""Astagfirullah, aku lupa, Yang."Satriya menatapku lekat, raut bersalah tergambar jelas di matanya. Namun sudah terlanjur, Aluna kembali merajuk. "Sepertinya harus kita katakan, Yang. Pelan-pelan saja."Aku menghela napas, mengangguk meski terasa begitu berat. Sebagai ibu, aku tahu perasaan Aluna. Dia tak ingin berbagi, dari segi perhatian dan barang. Mungkin ini salah satu dampak dari perc
Pintu rumah kubuka, Aluna dengan cepat berlari menuju kamar. Es krim yang sempat dibeli ia abaikan. Dia merajuk. Aku melangkah gontai menuju dapur. Dua buah es krim yang sudah mencair kumasukkan ke freezer. Tak lupa memutar tombol pendingin agar es itu kembali membeku. Meski aku tak begitu yakin. Bunyi notifikasi menyentakku. Sebuah pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. Aku rogoh benda pipih yang ada di saku gamis. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat nama Satriya di layar ponsel. [Mama mau dibelikan apa?]Sebuah perhatian yang mampu menghilangkan rasa bimbang yang mendera. Setidaknya Satriya tahu aku sedang tak baik-baik saja. [Cepat pulang, Aluna merajuk, Yang. Dia tahu aku tengah mengandung.]Ponsel kembali aku letakkan di atas meja. Perlahan aku berjalan ke lantai atas, menuju kamar Aluna. Sepanjang jalan aku rangkai kata agar hatinya tak terluka. Kenyataan ini memang menakutkan untuknya. Namun tak mungkin kututup terlalu lama. "Mama boleh masuk, Lun?"Hening, tak ada
Aku diam, jantung berdetak kencang. Bukan karena pernyataan cinta Satriya seperti dulu. Namun risau menunggu tanggapan Aluna. Aku takut ia kembali menolak kehadiran calon anak kami. Terkadang kebencian menutup sebuah logika. Tak jarang menghilangkan kasih sayang karena tertutup sebuah amarah. Seperti yang kini Aluna rasakan. Lagi-lagi perceraian menjadi pemicu perubahan sikap anak. Ada rasa sesal yang seketika hadir, mungkin ini kesalahanku terburu-buru menerima lamaran Satriya. Harusnya aku menunggu hingga Aluna benar-benar siap. Namun semua sudah terlanjur, tak mungkin kukembalikan seperti semula. "Adek di belikan,kan, Ka Luna?" tanya Satriya lagi. Aluna mengangguk, sudut bibirnya tertarik ke atas, dia tersenyum. Kembali aku tatap Aluna, dia tidak marah, justru asyik memilih boneka kecil untuk calon adiknya. "Dia gak marah, Yang," bisikku di telinga kiri Satriya. Lelakiku tersenyum, kemudian kembali asyik memilih boneka bersama Aluna. Sesekali mereka berdebat boneka apa yang a
"Ellen."Aku menoleh ke arah pintu. Perempuan itu tersenyum seraya melangkah mendekat. Tanpa diminta rasa kesal kian memenuhi dada. Bisa-bisanya ia datang di saat pemotretanku? Dia pasti sengaja menghancurkan rencana indah kami. "Mas Sat, bisa kemari sebentar?""Bentar, ya, Yang.""Ini belum selesai lho, Pi.""Sebentar aja, Yang. Gak akan lama kok.""Kenapa bukan dia yang nunggu, sih!""Sebentar, Yang. Sebentar banget kok. Kamu foto sendiri dulu, ya."Satriya pun pergi dari tempat pemotretan, dia mengikuti langkah Ellen. Seketika aku mengepalkan tangan di samping, menahan amarah yang hampir meledak. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan. "Mbak Alin, kita foto sendiri dulu, ya." Mas Niko memberi arahan. Dia mencontohkan pose yang harus aku lakukan. Kedua tangan menyentuh perut bagian bawah, dengan mata lurus ke depan. Bayang Satriya dan Ellen kembali memenuhi isi kepala. Apa yang mereka lakukan? Apa yang mereka bicarakan di belakangku. Kecurigaan semakin memenuhi isi hatiku. Ah, bis
"Apa Mbak bilang, kami akan menikah?"Ellen bertanya lalu tertawa lepas. Bahkan kedua tangan memegangi perut. Seolah ia baru saja melihat topeng monyet, menyebalkan. "Apanya yang lucu?"Aku menyilangkan kedua tangan di dada, menatap kesal wanita yang duduk di hadapanku. Dia tak merasa bersalah sedikit pun. Harusnya dia minta maaf, bukan tertawa penuh kemenangan. Apa pelakor sekarang seperti ini? Tidak memiliki rasa takut, apa lagi malu. "Apanya yang lucu?""Yang, ini bukan seperti ....""Diam! Jangan ikut campur apa lagi membela wanita itu!"Aku menatap tajam lelaki bergelar suami. Biar dia diam, tidak terus menerus membela Ellen. Harusnya dia minta maaf, bukan justru menutupi kenyataan yang ada. "Sekarang kamu pilih, aku atau dia?" Ellen semakin terpingkal dengan ucapanku. Astaga, amarahku sama sekali tidak ia pedulikan. Pelakor jaman sekarang tidak memiliki rasa takut sama sekali, dia jauh lebih berani dari pada istri sah. "Aku dan Mas Satriya tidak ada apa-apa, Mbak.""Mana a
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki
"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki