Aku diam, jantung berdetak kencang. Bukan karena pernyataan cinta Satriya seperti dulu. Namun risau menunggu tanggapan Aluna. Aku takut ia kembali menolak kehadiran calon anak kami. Terkadang kebencian menutup sebuah logika. Tak jarang menghilangkan kasih sayang karena tertutup sebuah amarah. Seperti yang kini Aluna rasakan. Lagi-lagi perceraian menjadi pemicu perubahan sikap anak. Ada rasa sesal yang seketika hadir, mungkin ini kesalahanku terburu-buru menerima lamaran Satriya. Harusnya aku menunggu hingga Aluna benar-benar siap. Namun semua sudah terlanjur, tak mungkin kukembalikan seperti semula. "Adek di belikan,kan, Ka Luna?" tanya Satriya lagi. Aluna mengangguk, sudut bibirnya tertarik ke atas, dia tersenyum. Kembali aku tatap Aluna, dia tidak marah, justru asyik memilih boneka kecil untuk calon adiknya. "Dia gak marah, Yang," bisikku di telinga kiri Satriya. Lelakiku tersenyum, kemudian kembali asyik memilih boneka bersama Aluna. Sesekali mereka berdebat boneka apa yang a
"Ellen."Aku menoleh ke arah pintu. Perempuan itu tersenyum seraya melangkah mendekat. Tanpa diminta rasa kesal kian memenuhi dada. Bisa-bisanya ia datang di saat pemotretanku? Dia pasti sengaja menghancurkan rencana indah kami. "Mas Sat, bisa kemari sebentar?""Bentar, ya, Yang.""Ini belum selesai lho, Pi.""Sebentar aja, Yang. Gak akan lama kok.""Kenapa bukan dia yang nunggu, sih!""Sebentar, Yang. Sebentar banget kok. Kamu foto sendiri dulu, ya."Satriya pun pergi dari tempat pemotretan, dia mengikuti langkah Ellen. Seketika aku mengepalkan tangan di samping, menahan amarah yang hampir meledak. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan. "Mbak Alin, kita foto sendiri dulu, ya." Mas Niko memberi arahan. Dia mencontohkan pose yang harus aku lakukan. Kedua tangan menyentuh perut bagian bawah, dengan mata lurus ke depan. Bayang Satriya dan Ellen kembali memenuhi isi kepala. Apa yang mereka lakukan? Apa yang mereka bicarakan di belakangku. Kecurigaan semakin memenuhi isi hatiku. Ah, bis
"Apa Mbak bilang, kami akan menikah?"Ellen bertanya lalu tertawa lepas. Bahkan kedua tangan memegangi perut. Seolah ia baru saja melihat topeng monyet, menyebalkan. "Apanya yang lucu?"Aku menyilangkan kedua tangan di dada, menatap kesal wanita yang duduk di hadapanku. Dia tak merasa bersalah sedikit pun. Harusnya dia minta maaf, bukan tertawa penuh kemenangan. Apa pelakor sekarang seperti ini? Tidak memiliki rasa takut, apa lagi malu. "Apanya yang lucu?""Yang, ini bukan seperti ....""Diam! Jangan ikut campur apa lagi membela wanita itu!"Aku menatap tajam lelaki bergelar suami. Biar dia diam, tidak terus menerus membela Ellen. Harusnya dia minta maaf, bukan justru menutupi kenyataan yang ada. "Sekarang kamu pilih, aku atau dia?" Ellen semakin terpingkal dengan ucapanku. Astaga, amarahku sama sekali tidak ia pedulikan. Pelakor jaman sekarang tidak memiliki rasa takut sama sekali, dia jauh lebih berani dari pada istri sah. "Aku dan Mas Satriya tidak ada apa-apa, Mbak.""Mana a
Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki
"Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster
"Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba