"Apa kamu bilang ... dari Ellen?""Iya, dari Ellen. Ayo dimakan, Yang. Kamu pengen bubur ayam, kan? Ini mumpung masih anget."Satriya berbicara tanpa dosa, justru terkesan bahagia. Seolah baru mendapatkan emas permata. Hello... dia tidak sadar bubur itu dari perempuan yang ingin mengambilnya dariku. Ah, menyebalkan. "Kenapa diam, Sayang?""Makan saja sendiri, aku sudah gak nafsu!"Aku beranjak meninggalkan dia yang masih menatap bubur ayam itu. Entah dari mana perempuan itu tahu, aku menginginkan bubur ayam. Apa jangan-jangan Satriya mengatakannya? "Sayang, kamu kenapa sih?" Panggilan dan ketukan pintu kembali mengusik rasa kesal ini. Harusnya dia tahu tanpa aku jelaskan. Ini tak tahu, apa hanya pura-pura? Kebanyakan lelaki memang tak peka dengan perasaan perempuan. Kode sama sekali tidak bisa dimengerti. Haruskan aku menjelaskannya? Itu melelahkan."Kenapa! Kenapa! Pikir aja sendiri! Sana sama Ellen sana! Gak usah panggil-panggil!" Kembali aku benamkan kepala di bawah bantal. Ak
"Papi kenapa cium perut mama?" tanya Aluna lagi. Satriya melepas ciuman, tubuhnya tegak, tersenyum kaku pada gadis kecil berbaju kuning itu. Sempat ia mengedipkan mata padaku, meminta bantuan memberi penjelasan agar tak ada pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Aluna memang kritis, semua hal ia tanyakan, hingga kadang kami lelah menjawabnya. "Pengen cium aja, Lun. Aluna mau dicium papi?""Gak mau!"Aluna berlari, disusul Satriya. Adegan kejar-kejaran tak dapat terelakkan. Tawa dan canda mewarnai rumah ini. Andai Aluna dapat menerima bayi ini, mungkin kami akan semakin bahagia. Aku harus mencari cara agar dia menyukai bayi, karena perut iki akan semakin membesar. Rintik hujan masih setia menemani siang ini. Mentari benar-benar terlelap hingga tak muncul walau sebentar. Aku masih berada di kamar, bersandar pada tubuh lelaki yang asyik menonton pertandingan bulu tangkis di televisi. Kaki aku luruskan di ranjang dengan kepala menempel di pundak Satriya. Semilir angin masuk melalui cela j
"Aku gak mau adik! Gak mau, ya gak mau!"Aluna pun berlari menuju kamar. Hentakan kaki terdengar menjauh, dia marah. Sangat marah. Entah bagaimana aku akan menjelaskan nanti. Pendirian anak itu kuat, aku bingung harus membujuknya dengan cara apa. Menghembuskan napas perlahan, mengatur rasa sesak yang tiba-tiba tumbuh di dadaku. Penolakan Aluna tak ubahnya belati yang menancap tepat di jantung. Sakit, teramat sakit. Perlahan aku beranjak dadi sofa, melangkah menuju dapur yang ada di belakang. Aku buka kulkas, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Hanya ada melon setengahnya. Dia benar-benar tak mengurus makannya. Tak ada pilihan lain selain memesan makanan melalui aplikasi online. Aku duduk di kursi makan, sebuah gelas berisi air putih berada di atas meja. Hanya ada biskuit kalengan yang menemani secangkir air putih itu. Sepertinya Satriya memang jarang berada di rumah. Terbukti tak ada cemilan dan bahan makanan di rumah ini. Tangan dengan lincah menari di atas layar. Memesan donat ma
Aku mengedipkan mata, meminta Satriya diam. Namun lelaki itu justru berbicara panjang lebar. Sikap antusias Satriya mengabaikan ekspresi kesal gadis kecilku. "Papi mau bomboloni?"Aku mengalihkan pembicaraan Satriya. "Nanti, Ma. Papi lagi cerita adik bayi sama Aluna. Rambutnya udah banyak lho, Lun. Adiknya nangis sambil merem, kaya Aluna waktu masih bayi.""Aku gak mau bayi, Papi!"Aluna melepas tangan Satriya yang melingkar di perut. Dia pun berlari kembali ke kamar. Putri kecilku merajuk. Astaga, Satriya, kenapa kamu tak menerima sinyal yang aku berikan? "Kamu lupa Aluna masih membenci bayi?""Astagfirullah, aku lupa, Yang."Satriya menatapku lekat, raut bersalah tergambar jelas di matanya. Namun sudah terlanjur, Aluna kembali merajuk. "Sepertinya harus kita katakan, Yang. Pelan-pelan saja."Aku menghela napas, mengangguk meski terasa begitu berat. Sebagai ibu, aku tahu perasaan Aluna. Dia tak ingin berbagi, dari segi perhatian dan barang. Mungkin ini salah satu dampak dari perc
Pintu rumah kubuka, Aluna dengan cepat berlari menuju kamar. Es krim yang sempat dibeli ia abaikan. Dia merajuk. Aku melangkah gontai menuju dapur. Dua buah es krim yang sudah mencair kumasukkan ke freezer. Tak lupa memutar tombol pendingin agar es itu kembali membeku. Meski aku tak begitu yakin. Bunyi notifikasi menyentakku. Sebuah pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. Aku rogoh benda pipih yang ada di saku gamis. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat nama Satriya di layar ponsel. [Mama mau dibelikan apa?]Sebuah perhatian yang mampu menghilangkan rasa bimbang yang mendera. Setidaknya Satriya tahu aku sedang tak baik-baik saja. [Cepat pulang, Aluna merajuk, Yang. Dia tahu aku tengah mengandung.]Ponsel kembali aku letakkan di atas meja. Perlahan aku berjalan ke lantai atas, menuju kamar Aluna. Sepanjang jalan aku rangkai kata agar hatinya tak terluka. Kenyataan ini memang menakutkan untuknya. Namun tak mungkin kututup terlalu lama. "Mama boleh masuk, Lun?"Hening, tak ada
Aku diam, jantung berdetak kencang. Bukan karena pernyataan cinta Satriya seperti dulu. Namun risau menunggu tanggapan Aluna. Aku takut ia kembali menolak kehadiran calon anak kami. Terkadang kebencian menutup sebuah logika. Tak jarang menghilangkan kasih sayang karena tertutup sebuah amarah. Seperti yang kini Aluna rasakan. Lagi-lagi perceraian menjadi pemicu perubahan sikap anak. Ada rasa sesal yang seketika hadir, mungkin ini kesalahanku terburu-buru menerima lamaran Satriya. Harusnya aku menunggu hingga Aluna benar-benar siap. Namun semua sudah terlanjur, tak mungkin kukembalikan seperti semula. "Adek di belikan,kan, Ka Luna?" tanya Satriya lagi. Aluna mengangguk, sudut bibirnya tertarik ke atas, dia tersenyum. Kembali aku tatap Aluna, dia tidak marah, justru asyik memilih boneka kecil untuk calon adiknya. "Dia gak marah, Yang," bisikku di telinga kiri Satriya. Lelakiku tersenyum, kemudian kembali asyik memilih boneka bersama Aluna. Sesekali mereka berdebat boneka apa yang a
"Ellen."Aku menoleh ke arah pintu. Perempuan itu tersenyum seraya melangkah mendekat. Tanpa diminta rasa kesal kian memenuhi dada. Bisa-bisanya ia datang di saat pemotretanku? Dia pasti sengaja menghancurkan rencana indah kami. "Mas Sat, bisa kemari sebentar?""Bentar, ya, Yang.""Ini belum selesai lho, Pi.""Sebentar aja, Yang. Gak akan lama kok.""Kenapa bukan dia yang nunggu, sih!""Sebentar, Yang. Sebentar banget kok. Kamu foto sendiri dulu, ya."Satriya pun pergi dari tempat pemotretan, dia mengikuti langkah Ellen. Seketika aku mengepalkan tangan di samping, menahan amarah yang hampir meledak. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan. "Mbak Alin, kita foto sendiri dulu, ya." Mas Niko memberi arahan. Dia mencontohkan pose yang harus aku lakukan. Kedua tangan menyentuh perut bagian bawah, dengan mata lurus ke depan. Bayang Satriya dan Ellen kembali memenuhi isi kepala. Apa yang mereka lakukan? Apa yang mereka bicarakan di belakangku. Kecurigaan semakin memenuhi isi hatiku. Ah, bis
"Apa Mbak bilang, kami akan menikah?"Ellen bertanya lalu tertawa lepas. Bahkan kedua tangan memegangi perut. Seolah ia baru saja melihat topeng monyet, menyebalkan. "Apanya yang lucu?"Aku menyilangkan kedua tangan di dada, menatap kesal wanita yang duduk di hadapanku. Dia tak merasa bersalah sedikit pun. Harusnya dia minta maaf, bukan tertawa penuh kemenangan. Apa pelakor sekarang seperti ini? Tidak memiliki rasa takut, apa lagi malu. "Apanya yang lucu?""Yang, ini bukan seperti ....""Diam! Jangan ikut campur apa lagi membela wanita itu!"Aku menatap tajam lelaki bergelar suami. Biar dia diam, tidak terus menerus membela Ellen. Harusnya dia minta maaf, bukan justru menutupi kenyataan yang ada. "Sekarang kamu pilih, aku atau dia?" Ellen semakin terpingkal dengan ucapanku. Astaga, amarahku sama sekali tidak ia pedulikan. Pelakor jaman sekarang tidak memiliki rasa takut sama sekali, dia jauh lebih berani dari pada istri sah. "Aku dan Mas Satriya tidak ada apa-apa, Mbak.""Mana a