Share

36. Sore Bersama Oma

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-09-10 08:51:48

“Mbak Nai mau pergi ke sana sendirian atau perlu diantar?”

Pertanyaan dari Mira itu membuat Naina sedikit tersentak. “Diantar saja, saya takut kesasar. Tunggu, ya, Mbak. Saya bersiap-siap dulu.”

Tak membutuhkan waktu lama, Naina sudah selesai. Ia menutup pintu kamarnya lalu mengikuti langkah Mira menuju arah kolam renang.

Selama perjalanan, Naina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Oma Hira. Ia menjadi overthinking sendiri.

Apakah Naina melakukan kesalahan lagi?

Apakah Oma Hira akan berubah pikiran dan malah mengusirnya?

Kalau itu beneran terjadi, bagaimana selanjutnya?

“Mbak Nai nggak perlu khawatir. Oma nggak gigit kok. Saya tadi melihat raut wajah Oma kelihatannya bersahabat. Insyaallah, aman,” kata Mira.

Naina tidak menyahut. Ia masih terlarut dalam pikirannya sendiri.

Sampai di teras samping rumah, Mira menunjuk ke arah satu gazebo yang sudah ditempati Oma Hira.

“Itu Oma di sana. Kalau gitu saya pamit, ya. Semangat, Mbak Nai,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   37. Bayangan Masa Lalu

    “Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   38. Tanda Tangan

    “Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   39. Ingin Bekerja

    “Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   40. Morning Sickness

    “Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan

    Last Updated : 2024-09-11
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   41. Ngidam

    Semua pertanyaan itu sama sekali tidak berhasil ditemukan jawabannya. Dhafin berharap Naina akan baik-baik saja dimanapun wanita itu berada. Karena mau bagaimanapun Naina tengah mengandung buah hatinya, pewaris Wirabuana. Tak ingin larut dalam pikirannya, Dhafin memulai mengerjakan pekerjaannya. Ia mengecek berkas yang menumpuk di mejanya kemudian ditandatanganinya. Beberapa jam kemudian, Arvan masuk ke dalam ruangannya. Seketika, wangi parfum milik sahabatnya itu menguar memenuhi seluruh ruangan. Dhafin menutup hidung karena tidak kuat dengan aromanya yang sangat menyengat. Tiba-tiba ia merasa mual. Perutnya juga terasa diaduk-aduk. “Selamat pagi menjelang siang, Pak Bos. Saya ingin mengingatkan–” Belum selesai Arvan berkata, Dhafin langsung berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kerjanya. Hoek! Lagi, Dhafin memuntahkan isi perutnya seperti waktu di rumah tadi. Bedanya ini karena mencium aroma parfum milik Arvan. Arvan yang khawatir mengikuti sahabatnya. Namun, Dh

    Last Updated : 2024-09-11
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   42. Bakso Jumbo dan Es Jeruk

    Dhafin merasa tertampar dengan perkataan Arvan. Ia teringat dulu waktu pertama tahu Naina hamil, ia menolak. “Kenapa bisa hamil sih?” tanyanya ketus lalu melempar kasar testpack yang diberikan Naina. “Kan karena kamu juga, Mas,” jawab Naina takut-takut. “Itu hanya kecelakaan. Lagian kenapa kamu nggak mencegahnya sih? Minum obat atau apa kek biar nggak hamil.” “Maaf.” Naina hanya menunduk tanpa berani menatap Dhafin. “Aku belum siap jadi ayah!” Dhafin juga teringat ketika dirinya mengabaikan Naina waktu mual-muntah di awal kehamilan. “Mas, boleh minta tolong ambilkan minum sama minyak kayu putih?” pinta Naina dengan suara lemah. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi sehabis muntah-muntah. “Nyusahin!” Dhafin tetap mengambilkan dua barang itu meskipun dengan tidak ikhlas. Ia bahkan pernah membiarkan Naina pingsan karena terlalu banyak kekurangan cairan hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, mereka pindah ke kediaman Wirabuana karena permintaan Bu Anita. Namun, bukanny

    Last Updated : 2024-09-12
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   43. Haruskah Bercerai?

    Freya menatap Dhafin heran. “Kenapa?” tanyanya sambil melangkah maju. Dhafin malah melangkah mundur dengan tangan menutup hidungnya sendiri. “Berhenti disitu!” Ia tidak tahan dengan aroma tubuh Freya yang lagi-lagi membuatnya mual. Padahal dulunya menjadi favorit. Terlebih ini Freya, orang yang dicintainya bukan orang lain. “Kenapa sih memangnya?” “Kamu bau banget.” Freya membelalakkan matanya terkejut. “Apanya yang bau?” Ia sampai mencium badannya sendiri yang menurutnya wangi. “Ini parfum kesukaanmu loh. Kamu yang membelikannya langsung.” Dhafin tahu itu. Namun, sekarang ini ia benar-benar tidak tahan dengan aromanya yang lebih menyengat dibanding milik Arvan. Pria itu bersandar di pintu. Ia mati-matian menahan diri agar tidak sampai muntah membuat kepalanya terasa pening. “Lebih baik kamu pulang,” usirnya terang-terangan. “Kamu mengusirku?” Freya terperangah tidak percaya. “Iya.” Freya memandang Dhafin dengan tatapan terluka. “Kamu tega mengusirku, Dhaf?” Dhafin mem

    Last Updated : 2024-09-12
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   44. Rencana Licik

    “Naina....”Cukup lama Dhafin bertahan di posisi itu–memeluk baju Naina hingga akhirnya tersadar. Sontak, ia melepaskan pelukannya pada baju itu.Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia memeluk baju seperti orang yang sedang rindu?Sungguh, Dhafin melakukan semua itu di luar kendalinya. Benar-benar bukan keinginannya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali.Tidak! Ia tidak merindukan Naina. Sama sekali tidak!Dhafin bangkit dan melempar kasar baju Naina ke dalam lemari kemudian menutup pintunya dengan keras. Ia menyandarkan tubuhnya di sana lantas menghela napas panjang.Tiba-tiba ingatan Dhafin tertuju pada kejadian tadi siang tepatnya ketika ia mengusir Freya. Ada rasa bersalah yang bersemayam dalam hatinya.Dengan segera, Dhafin mengambil ponselnya di dalam tas kerja. Ia mencoba menghubungi Freya, tetapi tidak diangkat. Pasti perempuan itu sedang marah.Tidak menyerah, Dhafin kembali menelpon hingga panggilan ke empat barulah teleponnya tersambung. “Kenapa nggak diangkat? Mar

    Last Updated : 2024-09-13

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   295. Permintaan untuk Datang Kembali

    Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   294. Jejak Tradisi

    Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   293. Persiapan Pernikahan

    Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   292. Saat Harus Merelakan

    “Gobl*k!”Suara Arvan memantul di dinding ruang kerja yang sunyi.Dhafin langsung menoleh, matanya menyipit tajam ke arah sahabatnya yang bersandar santai di sofa single, satu kaki bersilang di atas lutut. Sorot matanya menyala, seperti ingin melemparkan kursi ke arah lawan bicaranya.Pria itu menggertakkan rahangnya. Umpatan itu bukan sekedar suara, melainkan terasa seperti tamparan dingin yang menghantam dadanya.Baru saja Dhafin menceritakan semua masalah antara dirinya dan Lora baru-baru ini pada Arvan, berharap sedikit pengertian. Namun, yang ia dapat, justru sebuah kalimat kasar yang mengguncang ego dan harga dirinya.Arvan tak bergeming hanya menaikkan satu alis, tanpa gentar. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, kedua siku bertumpu di lutut.“Wajar Lora bersikap begitu,” katanya tanpa menurunkan volume suara. “Kamu secara terang-terangan mengusirnya cuma karena nolak satu permintaan.”Matanya membulat, ekspresinya semakin sengit. “Kurang baik apa Lora? Dia bolak-balik ke r

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   291. Egois?

    “Lora!!” Dhafin sontak berdiri hingga kursi yang didudukinya bergeser pelan dengan suara seret yang memecah ketegangan di udara. Sorot matanya menusuk, rahangnya mengeras. Dadanya naik turun cepat, menahan gelombang emosi yang mendesak keluar. Tangannya terkepal di sisi tubuh untuk menahannya dari ledakan yang lebih besar. Ia menatap Lora dalam-dalam, seakan-akan mencoba mencari sisa pengertian yang mungkin masih tertinggal di mata perempuan itu. “Jaga ucapanmu, Lora!” katanya dengan suara rendah tapi terdengar dingin dan tegas. “Aku sama sekali nggak ingin Mama kenapa-napa apalagi sampai berharap Mama meninggal!” Lora ikut berdiri. Tubuhnya tegak, namun sorot matanya menyiratkan kekecewaan yang dalam. Sebuah senyum miring muncul di wajah cantiknya. “Lalu barusan itu apa, Mas?” tanyanya pelan tetapi tajam. Dhafin langsung terbungkam. Sorot matanya tampak menatap ke depan dengan pandangan kosong. Wajahnya kaku dengan rahang yang masih mengeras. Seakan-akan pertanyaan Lora bar

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   290. Ujian Menjelang Pernikahan

    Lora memilih kembali ke kamar inap Bu Anita, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi yang berada tepat di depan ruangan. Punggungnya bersandar lemah, tetapi pikirannya terus berputar tanpa henti.Bayangan wajah Bu Anita, suara lirihnya, dan permintaan yang diucapkan dengan penuh harap—semuanya memenuhi benaknya. Berat. Terlalu berat.Lora menghela napas panjang. Bagaimana bisa dirinya menolak tanpa menyakiti? Di tengah kondisi Bu Anita yang semakin lemah, ia tak sanggup menambah beban pikirannya. Namun, memenuhi permintaan itu pun bukan jalan keluar terbaik. Kembali pada Dhafin tentunya bukan pilihan yang paling tepat. Bukan lagi jalan hidup yang ingin ia tapaki.Mungkin inilah ujian menjelang pernikahan. Bukan tentang gaun, undangan, atau dekorasi impian, melainkan kedatangan masa lalu yang tiba-tiba mengetuk ketika segalanya hampir siap untuk masa depan. Kenangan bersama Dhafin yang selama ini dikubur dalam-dalam, kini bangkit lagi dengan dibungkus dalam permintaan tulus dari seo

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   289. Tak Semua Harus Dipenuhi

    Lora tak langsung bereaksi. Ia hanya duduk membeku dan mematung dalam diam yang penuh makna. Matanya membelalak tipis, memantulkan bayangan masa lalu yang selama ini dikubur rapat-rapat. Suara Bu Anita menggema di kepala, menabrak dinding pertahanan yang susah payah dirinya bangun.Meski firasatnya sempat menebak, tetap saja kata-kata itu menghantam seperti gelombang dingin yang menyeretnya ke arus kenangan.Pelan-pelan, jemarinya yang semula menggenggam erat tangan Bu Anita mulai melemah. Ada jeda di napasnya, seakan paru-parunya lupa cara bekerja untuk sesaat.Lora menarik napas panjang, dada naik-turun perlahan saat mencoba meredakan gejolak di dalam hatinya. Kelopak matanya terpejam sejenak, menata isi kepala yang terasa penuh. Begitu kembali membuka mata, sorot matanya mantap menatap Bu Anita meskipun gurat getir masih membayang di sana.“Ma…” ucapnya lirih jemarinya kembali menggenggam tangan Bu Anita dengan lembut, “aku udah punya calon suami. Aku nggak akan mengkhianati kepe

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   288. Permintaan Terakhir?

    Grissham sempat terpaku sepersekian detik, sebelum akhirnya menarik kembali tangannya dan mengulas senyum tipis.Laki-laki itu mulai paham, kemungkinan besar keberadaannya tidak sepenuhnya diterima. Ia adalah putra dari Pak Albern yang merupakan rival lama Pak Daniel di dunia bisnis. Meskipun demikian, dirinya tetap menjaga sikap, menahan segala prasangka demi menghormati suasana.Tanpa banyak bicara, Grissham melangkah tenang menyusul Lora yang sudah lebih dulu mendekati ranjang Bu Anita, lalu membungkuk sopan untuk menyalami wanita paruh baya itu dengan penuh hormat.“Lora banyak bercerita tentang Tante. Hari ini jadwalnya Tante dilakukan operasi, ya. Saya doakan semoga semuanya berjalan lancar dan Tante bisa segera pulih seperti sedia kala,” ucapnya tulus.Bu Anita tersenyum tipis. Rona hangat terpancar dari wajahnya meski tubuhnya tampak lemah. “Aamiin… makasih doanya, Nak Grissham. Makasih juga udah repot-repot menjenguk saya di sini.”Grissham menggeleng, senyum hangat tak lepa

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   287. Sebuah Kepercayaan

    “Sayang….”Suara halus nan lembut yang menyapa indera pendengaran disertai dengan sentuhan di tangan membuat Lora tersentak kaget. Lamunannya tentang kejadian dua hari yang lalu itu seketika buyar.Ia melihat ke arah tangannya di pangkuan yang berada dalam genggaman tangan besar dan putih, lalu beralih menatap Grissham yang juga tengah memandangnya. Menyadari jika mobil telah berhenti, Lora pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata mereka sudah tiba di parkiran rumah sakit, melihat beberapa mobil yang berjejer di depan dan sampingnya.“Kenapa? Aku melihatmu sejak tadi melamun selama perjalanan. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, hm?” tanya Grissham lembut seraya mengusap punggung tangan Lora.Lora menggigit bibir bawahnya pelan, mempertimbangkan apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Namun, dirinya tidak bisa berbohong di hadapan Grissham.Ia menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata sejenak sebelum menoleh ke samping. “Aku kepikiran tentang pert

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status