“Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak
“Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib
“Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,
“Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan
Semua pertanyaan itu sama sekali tidak berhasil ditemukan jawabannya. Dhafin berharap Naina akan baik-baik saja dimanapun wanita itu berada. Karena mau bagaimanapun Naina tengah mengandung buah hatinya, pewaris Wirabuana. Tak ingin larut dalam pikirannya, Dhafin memulai mengerjakan pekerjaannya. Ia mengecek berkas yang menumpuk di mejanya kemudian ditandatanganinya. Beberapa jam kemudian, Arvan masuk ke dalam ruangannya. Seketika, wangi parfum milik sahabatnya itu menguar memenuhi seluruh ruangan. Dhafin menutup hidung karena tidak kuat dengan aromanya yang sangat menyengat. Tiba-tiba ia merasa mual. Perutnya juga terasa diaduk-aduk. “Selamat pagi menjelang siang, Pak Bos. Saya ingin mengingatkan–” Belum selesai Arvan berkata, Dhafin langsung berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kerjanya. Hoek! Lagi, Dhafin memuntahkan isi perutnya seperti waktu di rumah tadi. Bedanya ini karena mencium aroma parfum milik Arvan. Arvan yang khawatir mengikuti sahabatnya. Namun, Dh
Dhafin merasa tertampar dengan perkataan Arvan. Ia teringat dulu waktu pertama tahu Naina hamil, ia menolak. “Kenapa bisa hamil sih?” tanyanya ketus lalu melempar kasar testpack yang diberikan Naina. “Kan karena kamu juga, Mas,” jawab Naina takut-takut. “Itu hanya kecelakaan. Lagian kenapa kamu nggak mencegahnya sih? Minum obat atau apa kek biar nggak hamil.” “Maaf.” Naina hanya menunduk tanpa berani menatap Dhafin. “Aku belum siap jadi ayah!” Dhafin juga teringat ketika dirinya mengabaikan Naina waktu mual-muntah di awal kehamilan. “Mas, boleh minta tolong ambilkan minum sama minyak kayu putih?” pinta Naina dengan suara lemah. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi sehabis muntah-muntah. “Nyusahin!” Dhafin tetap mengambilkan dua barang itu meskipun dengan tidak ikhlas. Ia bahkan pernah membiarkan Naina pingsan karena terlalu banyak kekurangan cairan hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, mereka pindah ke kediaman Wirabuana karena permintaan Bu Anita. Namun, bukanny
Freya menatap Dhafin heran. “Kenapa?” tanyanya sambil melangkah maju. Dhafin malah melangkah mundur dengan tangan menutup hidungnya sendiri. “Berhenti disitu!” Ia tidak tahan dengan aroma tubuh Freya yang lagi-lagi membuatnya mual. Padahal dulunya menjadi favorit. Terlebih ini Freya, orang yang dicintainya bukan orang lain. “Kenapa sih memangnya?” “Kamu bau banget.” Freya membelalakkan matanya terkejut. “Apanya yang bau?” Ia sampai mencium badannya sendiri yang menurutnya wangi. “Ini parfum kesukaanmu loh. Kamu yang membelikannya langsung.” Dhafin tahu itu. Namun, sekarang ini ia benar-benar tidak tahan dengan aromanya yang lebih menyengat dibanding milik Arvan. Pria itu bersandar di pintu. Ia mati-matian menahan diri agar tidak sampai muntah membuat kepalanya terasa pening. “Lebih baik kamu pulang,” usirnya terang-terangan. “Kamu mengusirku?” Freya terperangah tidak percaya. “Iya.” Freya memandang Dhafin dengan tatapan terluka. “Kamu tega mengusirku, Dhaf?” Dhafin mem
“Naina....”Cukup lama Dhafin bertahan di posisi itu–memeluk baju Naina hingga akhirnya tersadar. Sontak, ia melepaskan pelukannya pada baju itu.Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia memeluk baju seperti orang yang sedang rindu?Sungguh, Dhafin melakukan semua itu di luar kendalinya. Benar-benar bukan keinginannya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali.Tidak! Ia tidak merindukan Naina. Sama sekali tidak!Dhafin bangkit dan melempar kasar baju Naina ke dalam lemari kemudian menutup pintunya dengan keras. Ia menyandarkan tubuhnya di sana lantas menghela napas panjang.Tiba-tiba ingatan Dhafin tertuju pada kejadian tadi siang tepatnya ketika ia mengusir Freya. Ada rasa bersalah yang bersemayam dalam hatinya.Dengan segera, Dhafin mengambil ponselnya di dalam tas kerja. Ia mencoba menghubungi Freya, tetapi tidak diangkat. Pasti perempuan itu sedang marah.Tidak menyerah, Dhafin kembali menelpon hingga panggilan ke empat barulah teleponnya tersambung. “Kenapa nggak diangkat? Mar
Azhar mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu lalu memeluk Lora erat. “Njang tanen Mama (Azhar kangen Mama).”Lora membalas pelukan Azhar tak kalah eratnya. “Mama juga kangen banget banget sama Azhar.”Wanita itu menciumi wajah putra kecilnya yang empat hari ini tidak ditemuinya. Setelah merasa puas, ia bangkit berdiri lantas mengernyit heran melihat ada mobil asing yang terparkir di pelataran rumah ini. “Itu mobil siapa? Ada tamu, ya?” tanyanya pada Zelda. Zelda mengangguk sebagai jawaban. “Kamu tau nggak siapa tamunya?”Lora menggeleng karena memang tidak tahu. Mobil itu juga tampak asing di matanya. “Memangnya siapa?”Tak lama setelah itu, Pak Raynald muncul dari dalam rumah. “Surprise!”“Om Raynald!” Lora berseru bahagia dengan mata berbinar-binar. Ia sama sekali tidak menyangka Pak Raynald akan mendatangi rumahnya lagi setelah sekian lama. Terakhir bertemu sepertinya satu bulan yang lalu.Pak Raynald berjalan menghampiri. “Hai, Lora,” sapanya. Lora mencium punggung tangan P
“Onty El, Dek Oya ma Mama mana?” Azhar bertanya kepada Zelda sambil celingukan ke arah luar pelataran rumah. Ia duduk di kursi teras dengan kaki yang digerak-gerakkan khas balita.Zelda yang duduk di kursi satunya samping Azhar menghela napas dan mengulas senyum. Ini sudah ke sekian kali Azhar menanyakan itu. “Masih dalam perjalanan, Sayang.”“Tok yama banet (Kok lama banget)?” Azhar mengerucutkan bibirnya hingga kedua pipinya menggembung tampak menggemaskan.“Perjalanannya jauh jadi lama,” jawab Zelda dengan sabarnya.“Kakak Azhar,” panggil Amina yang baru saja keluar rumah. Ia berjalan mendekati Azhar dan berlutut di dekat kaki bocah itu.“Bi Mah udah membuat cemilan kesukaan Kakak. Kita makan sama-sama, yuk, sambil menunggu Dek Zora,” ajaknya sembari mengelus kepala Azhar.Azhar menggeleng. “Njang mau nundu Dek Oya duyu. Anti matan macama (Azhar mau nunggu Dek Zora dulu. Nanti makan sama-sama).” “Oh... begitu. Oke, deh. Kita tunggu Dek Zora, ya,” balas Amina.Azhar menganggukka
Dhafin mengikuti langkah Lora sambil menoleh ke arah putrinya yang sudah turun dari gendongan Grissham. Di sana, Zora terlihat bahagia bermain bersama Grissham. Ia ingin sekali berada di posisi itu, tetapi dirinya harus bersabar.Sesampainya di luar, dua orang itu menempati kursi panjang di depan ruangan. Mereka duduk berdampingan dengan jarak satu kursi.Untuk beberapa menit, keduanya saling bungkam dan larut dalam pikiran masing-masing.Dhafin berhehem untuk memecah keheningan lantas menoleh ke samping. “Kau kemana aja?” “Aku nggak kemana-mana. Aku masih di sini, di kota ini. Hanya saja kamu yang nggak tau keberadaanku,” jawab Lora datar tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan seakan-akan ada objek yang menarik di sana.“Selama ini kau tinggal di mana?” tanya Dhafin lagi.Lora menatap Dhafin sejenak sebelum kembali memandang ke arah depan. “Kamu pastinya udah bisa menebak, bukan?”“Zelda?”Lora mengangguk tanpa memandang Dhafin. “Sejak keluar dari rumah sakit waktu itu, Zelda y
Dhafin masih terbungkam. Sungguh, ia tidak bermaksud menuduh seperti itu. Amarah yang belum sepenuhnya hilang terpancing kembali sehingga membuatnya kelepasan.Semua yang dilihatnya ini sangat mendukung tuduhan itu. Hatinya menjadi ragu, tetapi.... “Kamu juga mau bilang kalau Zora itu anak hasil perselingkuhan kami, iya?!” Lora berseru dengan suara lantang.“Lora!” tegur semua orang yang berada di sini. Mereka merasa ucapan Lora sudah keterlaluan apalagi didengar oleh Zora.Lora memandang satu-persatu para orang di ruangan ini dan berakhir menatap Dhafin. Ia maju selangkah lagi. “Kau bisa tes DNA untuk membuktikan kalau Zora benar-benar putrimu.”“Oke! Aku akan tes DNA,” balas Dhafin datar setelah beberapa saat terdiam.Lora melebarkan matanya tidak percaya. Ia pikir Dhafin akan menolak karena sudah yakin bahwa Zora benar-benar putrinya. Dirinya bilang begitu untuk menantang sekaligus mengetes Dhafin. Namun ternyata…. Ia tertawa sarkas. “Gila kamu! Itu artinya kamu meragukan putrimu
Lora menyingkir untuk memberikan ruang pada Grissham mendekati Zora. Ia berjalan menghampiri Dhafin dan memilih berdiri di samping pria itu.Ada rasa khawatir sekaligus tidak enak dengan Dhafin yang melihat putrinya memanggil Grissham dengan sebutan ayah. Namun, dirinya tidak bisa mengontrol ucapan Zora karena masih kecil dan belum mengerti apa-apa.Lora juga tidak menyangka Grissham tiba di sini dalam waktu cepat pada saat masih ada Dhafin. Ia tidak tahu apakah ini akan menimbulkan musibah atau tidak.Akan tetapi, Lora merasa akan ada sesuatu yang terjadi setelah ini.“Ayah…” panggil Zora dengan sangat antusias. “Halo, Zora cantik.” Grissham tersenyum manis sambil melambaikan tangan kecil. Ia memeluk sebentar tubuh mungil Zora lalu memberikan ciuman di kening.“Zora bangun tidur, ya?” tanyanya saat melihat rambut kecoklatan sebahu milik Zora berantakan. Ia merapikannya dengan menyelipkan beberapa helai di belakang daun telinga.Laki-laki itu menelisik wajah Zora terutama bagian mat
Lora menegakkan tubuhnya dan menatap Dhafin sengit. “Kenapa memangnya?! Mau bilang kalau aku bukan ibu yang baik? Ibu yang nggak becus jaga anaknya sampai bisa sakit? Iya?!”“Aku nggak bilang seperti itu,” balas Dhafin dengan santai.“Iya, tapi kamu pasti akan menuduhku kan? Seperti dulu, kamu yang selalu menyalahkanku atas apa yang terjadi sama Altair tanpa mau mendengar penjelasanku.”“Suudzon mulu.”“Bukan suudzon, tapi memang fakta!”Dhafin memilih diam tanpa membalas perkataan Lora lagi. Jika diteruskan, pasti akan merembet kemana-mana yang berujung mengungkit kesalahannya di masa lalu.Bukan tidak ingin mengakui kesalahan, tetapi bila diungkit terus-menerus membuatnya semakin merasa bersalah dan merutuki kebodohannya dulu.“Zora, putri Papa tidurnya nyenyak sekali. Kapan bangun, Sayang? Papa ingin memeluk dan mengajak Zora bermain,” ucapnya dengan tangan yang masih setia mengusap kepala Zora.Pria itu mengamati putrinya dengan seksama. Ia mengerutkan kening ketika menyadari sesu
Lora menarik kasar tangannya dari genggaman Dhafin. Wajah yang selalu menampilkan ekspresi datar itu tampak memelas dan sendu. Ada sorot mata penyesalan dalam mata tajam milik mantan suaminya.Ia tidak tahu apakah semua itu dari dalam lubuk hati atau hanya pura-pura agar keinginannya tercapai. Namun, yang pasti dirinya tidak akan mudah tertipu oleh sikap Dhafin yang kadang berubah-ubah.“Lebih baik sekarang kamu pulang, Mas,” ucapnya seraya memalingkan wajah.“Lora… tolong.” Dhafin tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Lora. Wanita itu sangat keras kepala yang tidak mudah digoyahkan.“Apa sebegitu fatalkah kesalahanku sampai-sampai kamu nggak memberiku kesempatan?” tanyanya.“Sudahlah, Mas, mending pulang aja.” Lora masih berpaling muka untuk menyembunyikan air mata yang mulai luruh. Ia pun mengusapnya supaya tidak ketahuan.Dhafin menghela napas panjang untuk mengisi stok kesabarannya. “Lora, aku punya hak atas anakku. Kau tak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan a
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h
Sudah tiga hari Zora dirawat inap. Kondisinya berangsur-angsur pulih. Kata dokter, besok sudah diperbolehkan pulang.Selama tiga hari ini, Lora senantiasa mendampingi Zora dan sama sekali tidak pulang ke rumah. Ia khawatir bila dirinya pulang, Zora akan mencarinya dan malah semakin memperburuk kesehatan gadis kecil itu.Untuk masalah Azhar, Lora merasa tenang meninggalkan putranya di rumah karena sudah ada Zelda yang menginap.Ada pula Evan dan Grissham yang setiap hari datang berkunjung sehingga membuat Azhar tidak merasa sendirian.Lora juga tidak serta merta mengabaikan Azhar begitu saja. Ia selalu melakukan video call guna memantau dan mengetahui apa saja kegiatan Azhar tanpa kehadiran dirinya sekaligus memberikan perhatian.Untung saja Azhar itu termasuk anak yang pintar dan penurut sehingga tidak memaksa menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk kembarannya.Terkait dengan pekerjaan, Lora menyerahkan dan mempercayakan semuanya pada Mira. Ia meminta Mira memantau kondisi semua res