Dhafin merasa tertampar dengan perkataan Arvan. Ia teringat dulu waktu pertama tahu Naina hamil, ia menolak. “Kenapa bisa hamil sih?” tanyanya ketus lalu melempar kasar testpack yang diberikan Naina. “Kan karena kamu juga, Mas,” jawab Naina takut-takut. “Itu hanya kecelakaan. Lagian kenapa kamu nggak mencegahnya sih? Minum obat atau apa kek biar nggak hamil.” “Maaf.” Naina hanya menunduk tanpa berani menatap Dhafin. “Aku belum siap jadi ayah!” Dhafin juga teringat ketika dirinya mengabaikan Naina waktu mual-muntah di awal kehamilan. “Mas, boleh minta tolong ambilkan minum sama minyak kayu putih?” pinta Naina dengan suara lemah. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi sehabis muntah-muntah. “Nyusahin!” Dhafin tetap mengambilkan dua barang itu meskipun dengan tidak ikhlas. Ia bahkan pernah membiarkan Naina pingsan karena terlalu banyak kekurangan cairan hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, mereka pindah ke kediaman Wirabuana karena permintaan Bu Anita. Namun, bukanny
Freya menatap Dhafin heran. “Kenapa?” tanyanya sambil melangkah maju. Dhafin malah melangkah mundur dengan tangan menutup hidungnya sendiri. “Berhenti disitu!” Ia tidak tahan dengan aroma tubuh Freya yang lagi-lagi membuatnya mual. Padahal dulunya menjadi favorit. Terlebih ini Freya, orang yang dicintainya bukan orang lain. “Kenapa sih memangnya?” “Kamu bau banget.” Freya membelalakkan matanya terkejut. “Apanya yang bau?” Ia sampai mencium badannya sendiri yang menurutnya wangi. “Ini parfum kesukaanmu loh. Kamu yang membelikannya langsung.” Dhafin tahu itu. Namun, sekarang ini ia benar-benar tidak tahan dengan aromanya yang lebih menyengat dibanding milik Arvan. Pria itu bersandar di pintu. Ia mati-matian menahan diri agar tidak sampai muntah membuat kepalanya terasa pening. “Lebih baik kamu pulang,” usirnya terang-terangan. “Kamu mengusirku?” Freya terperangah tidak percaya. “Iya.” Freya memandang Dhafin dengan tatapan terluka. “Kamu tega mengusirku, Dhaf?” Dhafin mem
“Naina....”Cukup lama Dhafin bertahan di posisi itu–memeluk baju Naina hingga akhirnya tersadar. Sontak, ia melepaskan pelukannya pada baju itu.Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia memeluk baju seperti orang yang sedang rindu?Sungguh, Dhafin melakukan semua itu di luar kendalinya. Benar-benar bukan keinginannya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali.Tidak! Ia tidak merindukan Naina. Sama sekali tidak!Dhafin bangkit dan melempar kasar baju Naina ke dalam lemari kemudian menutup pintunya dengan keras. Ia menyandarkan tubuhnya di sana lantas menghela napas panjang.Tiba-tiba ingatan Dhafin tertuju pada kejadian tadi siang tepatnya ketika ia mengusir Freya. Ada rasa bersalah yang bersemayam dalam hatinya.Dengan segera, Dhafin mengambil ponselnya di dalam tas kerja. Ia mencoba menghubungi Freya, tetapi tidak diangkat. Pasti perempuan itu sedang marah.Tidak menyerah, Dhafin kembali menelpon hingga panggilan ke empat barulah teleponnya tersambung. “Kenapa nggak diangkat? Mar
Zelda sedang memeriksa laporan keuangan di ruangan pribadinya. Beberapa hari ini penjualan butik menurun. Untungnya tidak sampai rugi karena masih mempunyai pelanggan setia. Berita tentang Naina ternyata berdampak pada butiknya. Ia yang sedari awal memasang badan untuk Naina ikut diserang oleh netizen. Bukan hanya dirinya, tetapi para modelnya juga ikut diserang yang membuat mereka satu-persatu mengundurkan diri bahkan di saat masa kontrak kerjanya belum habis. Mereka lebih memilih membayar penalti daripada mentalnya hancur karena hujatan.Zelda bisa mengerti dan memaklumi itu karena tidak semua orang mampu bertahan dari serangan warga net yang menghujat. Kini, tersisa satu model yang sudah bergabung sejak awal butik ini diresmikan. Ia berharap orang itu tetap bertahan dan tidak resign seperti yang lain.Tok tok tokPintu ruangannya diketuk dan masuklah salah satu pegawai dengan tergesa-gesa. Zelda menatap pegawainya yang bernama Sinta itu duduk di kursi berhadapan dengannya.Dari
Tak berselang lama, pesanannya datang. Zelda sekalian membayar tagihannya supaya lega dan tidak kepikiran. Setelah itu, ia pun langsung menyantap makan siangnya. “Hai, Zelda, boleh aku bergabung?”Zelda mendongak dan menemukan Freya yang sudah duduk di hadapannya. Sontak, raut wajahnya berubah dengan tatapan datar tanpa minat.“Ngapain minta izin kalau kamu sendiri udah duduk tanpa dipersilahkan? Nggak sopan banget,” balasnya dengan sewot. Ia lantas kembali melanjutkan acara makannya yang sudah tidak senikmat sebelumnya karena kedatangan tamu tak diundang.Freya tersenyum berusaha sabar saat melihat raut tak suka dari Zelda. “Sendirian aja? Nggak sama Naina?” tanyanya basa basi.“Aku nggak tau dia dimana,” jawab Zelda datar sekaligus berbohong.“Sejak keluar dari kediaman Wirabuana, Naina benar-benar hilang bagai ditelan bumi. Apa kamu masih mencarinya?”“Tentu saja masih.” Zelda menyuapkan satu sendok terakhir makanannya ke dalam mulut.“Ngomong-ngomong aku menyukai baju rancanganm
“Aku pernah mendengar, dulu orang tuamu menerima dan menyayangi Naina seperti anaknya sendiri. Apa kamu nggak cemburu?”Zelda tersenyum manis. “Sayangnya aku bukan kamu yang haus akan kasih sayang.”Ia mengerti kemana arah pembicaraan Freya. Namun, itu tidak akan mempengaruhinya.“Nggak akan ada yang bisa merebut apapun yang kumiliki termasuk Naina, Freya. Dari kecil aku udah mendapatkan limpahan kasih sayang dari keluarga besarku bahkan hingga di usiaku yang sekarang.”Perempuan yang mengenakan blouse warna navy itu memperhatikan raut wajah Freya yang langsung berubah.“Aku rasa nggak ada salahnya memberikan setitik kasih sayang kedua orang tuaku untuk Naina yang notabene nya anak yatim piatu. Hanya setitik, nggak lebih.”“Toh, kasih sayang yang mereka berikan untuk Naina jelas berbeda dengan kasih sayang mereka untukku. Jadi, buat apa cemburu? Nggak ada gunanya malahan bikin penyakit hati,” jelasnya diakhir dengan senyum miring.Freya terbungkam, tak mampu berkata apa-apa lagi. Sepe
Sinta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau menurut saya terima saja, Bu, tawarannya. Mbak Freya sendiri yang menawarkan sebelum kita mencari orang untuk posisi model.”“Itu tawaran yang bagus banget loh, Bu. Mbak Freya itu model jebolan dari luar negeri, terus selebgram juga dengan ratusan ribu followers. Bukankah sangat menguntungkan, Bu?” ungkapnya mengemukakan pendapat.“Tapi, Sin, bagaimana dengan Naina?” sanggah Zelda. Sedikit banyak Sinta tahu mengenai hubungan Naina dengan Freya.“Iya ya, Bu. Agak susah kalau kayak gitu.” Sinta meletakkan tangannya di dagu ikut berpikir. “Tapi, Bu, inikan menyangkut pekerjaan, bukan hal lain. Nggak apa-apalah kita rekrut Mbak Freya. Demi kelangsungan butik ini juga kan, Bu,” ungkapnya.“Gitu, ya?”Sinta mengangguk pasti. “Iya, Bu. Atau kita bikin aja kontrak kerja yang mana kalau dilanggar bakal merugikannya. Jadi, dia nggak bisa berbuat seenaknya di sini.”“Hm… boleh juga.”“Kita bisa memanfaatkan jasanya untuk keuntungan butik. Kayak salin
Usapan di punggungnya membuat Zelda menegakkan tubuh lantas menoleh ke arah samping kiri di mana ibunya berada. Tatapannya berubah sendu dengan bibir melengkung ke bawah.“Mama….”Perempuan itu beralih memeluk lengan ibunya dari samping. Ia menyandarkan kepalanya di pundak wanita yang telah melahirkannya ini. Ketika ada masalah, yang pertama kali dicari adalah pelukan ibunya.Bu Kayla, ibu Zelda, mengusap lembut kepala putrinya. “Apa yang dikatakan Papa memang benar, Sayang. Kesampingkan dulu masalah pribadi. Kamu sendiri sama Freya nggak ada masalah kan?”Zelda menggeleng. “Nggak ada, Ma.” Dirinya memang sama sekali tidak memiliki masalah apapun dengan Freya. Hanya saja ia dibuat geram dengan perilaku Freya yang terus-menerus menyakiti Naina.“Konflik antara Naina dan Freya biarlah menjadi urusan mereka. Sekarang kamu fokus aja sama masalah pekerjaanmu,” ucap Bu Kayla menasehati dengan tutur kata lembut.Zelda mengangkat kepalanya sejenak untuk melihat wajah Bu Kayla dari samping. “
Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin
“Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara
Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad
Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka
Ting!Dhafin beranjak dari posisi berbaringnya lantas mengambil ponselnya yang berdenting dalam tas kerjanya. Ia melihat ada beberapa pesan dari Arvan, salah satunya link video dari salah satu sosmed.[Tonton video itu sampai habis][Di situ Lora klarifikasi]Tanpa menunggu lama, Dhafin menekan tautan yang dikirim oleh sahabatnya dan langsung terhubung ke aplikasi TikTik.Video berdurasi lima menit itu mulai terputar. Diawali dengan Lora yang menjelaskan tentang hubungannya dengan Dhafin secara singkat. Lalu dilanjut dengan penjelasan mengenai kronologi sebernarnya waktu liburan bersama dengan dirinya. Di sana, Lora juga mencantumkan bukti berupa percakapannya bersama pengasuh si kembar.“Saya dengan Mas Dhafin tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya berkaitan dengan kepentingan anak-anak. Saya tidak melarang dan membatasi Mas Dhafin bertemu dengan mereka.”“Saya tidak ingin menjadi ibu jahat yang memisahkan anak dengan ayahnya. Mau bagaimana pun Mas Dhafin itu ayah kan
“Oh… atau jangan-jangan semua masalah yang terjadi di restorannya Lora itu juga karena ulahmu?”“Kamu menuduhku, Dhaf? Hanya demi Lora kamu tega menuduhku?” tanya Freya dengan mata yang kembali berkabut.Dhafin mendengus keras. “Aku cuma bertanya. Melihat tingkahmu yang kelewatan ini, aku jadi berpikir kalau kamulah yang menjadi dalangnya.”Plak!Freya menampar pipi Dhafin hingga tertoleh ke samping. “Tega kamu menuduhku seperti itu! Aku nggak mungkin menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit. Aku nggak segila itu, Dhaf!”Dhafin kembali menoleh ke arah Freya sambil mengusap pipinya. “Terserah apa katamu, yang pasti berhenti mengusik hidup Lora!”“Jika sekali lagi aku mendengar berita nggak bener tentang Lora dan kamulah penyebabnya, aku nggak akan tinggal diam. Kau akan berurusan denganku!” balasnya tajam.Freya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. “Kamu berubah, Dhaf. Kamu bukan Dhafin yang kukenal.”Dhafin tertawa keras hingga suaranya terdengar me