Tak berselang lama, pesanannya datang. Zelda sekalian membayar tagihannya supaya lega dan tidak kepikiran. Setelah itu, ia pun langsung menyantap makan siangnya. “Hai, Zelda, boleh aku bergabung?”Zelda mendongak dan menemukan Freya yang sudah duduk di hadapannya. Sontak, raut wajahnya berubah dengan tatapan datar tanpa minat.“Ngapain minta izin kalau kamu sendiri udah duduk tanpa dipersilahkan? Nggak sopan banget,” balasnya dengan sewot. Ia lantas kembali melanjutkan acara makannya yang sudah tidak senikmat sebelumnya karena kedatangan tamu tak diundang.Freya tersenyum berusaha sabar saat melihat raut tak suka dari Zelda. “Sendirian aja? Nggak sama Naina?” tanyanya basa basi.“Aku nggak tau dia dimana,” jawab Zelda datar sekaligus berbohong.“Sejak keluar dari kediaman Wirabuana, Naina benar-benar hilang bagai ditelan bumi. Apa kamu masih mencarinya?”“Tentu saja masih.” Zelda menyuapkan satu sendok terakhir makanannya ke dalam mulut.“Ngomong-ngomong aku menyukai baju rancanganm
“Aku pernah mendengar, dulu orang tuamu menerima dan menyayangi Naina seperti anaknya sendiri. Apa kamu nggak cemburu?”Zelda tersenyum manis. “Sayangnya aku bukan kamu yang haus akan kasih sayang.”Ia mengerti kemana arah pembicaraan Freya. Namun, itu tidak akan mempengaruhinya.“Nggak akan ada yang bisa merebut apapun yang kumiliki termasuk Naina, Freya. Dari kecil aku udah mendapatkan limpahan kasih sayang dari keluarga besarku bahkan hingga di usiaku yang sekarang.”Perempuan yang mengenakan blouse warna navy itu memperhatikan raut wajah Freya yang langsung berubah.“Aku rasa nggak ada salahnya memberikan setitik kasih sayang kedua orang tuaku untuk Naina yang notabene nya anak yatim piatu. Hanya setitik, nggak lebih.”“Toh, kasih sayang yang mereka berikan untuk Naina jelas berbeda dengan kasih sayang mereka untukku. Jadi, buat apa cemburu? Nggak ada gunanya malahan bikin penyakit hati,” jelasnya diakhir dengan senyum miring.Freya terbungkam, tak mampu berkata apa-apa lagi. Sepe
Sinta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau menurut saya terima saja, Bu, tawarannya. Mbak Freya sendiri yang menawarkan sebelum kita mencari orang untuk posisi model.”“Itu tawaran yang bagus banget loh, Bu. Mbak Freya itu model jebolan dari luar negeri, terus selebgram juga dengan ratusan ribu followers. Bukankah sangat menguntungkan, Bu?” ungkapnya mengemukakan pendapat.“Tapi, Sin, bagaimana dengan Naina?” sanggah Zelda. Sedikit banyak Sinta tahu mengenai hubungan Naina dengan Freya.“Iya ya, Bu. Agak susah kalau kayak gitu.” Sinta meletakkan tangannya di dagu ikut berpikir. “Tapi, Bu, inikan menyangkut pekerjaan, bukan hal lain. Nggak apa-apalah kita rekrut Mbak Freya. Demi kelangsungan butik ini juga kan, Bu,” ungkapnya.“Gitu, ya?”Sinta mengangguk pasti. “Iya, Bu. Atau kita bikin aja kontrak kerja yang mana kalau dilanggar bakal merugikannya. Jadi, dia nggak bisa berbuat seenaknya di sini.”“Hm… boleh juga.”“Kita bisa memanfaatkan jasanya untuk keuntungan butik. Kayak salin
Usapan di punggungnya membuat Zelda menegakkan tubuh lantas menoleh ke arah samping kiri di mana ibunya berada. Tatapannya berubah sendu dengan bibir melengkung ke bawah.“Mama….”Perempuan itu beralih memeluk lengan ibunya dari samping. Ia menyandarkan kepalanya di pundak wanita yang telah melahirkannya ini. Ketika ada masalah, yang pertama kali dicari adalah pelukan ibunya.Bu Kayla, ibu Zelda, mengusap lembut kepala putrinya. “Apa yang dikatakan Papa memang benar, Sayang. Kesampingkan dulu masalah pribadi. Kamu sendiri sama Freya nggak ada masalah kan?”Zelda menggeleng. “Nggak ada, Ma.” Dirinya memang sama sekali tidak memiliki masalah apapun dengan Freya. Hanya saja ia dibuat geram dengan perilaku Freya yang terus-menerus menyakiti Naina.“Konflik antara Naina dan Freya biarlah menjadi urusan mereka. Sekarang kamu fokus aja sama masalah pekerjaanmu,” ucap Bu Kayla menasehati dengan tutur kata lembut.Zelda mengangkat kepalanya sejenak untuk melihat wajah Bu Kayla dari samping. “
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran kota.Oma Hira tengah bersantai di gazebo samping rumah sembari memainkan ponsel canggihnya. Ia sendirian sekarang ini karena Naina sedang keluar sebentar bersama Mira.Tangannya sibuk men-scroll akun sosial medianya untuk mengetahui berita terhangat sekaligus memantau perkembangan tentang berita Naina. Semakin hari berita itu semakin surut dan tergantikan dengan berita baru yang lebih menarik perhatian.Tangannya berhenti menggulirkan layar ponsel ketika tanpa sengaja Oma Hira melihat postingan tentang restoran yang dijual. Ia mengamati dan membaca dengan seksama informasi yang tertera di sana.“Sayang banget harus dijual. Letaknya strategis begini.”Tiba-tiba ada sebuah ide cemerlang yang terlintas di otaknya. Wajah keriputnya berubah cerah dengan senyum merekah di bibirnya.Oma Hira bangkit dari duduknya dan berjalan dengan semangat menuju ruang tengah untuk menemui putra pertamanya. Ia duduk di samping Tuan
“Nainaaa….!”Zelda langsung memeluk Naina erat begitu pintu utama rumah megah milik keluarga Starward terbuka.“Aku kangen banget sama kamu, Nai.”Naina terkekeh kecil sembari membalas pelukan sang sahabat. “Baru juga seminggu nggak ketemu.”Zelda melepaskan pelukannya. “Tapi rasanya lama banget.”“Heleh! Mentang-mentang ada Naina di sini kamu sekarang jadi sering datang,” sahut Oma Hira dari arah belakang Naina dan berjalan mendekat.Zelda beralih menghampiri Oma Hira lalu mencium kedua pipi neneknya. “Dulu juga aku sering ke sini kok, Oma.”Mereka bertiga berjalan menuju ruang tengah. Zelda memeluk lengan sang nenek dengan manja.Oma Hira menjitak kepala cucunya. “Sering apanya? Cuma satu sekali setiap lebaran.”“Ya, habisnya di sini sepi. Aku nggak temannya,” balas Zelda dengan bibir mengerucut.Oma Hira memasang wajah garang dan melepaskan tangan Zelda di lengannya. “Terus nenek tua ini kamu anggap apa? Pajangan? Barang antik?” sewotnya lantas duduk di sofa panjang sambil bersedek
“Bantu aku, ya, please.”“Oma setuju dengan Zelda.” Oma Hira yang sejak tadi hanya diam dan menyimak mulai angkat suara.Ia menatap Naina. “Terimalah tawarannya, Nak. Biar kamu ada kegiatan dan nggak jenuh di rumah. Nggak ada salahnya mencoba hal baru. Dicoba aja dulu, jangan bilang nggak bisa.”Zelda mengangguk setuju. “Tuh, Oma aja setuju denganku. Pemotretannya nggak setiap hari kok, paling foto dengan beberapa baju sama kalau launching produk baru.”“Dicoba dulu. Kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu boleh berhenti,” bujuknya tanpa menyerah.“Nah, betul itu.” Oma Hira tampak sumringah dan sangat antusias. “Kamu bisa sekalian mengembangkan skill kamu. Oma lihat kamu juga punya potensi untuk jadi modelling.”“Kamu itu punya bentuk badan yang sangat bagus, Nak. Tinggi, ideal, juga cara berjalanmu itu tampak elegan seperti sudah terlatih,” ungkapnya.Naina tersenyum malu sekaligus canggung ternyata sedetail itu Oma Hira memperhatikannya. “Oma terlalu berlebihan. Aku juga sama seperti pe
Zelda tidak langsung menjawab. Terlihat sekali dari raut wajahnya yang menahan rasa cemas dan gelisah. Perempuan itu menghela sejenak lantas mengangguk pelan. “Iya.”Deg! Untuk sejenak, jantung Naina terasa berhenti berdetak. Tubuhnya menegang kaku. Ia mengalihkan pandangannya ke arah depan dengan tatapan mata kosong.FreyaNama itu kembali terdengar di telinganya. Naina kembali teringat akan semua rasa sakit yang ditanggungnya apalagi kala mengingat kematian sang putra yang disebabkan oleh perempuan itu. Hatinya semakin teriris dan perih. Luka yang telah dibalut kini kembali berdarah. Dadanya sesak luar biasa. Udara di sekitarnya serasa menipis sehingga membuatnya sulit untuk bernapas. Mata cantiknya memburam tertutup oleh kabut air yang siap tumpah kapan saja.Ya Tuhan... dari sekian banyak orang yang berprofesi sebagai model, kenapa harus Freya? Orang yang telah menghadirkan penderitaan dalam hidupnya. Dan sekarang perempuan jahat itu menjadi model di butik Zelda.Entah apa tu
“Papa tumben pulang jam segini?” Bu Anita menyambut suaminya pulang dari kantor. Ia meraih tas kerja dari tangan Pak Daniel usai mencium tangan sang suami.“Tidak terlalu banyak pekerjaan di kantor, jadi bisa pulang cepat,” jawab Pak Daniel datar.“Dhafin mana? Nggak pulang bareng Papa?” tanya Bu Anita sambil melongok keluar rumah. Pasalnya, tadi pagi suami dan anaknya berangkat di mobil yang sama karena mobil Dhafin sedang diservis di bengkel. Namun, sekarang Pak Daniel malah datang sendirian.“Dari jam tiga tadi udah nggak ada di kantor. Entah kemana anak itu.” Pak Daniel melangkah memasuki ruang tamu lantas mendudukkan tubuhnya yang terasa sangat lelah di atas sofa.“Yaudah, biarin aja. Mungkin sedang ada urusan lain. Atau mungkin sedang kencan bersama Freya.” Bu Anita ikut duduk di samping suaminya setelah meletakkan tas kerja di meja. Wanita setengah baya itu mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah Pak Daniel. “Eh, Pa, udah tau berita ter-update belum?”“Berita yang ba
Azhar mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu lalu memeluk Lora erat. “Njang tanen Mama (Azhar kangen Mama).”Lora membalas pelukan Azhar tak kalah eratnya. “Mama juga kangen banget banget sama Azhar.”Wanita itu menciumi wajah putra kecilnya yang empat hari ini tidak ditemuinya. Setelah merasa puas, ia bangkit berdiri lantas mengernyit heran melihat ada mobil asing yang terparkir di pelataran rumah ini. “Itu mobil siapa? Ada tamu, ya?” tanyanya pada Zelda. Zelda mengangguk sebagai jawaban. “Kamu tau nggak siapa tamunya?”Lora menggeleng karena memang tidak tahu. Mobil itu juga tampak asing di matanya. “Memangnya siapa?”Tak lama setelah itu, Pak Raynald muncul dari dalam rumah. “Surprise!”“Om Raynald!” Lora berseru bahagia dengan mata berbinar-binar. Ia sama sekali tidak menyangka Pak Raynald akan mendatangi rumahnya lagi setelah sekian lama. Terakhir bertemu sepertinya satu bulan yang lalu.Pak Raynald berjalan menghampiri. “Hai, Lora,” sapanya. Lora mencium punggung tangan P
“Onty El, Dek Oya ma Mama mana?” Azhar bertanya kepada Zelda sambil celingukan ke arah luar pelataran rumah. Ia duduk di kursi teras dengan kaki yang digerak-gerakkan khas balita.Zelda yang duduk di kursi satunya samping Azhar menghela napas dan mengulas senyum. Ini sudah ke sekian kali Azhar menanyakan itu. “Masih dalam perjalanan, Sayang.”“Tok yama banet (Kok lama banget)?” Azhar mengerucutkan bibirnya hingga kedua pipinya menggembung tampak menggemaskan.“Perjalanannya jauh jadi lama,” jawab Zelda dengan sabarnya.“Kakak Azhar,” panggil Amina yang baru saja keluar rumah. Ia berjalan mendekati Azhar dan berlutut di dekat kaki bocah itu.“Bi Mah udah membuat cemilan kesukaan Kakak. Kita makan sama-sama, yuk, sambil menunggu Dek Zora,” ajaknya sembari mengelus kepala Azhar.Azhar menggeleng. “Njang mau nundu Dek Oya duyu. Anti matan macama (Azhar mau nunggu Dek Zora dulu. Nanti makan sama-sama).” “Oh... begitu. Oke, deh. Kita tunggu Dek Zora, ya,” balas Amina.Azhar menganggukka
Dhafin mengikuti langkah Lora sambil menoleh ke arah putrinya yang sudah turun dari gendongan Grissham. Di sana, Zora terlihat bahagia bermain bersama Grissham. Ia ingin sekali berada di posisi itu, tetapi dirinya harus bersabar.Sesampainya di luar, dua orang itu menempati kursi panjang di depan ruangan. Mereka duduk berdampingan dengan jarak satu kursi.Untuk beberapa menit, keduanya saling bungkam dan larut dalam pikiran masing-masing.Dhafin berhehem untuk memecah keheningan lantas menoleh ke samping. “Kau kemana aja?” “Aku nggak kemana-mana. Aku masih di sini, di kota ini. Hanya saja kamu yang nggak tau keberadaanku,” jawab Lora datar tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan seakan-akan ada objek yang menarik di sana.“Selama ini kau tinggal di mana?” tanya Dhafin lagi.Lora menatap Dhafin sejenak sebelum kembali memandang ke arah depan. “Kamu pastinya udah bisa menebak, bukan?”“Zelda?”Lora mengangguk tanpa memandang Dhafin. “Sejak keluar dari rumah sakit waktu itu, Zelda y
Dhafin masih terbungkam. Sungguh, ia tidak bermaksud menuduh seperti itu. Amarah yang belum sepenuhnya hilang terpancing kembali sehingga membuatnya kelepasan.Semua yang dilihatnya ini sangat mendukung tuduhan itu. Hatinya menjadi ragu, tetapi.... “Kamu juga mau bilang kalau Zora itu anak hasil perselingkuhan kami, iya?!” Lora berseru dengan suara lantang.“Lora!” tegur semua orang yang berada di sini. Mereka merasa ucapan Lora sudah keterlaluan apalagi didengar oleh Zora.Lora memandang satu-persatu para orang di ruangan ini dan berakhir menatap Dhafin. Ia maju selangkah lagi. “Kau bisa tes DNA untuk membuktikan kalau Zora benar-benar putrimu.”“Oke! Aku akan tes DNA,” balas Dhafin datar setelah beberapa saat terdiam.Lora melebarkan matanya tidak percaya. Ia pikir Dhafin akan menolak karena sudah yakin bahwa Zora benar-benar putrinya. Dirinya bilang begitu untuk menantang sekaligus mengetes Dhafin. Namun ternyata…. Ia tertawa sarkas. “Gila kamu! Itu artinya kamu meragukan putrimu
Lora menyingkir untuk memberikan ruang pada Grissham mendekati Zora. Ia berjalan menghampiri Dhafin dan memilih berdiri di samping pria itu.Ada rasa khawatir sekaligus tidak enak dengan Dhafin yang melihat putrinya memanggil Grissham dengan sebutan ayah. Namun, dirinya tidak bisa mengontrol ucapan Zora karena masih kecil dan belum mengerti apa-apa.Lora juga tidak menyangka Grissham tiba di sini dalam waktu cepat pada saat masih ada Dhafin. Ia tidak tahu apakah ini akan menimbulkan musibah atau tidak.Akan tetapi, Lora merasa akan ada sesuatu yang terjadi setelah ini.“Ayah…” panggil Zora dengan sangat antusias. “Halo, Zora cantik.” Grissham tersenyum manis sambil melambaikan tangan kecil. Ia memeluk sebentar tubuh mungil Zora lalu memberikan ciuman di kening.“Zora bangun tidur, ya?” tanyanya saat melihat rambut kecoklatan sebahu milik Zora berantakan. Ia merapikannya dengan menyelipkan beberapa helai di belakang daun telinga.Laki-laki itu menelisik wajah Zora terutama bagian mat
Lora menegakkan tubuhnya dan menatap Dhafin sengit. “Kenapa memangnya?! Mau bilang kalau aku bukan ibu yang baik? Ibu yang nggak becus jaga anaknya sampai bisa sakit? Iya?!”“Aku nggak bilang seperti itu,” balas Dhafin dengan santai.“Iya, tapi kamu pasti akan menuduhku kan? Seperti dulu, kamu yang selalu menyalahkanku atas apa yang terjadi sama Altair tanpa mau mendengar penjelasanku.”“Suudzon mulu.”“Bukan suudzon, tapi memang fakta!”Dhafin memilih diam tanpa membalas perkataan Lora lagi. Jika diteruskan, pasti akan merembet kemana-mana yang berujung mengungkit kesalahannya di masa lalu.Bukan tidak ingin mengakui kesalahan, tetapi bila diungkit terus-menerus membuatnya semakin merasa bersalah dan merutuki kebodohannya dulu.“Zora, putri Papa tidurnya nyenyak sekali. Kapan bangun, Sayang? Papa ingin memeluk dan mengajak Zora bermain,” ucapnya dengan tangan yang masih setia mengusap kepala Zora.Pria itu mengamati putrinya dengan seksama. Ia mengerutkan kening ketika menyadari sesu
Lora menarik kasar tangannya dari genggaman Dhafin. Wajah yang selalu menampilkan ekspresi datar itu tampak memelas dan sendu. Ada sorot mata penyesalan dalam mata tajam milik mantan suaminya.Ia tidak tahu apakah semua itu dari dalam lubuk hati atau hanya pura-pura agar keinginannya tercapai. Namun, yang pasti dirinya tidak akan mudah tertipu oleh sikap Dhafin yang kadang berubah-ubah.“Lebih baik sekarang kamu pulang, Mas,” ucapnya seraya memalingkan wajah.“Lora… tolong.” Dhafin tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Lora. Wanita itu sangat keras kepala yang tidak mudah digoyahkan.“Apa sebegitu fatalkah kesalahanku sampai-sampai kamu nggak memberiku kesempatan?” tanyanya.“Sudahlah, Mas, mending pulang aja.” Lora masih berpaling muka untuk menyembunyikan air mata yang mulai luruh. Ia pun mengusapnya supaya tidak ketahuan.Dhafin menghela napas panjang untuk mengisi stok kesabarannya. “Lora, aku punya hak atas anakku. Kau tak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan a
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h