Zelda tidak langsung menjawab. Terlihat sekali dari raut wajahnya yang menahan rasa cemas dan gelisah. Perempuan itu menghela sejenak lantas mengangguk pelan. “Iya.”Deg! Untuk sejenak, jantung Naina terasa berhenti berdetak. Tubuhnya menegang kaku. Ia mengalihkan pandangannya ke arah depan dengan tatapan mata kosong.FreyaNama itu kembali terdengar di telinganya. Naina kembali teringat akan semua rasa sakit yang ditanggungnya apalagi kala mengingat kematian sang putra yang disebabkan oleh perempuan itu. Hatinya semakin teriris dan perih. Luka yang telah dibalut kini kembali berdarah. Dadanya sesak luar biasa. Udara di sekitarnya serasa menipis sehingga membuatnya sulit untuk bernapas. Mata cantiknya memburam tertutup oleh kabut air yang siap tumpah kapan saja.Ya Tuhan... dari sekian banyak orang yang berprofesi sebagai model, kenapa harus Freya? Orang yang telah menghadirkan penderitaan dalam hidupnya. Dan sekarang perempuan jahat itu menjadi model di butik Zelda.Entah apa tu
Zelda menatap ke arah Oma sejenak lantas beralih memandang ke arah lain. “Waktu itu aku masih punya satu model yang kukira akan tetap bertahan.”“Sayangnya, dia memilih resign karena hamil dan dilarang suaminya menjadi model lagi. Di hari yang sama Freya datang menawarkan kerja sama lalu seperti yang udah kuceritakan tadi.”Ia menghela napas berat lantas menunduk. “Aku didesak Papa untuk segera memberikan keputusan, Mama juga memberikan dukungan. Jadi, terpaksa aku menerimanya.”Oma Hira berdecak. “Aish! Memang dasar si Antonio Starward itu. Nggak pengertian sekali dengan keinginan anak.”Ia mengusap lengan Zelda. “Yaudah, nggak papa. Di sini kamu harus pintar-pintarnya memanfaatkan dia untuk memperoleh keuntungan besar.”Zelda mengangguk. “Iya, Oma, aku juga udah punya rencana seperti itu.”“Selain memanfaatkannya untuk kepentingan butik, kamu bisa gunakan untuk menyelidiki kasus kematian anaknya Naina. Bukan begitu, Naina?” Oma Hira menoleh ke arah Naina.Naina tersenyum dan mengang
Dhafin keluar dari mobil hitam miliknya setelah parkir di tempat yang tersedia. Tatapannya langsung tertuju pada gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia merapikan jas mahalnya sejenak, lalu melangkah masuk. “Selamat siang, Bapak, ada yang bisa kami bantu?”Dhafin menatap resepsionis di hadapannya dengan ekspresi datar. “Saya ingin bertemu dengan Bapak Bagas Angga Wijaya.”“Apakah sudah membuat janji?” tanya sang resepsionis.Dhafin menggeleng. “Tolong, sampaikan kepada beliau kalau saya, Dhafin Manggala Wirabuana ingin bertemu.”Resepsionis tersenyum ramah. “Baik, Pak. Mohon ditunggu lebih dahulu.”Dhafin melihat resepsionis itu yang sedang menelepon seseorang. Ia menunggu sambil memasukkan tangannya di dalam saku.Siang ini, Dhafin berniat untuk menemui pengacara yang telah ditunjuk Naina. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan kepadanya. Ia baru bisa datang hari ini karena disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk.Beberapa saat kemudian, seorang pria yang pernah datang ke r
Deg! Dhafin tersentak. Ia merasa tidak asing dengan kata-kata itu seperti pernah mengucapkannya. Ia berpikir keras hingga sebuah bayangan ketika hari dimana Altair meninggal terlintas. Waktu itu Dhafin berada di kamarnya. Ia merasa sangat sedih dan terpuruk. Rasa bersalah menggerogoti hatinya ketika mengingat sikapnya yang mengabaikan Altair.Tak lama, Naina datang masih dengan pakaian serba putih sehabis dari makam. Wanita itu duduk di pinggir kasur samping Dhafin.“Mas, kamu percaya kan sama aku? Aku nggak mungkin membunuh putraku sendiri. Aku sangat menyayangi Altair.”Diingatkan seperti itu membuat Dhafin geram. Ia menoleh ke arah Naina dengan tatapan menghunus tajam. “Buktinya putraku meninggal gara-gara kamu!”“Mas, bukan aku yang membunuh Altair. Aku nggak mencampurkan apapun dalam makanannya. Tolong, percaya padaku, Mas,” balas Naina seraya menggenggam erat tangan Dhafin.Dhafin langsung menghempaskan tangan Naina dengan kasar. Ia beranjak berdiri masih dengan tatapan nyalan
Dhafin terdiam sejenak. “Terus?” tanyanya datar.“Ya, aku bilang kamu ada urusan penting di luar. Habis itu udah, dia langsung pergi. Katanya ada pemotretan di butik LaCia Boutique. Bukannya itu butiknya Zelda, ya?”Dhafin sedikit mengernyitkan keningnya. “Dia bekerja di sana?” tanyanya lebih untuk dirinya sendiri.“Lah, kok malah tanya saya? Anda pacarnya, masa nggak tau pacarnya kerja dimana?” balas Arvan terdengar sarkas.Dhafin menghela napas panjang. Akhir-akhir ini, ia memang tidak terlalu memperhatikan Freya. “Biarkan saja.”“Tumben sekali. Nggak berniat mencari tau gitu kenapa Freya kerja di butik Zelda?”“Nanti. Aku tutup.”Setelah mengatakan itu, Dhafin memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu respon sahabatnya. Ia lantas melajukan mobilnya dengan cepat menuju suatu tempat untuk menenangkan diri. Pikiran dan perasaannya sedang kacau sekarang sehingga tidak memungkinkan untuk dipaksa bekerja. Masalah Freya yang bekerja di butik Zelda, ia pikirkan belakangan.Villa pribadi
“Naina....”Dhafin menajamkan penglihatannya untuk memastikan bahwa wanita itu benar-benar Naina. Matanya sampai menyipit agar bisa melihat lebih jelas dua orang itu. Arah tatapannya mengikuti mereka yang tampak melangkah menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Sayangnya, ada beberapa kendaraan yang melaju dari arah berlawanan menghalangi pandangannya.Saat semua kendaraan telah lewat, orang yang Dhafin lihat sebagai Naina sudah tidak ada. Begitu pula dengan keberadaan mobil hitam itu. Ia celingukan mencari keberadaan mereka.Dhafin bahkan hendak menurunkan kaca mobil di samping kanannya. Namun, urung ketika suara klakson dari arah belakang terus-menerus dibunyikan dan mendesaknya untuk segera melaju karena lampu telah berubah warna menjadi hijau.Pria itu berdecak kesal lantas kembali melajukan mobilnya. Ia memikirkan kejadian barusan. Apakah benar wanita itu adalah Naina?Jarak yang cukup jauh membuatnya tidak bisa melihat jelas wajah wanita itu. Jika dilihat dari pos
Dhafin tidak mampu berkutik. Pilihan yang diberikan oleh orang tuanya sangat sulit. Ia tidak bisa memilih salah satu yang sama sekali tidak menguntungkan untuknya. Dan kenapa pula mereka kembali melibatkan Naina? Dhafin menatap kedua orang tuanya bergantian. “Mama sama Papa nggak bisa mengancamku seperti itu.”“Aku bukan anak kecil lagi yang ketika diancam langsung takut dan nurut. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri,” balasnya dengan nada datar.“Dan kamu memilih jalan untuk tetap bersama Naina?” serobot Bu Anita langsung.“Iya! Itu udah menjadi pilihanku, Ma,” jawab Dhafin tegas.Ia beralih menatap ayahnya lekat-lekat. “Kenapa Papa kembali membawa-bawa Naina? Bukannya Papa nggak ingin melibatkan pihak kepolisian?”Pak Daniel tersenyum miring. “Kamu pikir Papa nggak tau kalau selama ini kamu diam-diam mencari keberadaan Naina?”Dhafin terbungkam. Sebelumnya ia sudah mewanti-wanti pada orang suruhannya untuk merahasiakan pencarian ini dari keluarganya. Itu berarti ada yang m
Dhafin menoleh sedikit terkejut. “Naina sering ke sini?”Bi Asih mengangguk. “Iya, Den. Di lingkungan sini banyak anak-anak seumuran Dek Altair, makanya Non Naina cukup sering mengajak main Dek Altair ke sini.”“Dek Altair juga senang banget dapat teman banyak. Kadang juga ke sini sama sahabatnya yang punya butik terkenal itu loh, Den,” jelasnya.Dhafin tahu, lingkungan di kompleks perumahan ini sangat bagus. Semua rumah tidak memiliki pagar sehingga memudahkan warganya bersosialisasi satu sama lain.Tidak heran jika Altair akan betah bermain di sini bersama anak-anak lainnya. Itulah kenapa ia memilih rumah ini sebagai hunian untuk keluarga kecilnya.Akan tetapi, sungguh, Dhafin tidak tahu menahu tentang Naina yang sering ke sini. Wanita itu tidak pernah cerita sama sekali. Jangankan cerita, ia saja enggan mengobrol banyak dengan Naina. Istrinya memang sering izin keluar rumah, tetapi ia tidak bertanya mau kemana. Lagi pula tidak penting.“Menginap juga?” tanyanya.Bi Asih menggeleng