Dhafin menoleh sedikit terkejut. “Naina sering ke sini?”Bi Asih mengangguk. “Iya, Den. Di lingkungan sini banyak anak-anak seumuran Dek Altair, makanya Non Naina cukup sering mengajak main Dek Altair ke sini.”“Dek Altair juga senang banget dapat teman banyak. Kadang juga ke sini sama sahabatnya yang punya butik terkenal itu loh, Den,” jelasnya.Dhafin tahu, lingkungan di kompleks perumahan ini sangat bagus. Semua rumah tidak memiliki pagar sehingga memudahkan warganya bersosialisasi satu sama lain.Tidak heran jika Altair akan betah bermain di sini bersama anak-anak lainnya. Itulah kenapa ia memilih rumah ini sebagai hunian untuk keluarga kecilnya.Akan tetapi, sungguh, Dhafin tidak tahu menahu tentang Naina yang sering ke sini. Wanita itu tidak pernah cerita sama sekali. Jangankan cerita, ia saja enggan mengobrol banyak dengan Naina. Istrinya memang sering izin keluar rumah, tetapi ia tidak bertanya mau kemana. Lagi pula tidak penting.“Menginap juga?” tanyanya.Bi Asih menggeleng
“Jadi, pelakunya diantara kalian para pelayan?”Bi Lastri menggelengkan kepalanya pelan. “Saya tidak tahu, Den, dan saya juga tidak mau suudzon.”“Mungkin iya ada diantara kami, tapi bisa jadi dari orang lain yang tidak menyukai Non Naina,” ucapnya.Dhafin menyandarkan tubuhnya di kursi. Penjelasan Bi Lastri memang masuk akal. “Kenapa Bibi baru mengatakannya sekarang? Di saat saya dengan Naina diambang perpisahan?” tanyanya sedikit protes.Bi Lastri tampak gugup. “Ma-maaf, Den, saya tidak berani. Saya takut Den Dhafin tidak mempercayai ucapan saya.”“Waktu itu juga Den Dhafin lagi emosi, jadi akan percuma kalau saya menjelaskan seperti ini,” jawabnya.Dhafin menghela napas. “Naina sudah pergi entah dimana dan bahkan sudah mengajukan perceraian, Bi. Andai dari awal Bibi memberitahu, pasti saya akan mencegah kepergiannya.”“Maaf, Den.”Dhafin tidak serta merta langsung percaya begitu saja dengan ucapan Bi Lastri malam itu. Ia pun mengeceknya melalui CCTV yang terpasang di dapur pada de
“Silakan tanda tangan di sini, Bu.” Oma Hira mengikuti intruksi pengacara keluarga Starward untuk menandatangani surat pemindahan aset atas namanya. Siang ini, Oma Hira bersama Tuan Albern datang ke restoran yang pernah dilihatnya di postingan media sosial. Restoran itu sudah dibeli oleh Tuan Albern beberapa hari yang lalu atas nama Oma Hira berikut dengan tanah di sekitarnya.Masalah surat-surat berharga untuk pengalihan kepemilikan, pengacara yang mengurus semuanya. Oma Hira tinggal terima beres saja dan hari ini dilakukan penandatanganan secara resmi sekalian melihat langsung keadaan restoran.“Nama baru untuk restoran ini belum ada, ya, jadi nanti bakal menyusul.” Sang pengacara membereskan semua berkas yang sudah ditandatangani oleh Oma Hira.Oma Hira mengangguk seraya tersenyum. “Iya, terima kasih atas bantuannya.”“Sudah menjadi tugas saya, Bu Mahira.”Setelah itu, sang pengacara langsung pamit karena sudah menyelesaikan tugasnya.“Pak Albern dan Bu Mahira, apakah ingin mel
“Berapa lama renovasi restoran sampai bisa beroperasi?” tanya Oma Hira menatap Tuan Albern yang sedang menyetir di sampingnya.“Tergantung berapa persen area yang direnovasi. Melihat kondisinya tadi, sepertinya cukup banyak,” jawab Tuan Albern dengan tatapan mata yang fokus pada jalanan.“Ibu minta jangan lama-lama. Kalau bisa, tidak lebih dari satu bulan. Keburu Naina melahirkan nanti.”Tuan Albern melirik ibunya sekilas. “Kenapa sih Ibu sangat ngotot ingin mempunyai bisnis restoran ini?” tanyanya. Ia sangat yakin pasti ada maksud dibaliknya.Oma Hira tersenyum misterius. “Ada deh. Nanti kamu juga bakalan tahu sendiri.”Tuan Albern mendengus kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Meskipun begitu, ia sudah menduga rencana Oma Hira ke depannya untuk restoran itu.Pukul lima sore mobil mereka yang mereka tumpangi berhenti di pekarangan depan rumah bersamaan dengan sebuah mobil hitam yang juga ikut berhenti. Oma Hira melihat Naina yang turun dari mobil hitam bersama deng
“Namamu susah. Aku memanggilmu Lora saja, ya.” “Hai, Lora.” “Lora.” “Selamat pagi, Lora.” “Hai, Lora, mau bareng sekalian? Hari ini aku membawa mobil.” “Lora, pulang bareng, yuk!” “Aku mencintamu, Lora, sangat.” “Naina!” Panggilan disertai tepukan cukup keras di pahanya menyadarkan Naina dari lamunan masa lalunya. Ia menatap Zelda dengan sebelah alis terangkat. “Hm?” “Gimana? Kamu mau nggak nama Lora dijadikan nama panggungmu?” Naina berpikir sejenak. “Boleh.” Toh, nama itu juga terdengar asing. Tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali si Dia. Bahkan sahabatnya sendiri pun tidak mengetahuinya. Hanya si Dia yang memanggilnya seperti itu. Dulu, orang itu selalu mengejarnya secara terang-terangan dan memberikan perhatian lebih. Naina tidak ingin terlalu berharap karena sadar diri yang hanya seorang anak pembantu. Hingga pada suatu ketika, orang itu menyatakan perasaannya. Namun, ia tolak karena tidak ingin menjadi orang ketiga. Sejak itu, si Dia tak pernah lagi menampakkan
Zelda melunturkan senyumnya melihat respon Naina yang diluar ekspektasinya. “Kamu nggak senang?” Naina menggeleng ribut. “Nggak nggak, bukan gitu. Aku cuma khawatir Freya akan mencari tahu tentang Lora karena merasa tersaingi.” “Aku mengenal karakter Freya yang nggak mau kalah apalagi dalam bidang permodelan, hal yang menjadi impiannya dari dulu,” ungkapnya. Zelda menggenggam tangan Naina seraya tersenyum menenangkan. “Semua data pribadi tentang Lora aman terkendali. Freya nggak akan mampu menjangkau kita. Aku udah mengantisipasi semuanya, Nai.” Naina menghela napas berat dan menunduk. “Aku cuma belum siap kalau harus bertemu dengan Freya. Ya, paling nggak setelah aku melahirkan.” Zelda ingin membalas, tetapi urung ketika ponselnya berdering nyaring. Tanpa meninggalkan tempat, ia mengangkat telepon itu. Naina sempat melihat nama kontak dan nomor ponsel yang bukan dari berasal negara ini di ponsel Zelda. Kontak itu tertulis…. Kak Grisham My Lovely Cousin😘 ‘Oh, dari sepupunya,’
“Waw…. ini bagus banget, Bu.”Sinta yang baru saja masuk ke dalam ruangan langsung dibuat kagum saat melihat hasil rancangan Zelda yang sudah jadi dan dipajang di manekin tanpa kepala.“Bagaimana menurutmu?” tanya Zelda meminta pendapat.“Seperti biasa, baju rancangan Bu Zelda selalu menakjubkan.” Sinta mengacungkan dua jempol.Zelda tersenyum dengan tatapan tak pernah lepas dari sebuah gamis yang sudah dirancangnya beberapa hari ini. Setelah melalui banyak pertimbangan sebelum eksekusi, akhirnya produk ini menjadi nyata. Ia merasa puas dengan hasil karyanya.“Makasih atas penilaiannya, Sinta.” Zelda lantas menepuk-nepuk tempat kosong di sisinya dan meminta Sinta untuk duduk.“Sama-sama, Bu.” Sinta tersenyum dan duduk di samping ibu bosnya. Ia ikut menatap produk baru itu. Zelda menyandarkan tubuhnya masih dengan senyum yang mengembang. “Jujur, saya tidak menyangka sekali berhasil menciptakan sebuah produk yang berbeda dari biasanya.”“Meski sudah pernah ada sebelumnya, tapi gamis i
Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas, mereka pun turun.“Ayo, Freya. Ngapain aja sih?” Zelda yang berjalan duluan menoleh ke belakang dengan kesal karena Freya jalannya sangat lelet.“Iya ya, sabar.” Freya berjalan lebih cepat dan menyamai langkah Zelda.Keduanya menempati meja di bagian tengah-tengah karena hanya itu yang kosong tanpa bergabung dengan pengunjung lain. Sambil menunggu pesanan, Freya terus berusaha mengakrabkan diri dengan Zelda meski ditanggapi dengan acuh tak acuh. Ia juga masih melanjutkan sesi curhatnya tentang Dhafin.“Aku nggak mengerti kenapa tiba-tiba Dhafin berubah. Padahal sebentar lagi kami akan tunangan loh,” ucapnya.Zelda yang awalnya sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan Freya kini menatap Freya intens. Ia sekalian ingin mengorek informasi. “Emang jadi tunangan?”“Jadi dong. Cuma diundur aja sih waktunya.”“Kapan emang?”“Bulan depan tepat setelah seratus harinya Altair,” jawab Freya tanpa beban, “nanti aku undang kamu. Kamu harus datang, y