“Waw…. ini bagus banget, Bu.”Sinta yang baru saja masuk ke dalam ruangan langsung dibuat kagum saat melihat hasil rancangan Zelda yang sudah jadi dan dipajang di manekin tanpa kepala.“Bagaimana menurutmu?” tanya Zelda meminta pendapat.“Seperti biasa, baju rancangan Bu Zelda selalu menakjubkan.” Sinta mengacungkan dua jempol.Zelda tersenyum dengan tatapan tak pernah lepas dari sebuah gamis yang sudah dirancangnya beberapa hari ini. Setelah melalui banyak pertimbangan sebelum eksekusi, akhirnya produk ini menjadi nyata. Ia merasa puas dengan hasil karyanya.“Makasih atas penilaiannya, Sinta.” Zelda lantas menepuk-nepuk tempat kosong di sisinya dan meminta Sinta untuk duduk.“Sama-sama, Bu.” Sinta tersenyum dan duduk di samping ibu bosnya. Ia ikut menatap produk baru itu. Zelda menyandarkan tubuhnya masih dengan senyum yang mengembang. “Jujur, saya tidak menyangka sekali berhasil menciptakan sebuah produk yang berbeda dari biasanya.”“Meski sudah pernah ada sebelumnya, tapi gamis i
Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas, mereka pun turun.“Ayo, Freya. Ngapain aja sih?” Zelda yang berjalan duluan menoleh ke belakang dengan kesal karena Freya jalannya sangat lelet.“Iya ya, sabar.” Freya berjalan lebih cepat dan menyamai langkah Zelda.Keduanya menempati meja di bagian tengah-tengah karena hanya itu yang kosong tanpa bergabung dengan pengunjung lain. Sambil menunggu pesanan, Freya terus berusaha mengakrabkan diri dengan Zelda meski ditanggapi dengan acuh tak acuh. Ia juga masih melanjutkan sesi curhatnya tentang Dhafin.“Aku nggak mengerti kenapa tiba-tiba Dhafin berubah. Padahal sebentar lagi kami akan tunangan loh,” ucapnya.Zelda yang awalnya sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan Freya kini menatap Freya intens. Ia sekalian ingin mengorek informasi. “Emang jadi tunangan?”“Jadi dong. Cuma diundur aja sih waktunya.”“Kapan emang?”“Bulan depan tepat setelah seratus harinya Altair,” jawab Freya tanpa beban, “nanti aku undang kamu. Kamu harus datang, y
Zelda bungkam. Ia jadi teringat saat Naina pertama kali menginjakkan kaki di rumah neneknya. “Anggaplah sebagai simbiosis mutualisme. Kita saling memanfaatkan.”Perkataan pamannya waktu itu kembali terngiang. Sang paman bersedia menolong Naina dengan syarat Naina harus bersedia menemani neneknya.Namun, siapa sangka hidup Naina jauh lebih enak, nyaman, dan terarah. Oma Hira terlihat sangat menyayangi Naina layaknya cucu sendiri.Zelda kembali menatap Freya dingin. “Tapi bukan berarti kamu nggak berhak bicara yang enggak-enggak tentang Naina apalagi di hadapanku.”Freya ingin membalas lagi, tetapi tidak jadi ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Keduanya pun menikmati makan siang dengan hikmat dan melupakan perdebatan tadi.“Btw, aku baru ingat kalau aku belum memesan gaun atau kebaya untuk acara pertunanganku,” ujar Freya di sela-sela makannya.Zelda melirik sekilas. Ia masih gondok dengan Freya meski tak separah tadi. “Tinggal satu bulan loh,” balasnya datar.“Makanya itu,
“Maafkan aku, Ma. Aku janji akan mengambilnya lusa nanti.” Zelda meletakkan sesuatu di jok belakang mobil putih milik ibunya. Ia memastikan sekali lagi barang itu tidak terlihat dengan mudah. Setelah semuanya selesai, ia menutup pintu mobil. “Zelda?” Sontak, Zelda langsung berbalik badan. “Eh, Ma-mama,” katanya gugup, takut ketahuan. Apakah sang ibu melihat aksinya? Semoga saja tidak. “Kamu pulang? Katanya mau ke rumah Oma.” Bu Kayla berjalan mendekat hingga berhadapan dengan Zelda. “Habis ini mau berangkat, Ma,” jawab Zelda yang sudah lebih tenang. “Kamu habis ngapain di samping mobil Mama?” Bu Kayla tampak memicingkan mata menatap Zelda curiga. Masalahnya Zelda berdiri didekat pintu bagian kanan, sedangkan mobilnya ada di sisi kiri mobil Bu Kayla. “Ini, Ma. Zelda mengambil barang yang ketinggalan di mobil Mama.” Zelda menunjukkan barang yang dimaksud di hadapan ibunya. “Kemarin kan belum sempat mengambilnya waktu habis pinjam,” lanjutnya disertai cengiran. Bu Kayla meng
“Hai, Zelda. Udah lama sampainya?” Naina tiba di ruang tengah. Ia bercipika-cipiki dan memeluk sahabatnya sejenak.“Baru aja sampai kok.” Zelda merangkul Naina untuk duduk di sofa. Ia mengalihkan perhatiannya pada perut Naina.“Hallo, dedek twins, keponakan Aunty. Aunty datang nih. Kalian senang nggak?” sapanya seraya mengusap perut Naina.Naina merasakan calon anaknya menendang kecil seakan-akan merespon sapaan Zelda.“Nai….” Zelda menatap Naina dengan mata membulat terkejut. “Mereka nendang?”Naina mengangguk dan ikut mengusap perutnya. “Mulai aktif mereka. Gerakannya juga udah mulai terasa.”Zelda tersenyum senang lalu menempelkan telinganya pada perut Naina. “Ayo, dong, kalian nendang lagi.”Naina menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Zelda. “Btw, tadi kamu lunch bareng Freya, ya? Aku lihat di story-nya dia.”Zelda tampak berdecak kesal dan menegakkan tubuhnya. “Emang benar-benar, ya, tuh cewek. Bisa banget mencari kesempatan.”Ia menoleh ke arah Naina, tersenyum jahil. “Ce
Naina tersenyum malu-malu tidak menduga dengan respon mereka padahal ia sendiri merasa tidak percaya diri. “Mungkin efek bajunya yang cantik,” balasnya merendah.“Pada dasarnya kamu memang cantik, Nai, jadi dipakaikan apapun tetap cantik. Benar nggak, Mbak?” tanya Zelda ke tim MUA meminta persetujuan yang balas anggukan oleh mereka.Penampilan Naina sangat cantik dan anggun dengan balutan gamis beserta kerudung yang menutupi rambut. Kulitnya yang putih bersih sangat cocok dengan warna gamis sehingga membuatnya lebih bercahaya.“Coba cadarnya dipakai sekalian,” pinta Oma Hira. “Haruskah?” tanya Naina ragu. Ia saja belum terbiasa memakai kerudung. Ini malah diminta memakai cadar yang menurutnya sudah berada di level tertinggi.“Harus dong. Katanya nggak pengen mukanya terlihat. Jadi, harus ditutup dengan cadar. Cuma pemotretan aja kok,” sahut Zelda.Naina menghembuskan napasnya. “Baiklah.”MUA yang bertugas di bagian kerudung pun memakaikan cadar dengan warna senada pada wajah Naina.
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Oma?”“Ada deh. Nanti juga kamu tau sendiri.”Itu adalah pertanyaan yang ke sekian kali Naina tanyakan kepada Oma Hira. Namun, jawaban yang diberikan sangat tidak jelas membuatnya semakin penasaran. Hingga akhirnya, Naina menyerah dan memilih menatap jalanan lewat jendela kaca samping mobil. Tangannya sesekali mengusap perut saat merasakan tendangan dari sang janin.Hari ini, Naina memakai atasan long tunik bercorak bunga-bunga warna merah bata dengan kombinasi warna krem. Bawahannya ia mengenakan celana kulot longgar warna coklat. Tak lupa kerudung segi empat dengan model simpel menutupi rambut panjangnya. Ya, Naina sudah memutuskan untuk berhijab setelah melalui banyak pertimbangan. Ia sudah sangat mantap tanpa ada keraguan sedikitpun.Bukan pula karena paksaan dari Oma Hira, melainkan memang dari hatinya sendiri yang menginginkan itu.Mungkin ini adalah jalan yang Allah tunjukkan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Naina ak
Naina mengangguk antusias mendapatkan tawaran yang menakjubkan. “Aku mau, Oma.” Oma Hira tersenyum misterius. “Anggaplah restoran ini milikmu sendiri. Jangan sungkan.”Naina membalas senyuman Oma Hira. “Kapan kira-kira restoran ini akan mulai dibuka, Oma?”“Rencananya nanti sore akan dilakukan grand opening dengan makanan gratis sebagai promo. Jadi, hari ini kita menyiapkan bahan baku sekaligus memasak bumbu untuk acara nanti sore.”Naina manggut-manggut paham. Pantesan, ia melihat semua karyawan pada sibuk.“Keluar, yuk. Oma akan mengenalkanmu ke semua karyawan yang bekerja di sini,” ajak Oma Hira kemudian bangkit dari duduknya.Naina mengikuti langkah Oma Hira keluar ruangan tanpa menggunakan masker. Ia pikir tidak masalah menunjukkan wajah di hadapan karyawan yang nantinya akan bertemu setiap hari.“Selamat pagi semuanya. Perkenalkan ini Lora. Dia yang akan mengelola segala urusan dalam restoran ini,” kata Oma Hira mengenalkan Naina kepada seluruh karyawan yang sudah berkumpul sem
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru
"Apa kamu mau rujuk kembali dengan Dhafin?" Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya walaupun sudah lewat beberapa hari. Lora tidak memberikan jawaban apapun. Ia sendiri bingung bagaimana menyikapinya. Ini terlalu mendadak untuknya. Permintaan maaf dari sang mantan mertua saja sudah membuatnya tercengang apalagi ditambah dengan tawaran itu. Atau mungkin bisa disebut sebagai lamaran? Mengingat Bu Anita sendiri yang mengutarakan hal tersebut. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang, Nak. Dipikirkan dulu matang-matang. Kami nggak akan memaksa," ujar ibunya Dhafin waktu itu. Bu Anita dan yang lainnya memang tidak menuntut jawaban detik itu juga. Namun, tetap saja mereka pasti menunggu jawaban darinya. Ia bisa melihat ada harapan besar yang terpancar di wajah mereka khususnya bagi Dhafin. Rasanya jadi tidak enak bila memberikan jawaban yang mengecewakan.RujukSatu kata yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Sekarang Dhafin sendiri yang menginginkan r
Bu Anita memandang ke arah bawah, tidak berani menatap Lora. Dirinya merasa bersalah pernah menuduh wanita itu selingkuh. Ia sebenarnya tidak ingin membahas hal ini yang malah membuat Lora sulit memaafkannya. Namun, Dhafin sendiri yang malah memancing sehingga mau tak mau mereka harus menjelaskan semuanya. “Maafkan Mama, Lora. Waktu itu Mama terpengaruh dengan perkataan Freya.”Lora mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin. Freya sudah benar-benar kelewatan dengan membuat tuduhan tak bermutu. Bukan hanya dirinya yang kena, tetapi juga menyangkut putrinya. Tuduhan itu pastinya membuat orang tua Dhafin ikut membenci Zora karena dikira bukan cucu kandung mereka. Jelas, Lora tidak terima!Wanita itu memejamkan mata sejenak berusaha menekan emosinya kuat-kuat lalu kembali menatap serius orang tua Dhafin. “Ma, Pa, aku sama sekali nggak pernah selingkuh sama siapapun. Dengan segala sikapnya Mas Dhafin kepadaku, aku nggak berniat menduakan dan me
“Lora.”Dhafin yang sejak tadi terdiam dan hanya menyimak mulai angkat suara membuat wanita itu menoleh ke arahnya. Ia cukup mengerti dengan sikap Lora yang tampak sulit memaafkan karena takut ada maksud lain dibaliknya.“Mama sama Papa benar-benar ingin minta maaf sama kamu. Nggak ada maksud lain seperti yang kamu takutkan, murni minta maaf. Kau tau, Lora? Mereka yang berinisiatif sendiri dan mengajakku kemari.”“Mereka sangat ingin memperbaiki kesalahan dengan diberi kesempatan untuk berubah, sama seperti kamu yang memberikanku kesempatan,” ucapnya bermaksud membantu orang tuanya. Lora tahu itu dan juga bisa merasakan ketulusan mereka tanpa dibuat-buat. Ia menghela napasnya dengan bibir mengulas senyuman.Tangannya balik menggenggam tangan Bu Anita dan mengusap lembut. “Pak, Bu, bukannya saya tidak mau memaafkan kalian. Tapi saya ini hanya manusia biasa yang punya hati.”“Luka yang saya alami masih sangat membekas dan membuat saya sulit untuk percaya kembali.”“Meski begitu, saya