“Kamu datang ke sini kok nggak ngabari dulu sih, Zel?” Naina mengambil tempat duduk di hadapan Zelda setelah dari ruang kerjanya. Zelda menyengir menampakkan giginya yang rapi. “Aku sengaja ngasih kejutan buat kamu. Aku juga tadi habis bertemu klien di daerah sekitar sini jadi sekalian mampir.” Naina manggut-manggut paham. Ia sudah menebak kalau Zelda pasti ada urusan lebih dulu sebelum datang ke sini karena bukan weekend. “Kamu mau pesan apa? Aku akan membuatkannya untukmu,” tawarnya. Zelda menahan tangan Naina, mencegah agar tidak beranjak. “No no no! Kamu duduk aja di sini temani aku.” Naina mengangguk lantas memanggil salah satu karyawannya. Zelda mulai menyebutkan pesanannya. “Kamu nggak pesan, Lora?” “Aku sudah makan tadi tepat sehabis sholat Dzuhur,” jawab Naina kemudian beralih menatap karyawannya. “Aku pesan jus apel aja deh. Terima kasih.” Karyawan itu mencatat lalu membacakan ulang pesanan agar tidak terjadi kesalahan. Setelahnya, ia pamit undur diri. “Ramai bang
Naina dilanda gugup luar biasa. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Jemarinya semakin meremas kuat-kuat gamisnya. Dadanya naik-turun menahan segala perasaan yang membuncah. Naina bisa saja melanjutkan langkahnya dan melewati Dhafin begitu saja. Namun, entah kenapa kakinya terasa sulit gerakkan seolah ada sesuatu yang manahan kakinya. Suasana berubah tegang. Kedua mata yang masih setia menatap ke bawah itu sampai berkaca-kaca. Ia tidak tahu sampai kapan dirinya akan terjebak dalam situasi ini. “Kau itu….” Suara Dhafin kembali terdengar dan terkesan menggantungkan ucapannya. Entah disengaja atau bagaimana. Namun, hal itu sukses membuat jantung Naina berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya. Apakah Dhafin mengenalinya sebagai Naina? “Kau–” “Mbak Lora!” Naina mengangkat kepalanya. Beberapa meter di depan sana, terlihat Mira yang berjalan ke arahnya seraya melambaikan tangan. Ia sedikit lega melihat Mira yang datang tepat
Sebuah rasa sesak menghantam kuat dada Dhafin ketika melihat tatapan itu. Jantungnya kembali berdebar-debar. Namun, kali ini diikuti dengan rasa nyeri seakan-akan ada ribuan belati yang menembus jantungnya.Detik berikutnya, wanita bercadar itu perlahan mundur dan menghilang dari pandangannya. Dhafin sangat panik. Ia langsung meletakkan kembali cincin itu lalu mengejar wanita yang ia ketahui bernama Lora.“Dhafin, kamu mau kemana?”Dhafin mengabaikan pertanyaan Freya dengan terus berjalan masuk ke dalam rumah.“Dhafin!” Freya ingin menyusul Dhafin, tetapi rok kebayanya yang lipit membuat ia tidak bergerak dengan leluasa.“Kamu di sini aja. Biar aku aja yang menyusul Dhafin.” Davira menahan lengan Freya.Bu Anita datang menghampiri calon menantunya. Ia merangkul Freya sambil mengusap pundaknya lembut. “Iya, Sayang. Lebih baik kamu tunggu di sini. Tenang aja, Dhafin pasti balik kok,” timpalnya.Sementara itu, Dhafin masih terus mengejar sambil menengok kanan-kiri memindai seluruh pen
“Nai, beneran kamu mau pulang sendirian?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Lebih baik kamu kembali ke acara itu, Zel.” “Nggak deh. Aku ikut kamu pulang aja.”Naina menggeleng sambil menggenggam tangan sahabatnya. “Jangan, Zelda. Kamu harus kembali supaya nggak ada yang sadar kalau sebenarnya aku datang.”“Aku tadi sempat melihat Mas Dhafin menatapku. Kamu yang menghilang kayak gini pasti membuat Mas Dhafin curiga,” jelasnya.Sekarang ini, mereka berada di dalam mobil bersama dengan supir yang standby di kursi kemudi.“Aku minta maaf, Nai, udah membawamu ke tempat yang menjadi sumber kesakitanmu selama ini.” Zelda menatap Naina sendu dan merasa bersalah.“Nggak papa, ini juga atas kemauanku sendiri.” Naina tersenyum di balik cadarnya, berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, suaranya yang bergetar menahan tangis tak mampu menutupinya.Zelda langsung menarik Naina ke dalam dekapannya. Ia mengusap lembut punggung sang sahabat. “Maaf… nggak seharusnya aku membawamu ke sini la
Arvan memegang dagunya sambil berpikir. “Hm… sepertinya ada konspirasi di sini. Apa kamu nggak curiga?” Dhafin menghela napas panjang masih dengan posisi yang bersandar di kursi. Benar, ia juga sempat curiga kalau orang tuanya sengaja membuat siasat itu. Namun kembali lagi, dirinya terus didesak dan tidak mempunyai waktu banyak. Ia hanya tidak ingin Naina kenapa-kenapa di manapun istrinya berada. Itu saja. “Entahlah…. Setahuku, Papa nggak pernah berbohong dengan ucapannya,” jawabnya. “Ya, terserah sih. Aku cuma mengingatkan aja,” balas Arvan seraya mengedikkan bahu. Untuk sejenak, suasana menjadi hening. Arvan sibuk dengan iPadnya sedang membuat dan mengirim undangan rapat untuk tim pemasaran. Sedangkan Dhafin sibuk dengan pikirannya sendiri sembari mengetukkan jari-jarinya di atas meja. Ia menegakkan tubuhnya lalu menatap Arvan. “Ngomong-ngomong, semalam Lora datang ke acara pertunanganku,” katanya. Sontak, Arvan langsung mendongak. “Lah, kenapa tiba-tiba jadi membahas Lora
“Dhafin, kamu dengar sendiri kan tadi? Mereka menganggapku pelakor,” kata Freya mengadu setelah duduk di dalam mobil Dhafin. Ia memasang wajah sendu. “Biarkan saja,” balas Dhafin cuek lalu menjalankan mobilnya keluar area kantor. “Tapi kamu beneran udah menceraikan Naina kan?” “Hm.” Dhafin tidak menanggapi terlalu jauh dan fokus menyetir. “Makan dimana?” “Di restoran Star Shine,” jawab Freya semangat. “Nggak, jaraknya jauh,” tolak Dhafin langsung. “Tapi aku pengen banget makan di sana. Dengar-dengar makanannya enak-enak.” Dhafin menggeleng tanpa menoleh. “Pilih restoran yang lebih dekat aja.” “Ayolah, Dhafin, sekali-sekali kita cari suasana baru. Di sana makanannya sangat enak. Aku pengen mencobanya. Aku jamin, kamu nggak akan menyesal makan di sana,” bujuk Freya sambil menggoyangkan lengan Dhafin. Dhafin mengeraskan rahangnya dan mencengkram setir kuat-kuat menahan emosi. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan lantas menatap Freya. “Bukan masalah menyesal atau nggaknya
“Permisi, ini pesanannya.”Naina meletakkan satu-persatu pesanan di atas meja yang diisi oleh tiga orang ibu-ibu.“Terima kasih, Mbak.”“Sama-sama, Bu. Selamat menikmati.” Naina menangkupkan kedua tangan disertai dengan senyum ramahnya. Ia hendak pergi, tetapi suara salah satu dari mereka mengurungkan niatnya.“Mbaknya yang mengelola restoran ini, ya?” tanya ibu yang memakai baju batik. Mungkin karena Naina yang tidak mengenakan seragam karyawan membuatnya menebak seperti itu.Naina mengangguk sopan sebagai jawaban. “Iya, Bu.”“Wah, nggak nyangka bisa bertemu langsung dengan manajernya,” kata ibu yang mengenakan kerudung hitam, menatap Naina dengan mata berbinar-binar. “Bahkan dilayani lagi,” sambung ibu yang memakai gamis.“Makanan di sini tuh enak-enak banget tau, Mbak. Citra rasanya punya ciri khas tersendiri yang bikin nagih,” puji ibu berbaju batik.Ibu bergami mengangguk setuju. “Betul, sesuailah sama gambar yang dipajang.”“Nggak rugi kita jauh-jauh ke sini. Udah makanannya e
Tak berbeda jauh dengan Naina, Pak Raynald pun merasakan hal yang sama. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dada ketika tangannya dicium oleh Naina. Perasaan yang asing, tetapi ia merasa bahagia.Sebelum ini, belum pernah ada yang mencium tangan Pak Reynald dengan hikmat seperti yang Naina lakukan, kecuali istrinya. Bahkan anaknya sendiri pun tidak pernah melakukan itu.Naina melepaskan genggaman tangannya. Wajah cantiknya sudah tidak lagi tertutup masker sejak tiba tadi. “Saya Naina, Pak. Atau bisa juga dipanggil Lora,” ucapnya memperkenalkan diri.Pak Raynald ikut tersenyum. Ada rasa tidak rela saat Naina melepaskan tangannya. “Lora, senang berkenalan denganmu,” balasnya dengan logat khas orang asing.“Terima kasih.” Naina membalas senyuman Pak Raynald yang tak pernah ia sangka sebelumnya karena raut muka pria itu tampak kaku. Naina lantas menghampiri Oma Hira yang sudah kembali duduk. “Aku pamit ke kamar dulu, ya, Oma. Mau bersih-bersih.”“Iya, sana. Pakai air hangat aja mandinya