Tak berbeda jauh dengan Naina, Pak Raynald pun merasakan hal yang sama. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dada ketika tangannya dicium oleh Naina. Perasaan yang asing, tetapi ia merasa bahagia.Sebelum ini, belum pernah ada yang mencium tangan Pak Reynald dengan hikmat seperti yang Naina lakukan, kecuali istrinya. Bahkan anaknya sendiri pun tidak pernah melakukan itu.Naina melepaskan genggaman tangannya. Wajah cantiknya sudah tidak lagi tertutup masker sejak tiba tadi. “Saya Naina, Pak. Atau bisa juga dipanggil Lora,” ucapnya memperkenalkan diri.Pak Raynald ikut tersenyum. Ada rasa tidak rela saat Naina melepaskan tangannya. “Lora, senang berkenalan denganmu,” balasnya dengan logat khas orang asing.“Terima kasih.” Naina membalas senyuman Pak Raynald yang tak pernah ia sangka sebelumnya karena raut muka pria itu tampak kaku. Naina lantas menghampiri Oma Hira yang sudah kembali duduk. “Aku pamit ke kamar dulu, ya, Oma. Mau bersih-bersih.”“Iya, sana. Pakai air hangat aja mandinya
“MasyaAllah tabarakallah, anakku….”Naina menatap haru layar monitor USG yang menampilkan wajah salah satu anaknya. Wajah itu terlihat jelas karena hari ini dokter melakukan USG 4D. Setetes air jatuh dari sudut mata saking terharunya.“Lucu banget,” sahut Oma Hira yang ikut menemani Naina check-up kandungan. “Kira-kira mirip siapa, ya?”“Mirip Altair,” gumam Naina dengan tatapan tak pernah lepas dari layar. Ia tidak berbohong, wajah calon bayinya yang satu ini benar-benar mirip dengan Altair waktu bayi.“Kita cek detak jantungnya, ya,” ucap sang dokter sambil mengutak-atik alat USG di depannya. Ia juga menggerakkan pelan transduser di perut Naina. “Ini bayi pertama.”Seketika, suara detak jantung terdengar nyaring memenuhi ruangan. Naina tak mampu lagi menahan tangis bahagia. Hatinya berdesir hebat. Ucap syukur tak berhenti mengalir dari bibirnya melihat sang anak yang tumbuh sehat.“Kalau ini bayi yang kedua.”Dokter dengan name tag dr. Yunita itu sedikit mengerutkan kening sesaat s
Naina menghela napas berat lantas mengangguk pelan. “Aku sangat takut, Oma. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana nanti perutku akan dibedah untuk mengeluarkan dedek twins.”“Kan tadi dokter bilang kalau masih bisa diusahakan melahirkan normal.”“Tapi tetap aja resiko untuk operasi caesar lebih banyak apalagi dedek twins sekarang posisinya belum pas. Aku khawatir waktunya nggak cukup,” ungkap Naina.Oma Hira mengusap lengan Naina untuk menenangkan. “Kalau memang harus operasi, berarti itulah yang terbaik. Dokter melakukan tindakan pastinya sudah mempertimbangkan baik-buruknya.”“Seperti yang dikatakan dokter tadi, kehamilan kembar lebih besar resikonya dibanding kehamilan tunggal. Kita ikuti aja saran dokter, ya,” jelasnya.Naina mengangguk pasrah. “Iya, Oma.”“Nanti kita pakai metode yang sedang trending sekarang. Apa sih namanya? Yang biasa digunakan artis-artis itu loh.” Oma Hira tampak berpikir keras terlihat dari keningnya yang mengerut dalam. “Metode eracs,” sahut Naina.“Nah,
Dhafin berdiri tepat di belakang Naina. Jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa, ia merasa sangat gugup seolah sedang bertemu pujaan hati.Dhafin berdehem pelan kemudian mengulurkan tangannya dan memegang pundak wanita itu. “Naina,” panggilnya.Perlahan tapi pasti, wanita di hadapannya menoleh. Sontak, Dhafin langsung menurunkan tangannya. Untuk beberapa saat, ia mematung seraya menatap wanita yang dirinya sangka Naina.Namun, ternyata bukan!“Ada apa, ya?” tanya wanita itu dengan menaikkan sebelah alisnya.Dhafin dengan cepat menguasai diri. “Maaf, saya salah orang.”Wanita itu hanya mengangguk lantas pergi dari sana.Dhafin menghembuskan napas kesal. Ia berjalan menyusuri setiap sudut toko guna mencari keberadaan Naina yang dirinya yakini masih ada di sini.Ternyata tidak ada. Rata-rata pengunjung di sini tidak mengenakan hijab. Bahkan wanita hamil yang memakai gamis, ya, hanya wanita tadi. Ada pula orang yang berpenampilan sama, tetapi sudah berumur. Jelas, itu bukan Naina.Dhaf
Dhafin menghela napas panjang sambil menumpukan kedua tangannya di meja wastafel. Hari itu Zelda menjawab dengan sangat yakin dan pasti. Ia tidak menemukan kebohongan dalam sorot matanya.Entah itu memang kebenarannya atau Zelda yang pandai bersandiwara.Meski begitu dalam hati yang paling dalam, Dhafin merasa ada yang tidak beres dengan identitas Lora yang terkesan disembunyikan oleh Zelda. Sepertinya ia harus mencari tahu tentang hal itu.Jika sang ayah melarangnya mencari tahu keberadaan Naina, maka mulai sekarang Dhafin akan mencari tahu tentang Lora. Ia ingin membuktikan dugaannya tidak salah.Setelah beberapa menit menenangkan diri, Dhafin menegakkan tubuh, merapikan penampilannya sejenak, lalu keluar dari toilet. Ia melangkah kembali ke toko yang didatanginya bersama Freya tadi.“Sayang, kamu dari mana aja sih? Kok tiba-tiba menghilang? Aku cari-cari kamu, tau.” Freya yang berdiri di depan toko menggerutu saat Dhafin tiba di depannya.“Dari toilet,” balas Dhafin datar.“Kenapa
“Mbak Loraaa…” Naina disambut dengan hangat oleh karyawannya begitu tiba di restoran. Beberapa dari mereka yang perempuan bahkan memeluknya tanpa sungkan. Mereka sekarang berada di dapur, tempat yang menjadi titik kumpul karyawan sebelum memulai pekerjaan. Semuanya tampak sangat bahagia melihat kedatangannya hari ini. Beberapa hari terakhir, Naina memang mulai jarang mendatangi restoran karena tidak diperbolehkan Oma Hira bekerja alias cuti. Tanggung jawab restoran pun sudah diserahkan sementara kepada Thalia, asisten pribadi Tuan Albern. Hari ini Naina sengaja datang di jam pagi, yang mana restoran masih sepi pengunjung supaya bisa leluasa mengobrol tanpa mengganggu pekerjaan mereka. Pada jam segitu pula biasanya dimanfaatkan oleh karyawan untuk menyiapkan bahan makanan. “Kangen banget sama Mbak Lora.” Karyawan perempuan yang bernama Lily memeluk erat lengan kanan Naina. “Iya, Mbak Lora udah jarang banget ke restoran akhir-akhir ini,” sahut karyawan berhijab yang menggandeng
Naina dan Thalia berangkat ke rumah sakit tempat Oma Hira dirawat yang ternyata ada di pusat kota. Selama perjalanan, Naina tak henti-hentinya berdoa sambil menangis. Satu setengah jam kemudian, mereka tiba di rumah sakit dan langsung menuju ke ruangan yang diberitahu oleh Mira. Di sana, Naina melihat ada Zelda, Mira, dan Tuan Albern yang sedang menunggu di luar ruangan. “Zelda,” panggilnya seraya berjalan mendekat. Butiran bening kembali jatuh dan mengalir deras di pipinya. “Oma….” Zelda bangkit dengan mata sembab dan langsung memeluk Naina erat. Ia mengusap punggung Naina berusaha menenangkan meskipun dirinya juga butuh sandaran. “Kita doakan yang terbaik untuk Oma, ya.” Naina mengangguk dan melepaskan pelukannya. “Bagaimana keadaan Oma?” Zelda menggeleng pelan. “Masih ditangani dokter,” jawabnya lalu membawa Naina duduk di kursi tunggu samping Mira. “Mbak Mira, bagaimana semua ini terjadi?” tanya Naina kepada Mira. “Padahal waktu kutinggal Oma masih baik-baik aja.” Mira mena
Naina mencium tangan keriput milik Oma Hira. “Aku keluar dulu, ya. Oma cepat sembuh biar bisa main sama dedek twins,” pamitnya lantas beranjak keluar ruangan.Di luar, Naina melihat Zelda yang sedang teleponan dengan seseorang. Ia pun duduk di samping sahabatnya yang sama sekali tidak menghindar.“Dan sekarang Oma….” Zelda menarik napasnya yang berat seolah enggan melanjutkan perkataannya. “Oma koma. Apakah kau bisa pulang?”“....”“Kenapa?”“....”“Kau sudah bertahun-tahun di sana. Apakah kau tidak merindukan rumah?”“....”“Kalau rindu, kenapa tidak pernah pulang? Pulanglah, Kak, setidaknya demi Oma.”“....”“Asal kau tahu, Kak. Oma sangat merindukanmu. Oma selalu berharap kau akan pulang. Mau sampai kapan kau di sana terus?”“....”Zelda tampak geram. Entah apa yang dikatakan oleh seseorang diseberang sana. “Bahkan di saat seperti ini kau masih saja mementingkan pekerjaan?”“....”“Oma sedang berjuang antara hidup dan mati di ruang ICU dan kau malah asyik dengan pekerjaan. Ini Oma,