Naina dan Thalia berangkat ke rumah sakit tempat Oma Hira dirawat yang ternyata ada di pusat kota. Selama perjalanan, Naina tak henti-hentinya berdoa sambil menangis. Satu setengah jam kemudian, mereka tiba di rumah sakit dan langsung menuju ke ruangan yang diberitahu oleh Mira. Di sana, Naina melihat ada Zelda, Mira, dan Tuan Albern yang sedang menunggu di luar ruangan. “Zelda,” panggilnya seraya berjalan mendekat. Butiran bening kembali jatuh dan mengalir deras di pipinya. “Oma….” Zelda bangkit dengan mata sembab dan langsung memeluk Naina erat. Ia mengusap punggung Naina berusaha menenangkan meskipun dirinya juga butuh sandaran. “Kita doakan yang terbaik untuk Oma, ya.” Naina mengangguk dan melepaskan pelukannya. “Bagaimana keadaan Oma?” Zelda menggeleng pelan. “Masih ditangani dokter,” jawabnya lalu membawa Naina duduk di kursi tunggu samping Mira. “Mbak Mira, bagaimana semua ini terjadi?” tanya Naina kepada Mira. “Padahal waktu kutinggal Oma masih baik-baik aja.” Mira mena
Naina mencium tangan keriput milik Oma Hira. “Aku keluar dulu, ya. Oma cepat sembuh biar bisa main sama dedek twins,” pamitnya lantas beranjak keluar ruangan.Di luar, Naina melihat Zelda yang sedang teleponan dengan seseorang. Ia pun duduk di samping sahabatnya yang sama sekali tidak menghindar.“Dan sekarang Oma….” Zelda menarik napasnya yang berat seolah enggan melanjutkan perkataannya. “Oma koma. Apakah kau bisa pulang?”“....”“Kenapa?”“....”“Kau sudah bertahun-tahun di sana. Apakah kau tidak merindukan rumah?”“....”“Kalau rindu, kenapa tidak pernah pulang? Pulanglah, Kak, setidaknya demi Oma.”“....”“Asal kau tahu, Kak. Oma sangat merindukanmu. Oma selalu berharap kau akan pulang. Mau sampai kapan kau di sana terus?”“....”Zelda tampak geram. Entah apa yang dikatakan oleh seseorang diseberang sana. “Bahkan di saat seperti ini kau masih saja mementingkan pekerjaan?”“....”“Oma sedang berjuang antara hidup dan mati di ruang ICU dan kau malah asyik dengan pekerjaan. Ini Oma,
Naina menatap laki-laki di depannya ini dengan kening mengernyit. Ia memang mengingat suatu kejadian di masa lalu. Namun, tak mungkin pula ia memberitahu kepada Grissham yang notabennya orang asing.Naina menggeleng pelan untuk segera menyadarkan diri. Di saat seperti ini, ia tidak seharusnya memikirkan masa lalu. Dirinya membuka mulut hendak menyanggah, tetapi urung ketika Zelda langsung menyerobot.“Eh, kamu kok tahu sih kalau nama lainnya Naina itu Lora?”“Hanya kebetulan saja.” Grissham tak melepaskan sedikitpun pandangannya dari Naina disertai senyuman manis. “Aku tidak bisa mengeja namanya yang susah sehingga kupersingkat saja. Jadinya Lora.”Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pesanan datang. Naina mengucapkan terima kasih kemudian mulai menyantap makan siangnya. Begitu pula dengan sepasang sepupu ini.“Kau tahu, Kak? Naina ini menjadi model busana di butikku. Di mata publik dia dikenal dengan nama Lora. Aku yang memberi usul nama itu. Persis seperti yang kau katakan barusan
Naina berjalan tergesa-gesa setengah berlari mengikuti langkah lebar Grissham di depannya. Suara langkah kaki mereka terdengar di koridor rumah sakit yang cukup ramai ini.“Naina, pelan-pelan jalannya,” ucap Zelda yang berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan mereka.Naina tidak menggubris perkataan sahabatnya dan terus melangkah dengan cepat. Hingga ketiganya sampai di depan ruang operasi dengan pintu tertutup. Di sana semuanya sudah berkumpul.“Ayah, bagaimana dengan Oma?” tanya Grissham dengan napas memburu.Tuan Albern menghela napas berat. “Oma baru saja masuk ruang operasi. Kita berdoa semoga operasinya lancar.”Naina menatap kosong ke depan. “Oma pasti sembuh kan?”Bu Kayla merangkul pundak Naina dan mengusapnya. “InsyaAllah, kita doakan terus, ya. Tante yakin masih ada harapan untuk kesembuhan Oma.”Naina melepaskan dengan lembut tangan Bu Kayla di pundaknya. Ia berjalan menjauhi mereka semua. Namun, baru beberapa langkah, Zelda menahan tangannya.“Kamu mau kemana, Nai?”Nain
Mereka semua sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter pasca operasi. Meski sudah dinyatakan berhasil, tetapi tetap saja ada rasa cemas yang menghantui mengingat usia Oma Hira yang rentan terkena komplikasi.Tak lama, dokter laki-laki yang sejak awal merawat Oma Hira keluar ruangan. Ia menatap anggota keluarga yang langsung berdiri mengerubunginya. “Ibu Mahira sudah sadar dan bisa ditemui.”“Alhamdulillah….”“Terima kasih, Dokter.”Sang dokter tersenyum. “Sama-sama, saya permisi dulu.”Mereka semua pun masuk ke dalam ruangan VIP. Di atas ranjang sana, Oma Hira terbaring lemah masih dengan sejumlah alat medis yang terpasang di tubuhnya.Satu-persatu anggota keluarga berkomunikasi dengan Oma Hira yang melepaskan masker oksigen. Oma Hira hanya mampu berbicara beberapa kata saja dengan suara pelan.Hingga tibalah giliran Naina.“Nai-na….” Oma Hira menggerakkan tangannya yang lemah untuk menggapai Naina.Naina yang mengerti segera menggenggam tangan Oma Hira. Ia mencium tangan keriput itu l
“Omaaa….!” Naina membuka matanya dengan napas terengah-engah. Wajahnya dipenuhi oleh keringat. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ternyata berada di sebuah ruangan. Tak lupa, ada infus yang menancap di tangannya. Entah apa yang terjadi dengannya sebelum ini. “Lora.” Pak Raynald yang baru saja masuk ruangan tampak berjalan menghampiri ranjang tempat Naina berbaring. “Syukurlah, kau sudah sadar.” Naina mengernyit heran lalu berusaha bangun dengan perlahan dibantu oleh Pak Raynald. “Kenapa saya berada di sini? Di mana Oma?” “Kau pingsan tadi. Sekarang semuanya sedang mengurus pemakaman Tante Mahira, jadi saya yang menjagamu di sini,” jawab Pak Raynald yang mendudukkan dirinya di kursi samping bed. Naina terkesiap dengan tubuh menegang kaku. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika bayangan di ruangan Oma Hira kembali terputar diikuti suara dokter yang berdengung di telinganya. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Ibu Mahira menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 11.40 WI
Seminggu telah terlewati semenjak kepergian Oma Hira. Duka masih kental menyelimuti keluarga itu. Namun, mereka tidak bisa berdiam diri terus-terusan dan harus menjalankan rutinitas seperti biasa. Perlahan mereka mulai mengikhlaskan Oma Hira meski sangat sulit.Akan tetapi, berbeda dengan Naina yang masih tenggelam dalam kesedihan. Selama seminggu ini, ia tidak melakukan apapun, hanya diam dan melamun.Tatapannya pun kosong seperti tidak ada gairah hidup. Bahkan untuk makan saja harus selalu diingatkan agar tidak sampai terlewatkan dan malah mengganggu kesehatannya.“Aku nggak tega melihat Naina seperti itu.”Zelda dan Grissham menatap sendu ke arah Naina yang duduk di gazebo. Mereka berdiri berdampingan di dekat pintu teras samping rumah. Hanya keduanya yang masih bertahan di rumah ini karena tidak tega meninggalkan Naina dalam kondisi seperti itu.“Naina kembali terpuruk untuk yang kedua kalinya,” ucap Zelda menghela napas berat.Grissham menoleh dengan mengerutkan kening. “Kedua
Naina membalas tatapan Pak Raynald. Ada ketegasan sekaligus kelembutan dalam sorot mata itu. Seakan terhipnotis, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dan tenggelam dalam tatapan menyejukkan itu.Persis seperti warnanya yang hijau sehingga mampu memberikan ketenangan dalam hati meski hanya lewat tatapan saja.Beberapa detik setelahnya, Naina memutuskan kontak mata itu dan memilih menunduk bersamaan dengan Pak Raynald yang menurunkan tangannya. Ia merenungkan semua perkataan pria itu.Benar, Naina tidak boleh seperti ini terus. Kesedihannya tidak akan pernah mampu menghidupkan Oma Hira kembali. Oma Hira hanya membutuhkan doanya, bukan rasa sedihnya.Life must go onYa, Naina harus tetap menjalankan hidup sebaik mungkin di dunia ini. Ia lebih baik mewujudkan keinginan Oma Hira yang belum tercapai daripada berdiam diri di sini.Naina mendongak menatap langit cerah berwarna biru disertai awan halus yang berjalan perlahan. Katanya, orang yang sudah meninggal bisa melihat semua aktivitas k
Dokter Radha terus menceritakan sekaligus mengenalkan keluarga besarnya kepada Lora sambil memperlihatkan album foto.Hingga tanpa terasa hari sudah beranjak sore. Keduanya pun menyudahi dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah.Namun, sebelum itu Lora meminta tolong pada Amina untuk menjaga si kembar bila sewaktu-waktu terbangun. “Ibun lihat bisnis restoranmu berkembang pesat setelah diterpa masalah fitnah kemarin,” ujar Dokter Radha yang berjalan menuruni tangga bersama Lora. “Alhamdulillah, Bun. Masalah kemarin itu untuk pembelajaran kedepannya agar nggak keulang lagi. Udah diantisipasi juga kok,” balas Lora. Dokter Radha tersenyum bangga sembari mengusap lengan Lora. “Kamu mewarisi jiwa bisnis dari ayahmu. Kelak kamu akan menjadi pewaris perusahaan Brighton Group milik keluarga Ayah.” Lora hanya membalas dengan senyuman saja dan terus melangkah sampai di ruang tamu. Di sana ternyata masih ada Grissham dan Pak Raynald yang sepertinya sedang membicarakan hal penting. Keduanya
“Ini foto siapa, Bun?”Dokter Radha ikut menatap foto itu dengan mengulas senyum. “Dia kembaran Ibun. Namanya Anarva Raharja Kusuma.” Lora menatap Dokter Radha dengan mata berbinar-binar. “Wah... Ibun juga punya kembaran. Jadi pengen bertemu dan berkenalan. Bolehkan, Bun?” Dokter Radha mengubah raut wajahnya menjadi sendu dan menggeleng pelan. Tangannya mengusap foto dibagian laki-laki kecil itu. “Sayangnya nggak bisa karena dia udah meninggal.”Lora seketika melunturkan senyumnya dan merasa tidak enak. “Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Maaf, Bun. Aku nggak tau.” Dokter Radha menatap Lora dan tersenyum maklum. “Nggak papa, Sayang. Ibun mengerti.” Ia kembali membuka halaman album selanjutnya. Di situ terdapat beberapa foto kenangan Dokter Radha dengan kembarannya saat usia balita. “Meskipun kembar, Ibun dan Arva dilahirkan dalam keadaan yang berbeda. Arva memiliki penyakit jantung bawaan sama seperti Zora.”“Bedanya Arva penyakitnya lebih kronis dan nggak bisa bertahan lama. Se
[Aku nggak bisa datang. Aku sibuk]Tidak lama kemudian, pesannya yang semula centang dua abu-abu berubah warna menjadi centang biru. Nama kontak ‘Lora❤’ itu tampak mengetikkan balasan.[Aku tau kamu sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Freya. Tapi apa kamu nggak bisa meluangkan waktu sedikit aja untuk anak-anak? Ini demi anak-anakmu sendiri loh, Mas. Apa sesusah itu?][Maaf, Lora. Dalam waktu dekat ini aku memang nggak bisa datang. Tolong, sampaikan maafku untuk si kembar] [Baik, terserah kamu! Kamu udah berhasil membuat anak-anak dekat denganmu, tapi begini balasanmu? Ingat, ya, aku nggak akan memintamu datang kalau bukan demi anak-anak]Dhafin tahu Lora bukan tipe orang yang mengemis perhatian. Wanita itu menghubungi dirinya semata-mata hanya untuk si kembar dan itu pun saat mereka yang meminta. Jika tidak, Lora tidak pernah mengirimkan pesan padanya kalau bukan ia duluan yang ngechat.[Ini terakhir kalinya aku mengganggu waktumu. Kedepannya jangan salahkan aku kalau si kembar
“Tante cuma dapat hikmahnya aja,” timpal Zelda.Dokter Radha mengangguk dengan memasang wajah sedih. “Iya, nih. Padahal kan Tante yang merasakan susahnya hamil sembilan bulan sama sakitnya melahirkan.” Pak Raynald tertawa pelan lantas menatap istrinya dalam-dalam. “Meskipun dari segi fisik tak ada kemiripan denganmu, tetapi jangan salah. Kebaikan dan kecerdasan dalam diri Lora sudah pasti menurun darimu, Sayang.”Dokter Radha tersenyum malu hingga menciptakan semburat merah di pipinya yang terlihat samar-samar. Ia berdehem pelan untuk mengurangi salah tingkahnya. “Lora, bagaimana kabarnya Dek Zora?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Zora sehat, Bun. Akhir-akhir ini udah jarang kambuhan,” jawab Lora sambil tersenyum melihat keharmonisan orang tuanya di usia yang tak lagi muda.“Alhamdulillah….” Dokter Radha kembali memegang kedua tangan Lora dengan mata berbinar-binar. “Ibun nggak nyangka banget udah punya cucu darimu. Kembar lagi, masyaallah….”“Sebenarnya ada tiga, Bun. Tapi putr
“Bila kau tidak kuat, lebih baik kita tunda dulu penjelasannya,” kata Grissham.Lora mengalihkan pandangannya pada Grissham lalu menggeleng pelan. “Lanjut aja. Aku ingin semuanya tuntas hari ini,” balasnya lirih. Ia sekarang duduk di antara dua orang yang mengaku sebagai orang tua kandungnya. Grissham menghela napas, menatap Lora yang terlihat sudah baik-baik saja. “Lora, seperti yang sudah kau dengar dari penjelasanku tadi, Uncle Raynald dan Aunty Radha sebenarnya adalah orang tua kandungmu.”“Kau merupakan putri yang ditukar oleh Ibu Linda dengan putri kandung Ibu Sekar yang selama ini diasuh oleh keluarga Brighton,” jelasnya.Pak Raynald mengangguk setuju menimpali perkataan Grissham. “Kami sudah melakukan tes DNA dan hasilnya memang benar kau adalah putri kandungku, Lora.”Dokter Radha mengeluarkan sebuah kertas yang memiliki logo rumah sakit ternama dari dalam tas kemudian menyerahkannya pada Lora. “Ini hasil tes DNA-nya.”Lora menegakkan tubuh dan mulai membaca isi dalam kertas
Di ruang tamu, Zelda beranjak dari duduknya menghampiri mereka yang masih berdiri di ambang pintu.Sedikit banyak dirinya bisa mendengar pembicaraan mereka dan ikut terkejut sama seperti Lora.Ia berdehem pelan begitu tiba di samping sahabatnya. “Lora, alangkah baiknya kalau mereka dipersilahkan duduk dulu biar enak ngobrolnya.”Lora menepuk dahinya pelan. “Oh iya, sampai lupa. Mari masuk, Om, Dokter, Kak Sham.” Ia memiringkan tubuh untuk memberikan akses jalan pada tamunya. “Loh, Zee. Kau di sini?” tanya Grissham saat melangkah masuk dan melihat sepupunya yang berada di rumah Lora. “Udah dari tadi,” balas Zelda datar lalu berjalan bersisian di samping Grissham.“Di mana si kembar? Tumben tidak kelihatan?” tanya Pak Raynald sambil menatap sekeliling. Ia melihat beberapa mainan dua bocil itu berserakan, tetapi tidak ada pemiliknya. “Lagi main sama Evan di taman samping, Om.” Lora mengekor di belakang mereka semua tanpa menutup pintu kembali. Ia menunjuk ke arah jendela besar di ruan
Lora menoleh sejenak ke arah sahabatnya lalu kembali menatap ke depan. Ia menghela napas panjang dengan raut wajah yang datar. Wanita itu tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya sekarang. Semuanya terasa campur aduk dan tak karuan setelah mendengar kabar berita itu. Sedikit banyak ia berharap bahwa berita itu tidaklah benar. Entahlah, ada rasa kecewa dalam hatinya apalagi mengingat Dhafin yang sudah mengetahui bagaimana kebusukan Freya. Ia merasa dikhianati karena telah menaruh kepercayaan yang lebih pada ayah kandung dari anak-anaknya itu. Lora juga merasakan ada rasa nyeri dan sesak dalam dadanya. Walaupun selama ini sikapnya pada Dhafin terkesan ketus dan ogah-ogahan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sisa rasa yang terpendam dalam hatinya yang paling dalam."Lora," panggil Zelda berusaha menyadarkan sahabatnya yang tampak larut dalam lamunannya. Ia jadi berpikir tentang apa yang membuat Lora terlihat menanggung beban berat. Seakan menyadari sesuatu, dirinya
Lora membulatkan mata terkejut bahkan sampai menutup mulutnya sejenak. Ia mengambil benda pipih berwarna putih dan biru itu dari tangan sahabatnya. Dirinya kembali menatap Zelda dengan pandangan penuh haru. “Zelda, kamu… kamu hamil?”Zelda mengangguk semangat disertai senyum yang mengembang lebar. “Iya, aku juga baru tau kemarin.” Lora langsung memeluk sahabatnya erat dengan tangan yang masih memegang test pack itu. “MasyaAllah tabarakallah, selamat, ya. Aku ikut senang banget.”Wanita itu melepaskan pelukannya dan beralih mengusap perut Zelda yang masih rata. “Alhamdulillah, Allah memberikan kepercayaan padamu dengan cepat. Si kembar bakal punya teman nih.”Zelda tertawa kecil. “Iya, personilnya nambah buat bikin kakek-neneknya kerepotan.” Lora ikut tertawa lantas mengembalikan testpack itu kepada pemiliknya. “Om Albern sama Kak Sham udah kamu beritahu belum?”Zelda menyimpan kembali testpack-nya ke dalam tas dan menggeleng. “Rencananya nanti sekalian mau menginap. Mama sama Papa
Grissham tersenyum misterius. “Bukan hal yang sulit, Uncle. Ada Mira yang membantuku mengambil beberapa helai rambut Lora yang sudah rontok.” Pak Raynald ikut terkekeh kecil lalu menyimpan sampel rambut itu ke tempat yang lebih aman. “Baiklah, saya akan segera menjadwalkan tes DNA.”“Bukan begitu, Sayang?” tanyanya sembari menoleh ke arah sang istri. Dokter Radha mengangguk mantap. “Lebih cepat lebih baik. Nanti aku yang akan mengurusnya.” “Kalau boleh kusarankan, sebaiknya tes DNA ini dikawal dengan ketat. Aku takut ada pihak-pihak lain yang bisa saja menyabotase hasilnya,” ujar Grissham memberikan usulan. Raynald menganggukkan kepalanya setuju. “Saya mengikuti saran darimu, Grissham.”Dokter Radha mengalihkan pandangannya ke arah Florence yang duduk sendirian di sofa seberang. Seketika rasa bersalah mulai bersarang dalam hatinya. Terlalu fokus membahas tentang Lora, ia sampai melupakan keberadaan putrinya di sana.Wanita itu beranjak menghampiri Florence lalu berpindah tempat d