Naina menatap laki-laki di depannya ini dengan kening mengernyit. Ia memang mengingat suatu kejadian di masa lalu. Namun, tak mungkin pula ia memberitahu kepada Grissham yang notabennya orang asing.Naina menggeleng pelan untuk segera menyadarkan diri. Di saat seperti ini, ia tidak seharusnya memikirkan masa lalu. Dirinya membuka mulut hendak menyanggah, tetapi urung ketika Zelda langsung menyerobot.“Eh, kamu kok tahu sih kalau nama lainnya Naina itu Lora?”“Hanya kebetulan saja.” Grissham tak melepaskan sedikitpun pandangannya dari Naina disertai senyuman manis. “Aku tidak bisa mengeja namanya yang susah sehingga kupersingkat saja. Jadinya Lora.”Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pesanan datang. Naina mengucapkan terima kasih kemudian mulai menyantap makan siangnya. Begitu pula dengan sepasang sepupu ini.“Kau tahu, Kak? Naina ini menjadi model busana di butikku. Di mata publik dia dikenal dengan nama Lora. Aku yang memberi usul nama itu. Persis seperti yang kau katakan barusan
Naina berjalan tergesa-gesa setengah berlari mengikuti langkah lebar Grissham di depannya. Suara langkah kaki mereka terdengar di koridor rumah sakit yang cukup ramai ini.“Naina, pelan-pelan jalannya,” ucap Zelda yang berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan mereka.Naina tidak menggubris perkataan sahabatnya dan terus melangkah dengan cepat. Hingga ketiganya sampai di depan ruang operasi dengan pintu tertutup. Di sana semuanya sudah berkumpul.“Ayah, bagaimana dengan Oma?” tanya Grissham dengan napas memburu.Tuan Albern menghela napas berat. “Oma baru saja masuk ruang operasi. Kita berdoa semoga operasinya lancar.”Naina menatap kosong ke depan. “Oma pasti sembuh kan?”Bu Kayla merangkul pundak Naina dan mengusapnya. “InsyaAllah, kita doakan terus, ya. Tante yakin masih ada harapan untuk kesembuhan Oma.”Naina melepaskan dengan lembut tangan Bu Kayla di pundaknya. Ia berjalan menjauhi mereka semua. Namun, baru beberapa langkah, Zelda menahan tangannya.“Kamu mau kemana, Nai?”Nain
Mereka semua sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter pasca operasi. Meski sudah dinyatakan berhasil, tetapi tetap saja ada rasa cemas yang menghantui mengingat usia Oma Hira yang rentan terkena komplikasi.Tak lama, dokter laki-laki yang sejak awal merawat Oma Hira keluar ruangan. Ia menatap anggota keluarga yang langsung berdiri mengerubunginya. “Ibu Mahira sudah sadar dan bisa ditemui.”“Alhamdulillah….”“Terima kasih, Dokter.”Sang dokter tersenyum. “Sama-sama, saya permisi dulu.”Mereka semua pun masuk ke dalam ruangan VIP. Di atas ranjang sana, Oma Hira terbaring lemah masih dengan sejumlah alat medis yang terpasang di tubuhnya.Satu-persatu anggota keluarga berkomunikasi dengan Oma Hira yang melepaskan masker oksigen. Oma Hira hanya mampu berbicara beberapa kata saja dengan suara pelan.Hingga tibalah giliran Naina.“Nai-na….” Oma Hira menggerakkan tangannya yang lemah untuk menggapai Naina.Naina yang mengerti segera menggenggam tangan Oma Hira. Ia mencium tangan keriput itu l
“Omaaa….!” Naina membuka matanya dengan napas terengah-engah. Wajahnya dipenuhi oleh keringat. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ternyata berada di sebuah ruangan. Tak lupa, ada infus yang menancap di tangannya. Entah apa yang terjadi dengannya sebelum ini. “Lora.” Pak Raynald yang baru saja masuk ruangan tampak berjalan menghampiri ranjang tempat Naina berbaring. “Syukurlah, kau sudah sadar.” Naina mengernyit heran lalu berusaha bangun dengan perlahan dibantu oleh Pak Raynald. “Kenapa saya berada di sini? Di mana Oma?” “Kau pingsan tadi. Sekarang semuanya sedang mengurus pemakaman Tante Mahira, jadi saya yang menjagamu di sini,” jawab Pak Raynald yang mendudukkan dirinya di kursi samping bed. Naina terkesiap dengan tubuh menegang kaku. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika bayangan di ruangan Oma Hira kembali terputar diikuti suara dokter yang berdengung di telinganya. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Ibu Mahira menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 11.40 WI
Seminggu telah terlewati semenjak kepergian Oma Hira. Duka masih kental menyelimuti keluarga itu. Namun, mereka tidak bisa berdiam diri terus-terusan dan harus menjalankan rutinitas seperti biasa. Perlahan mereka mulai mengikhlaskan Oma Hira meski sangat sulit.Akan tetapi, berbeda dengan Naina yang masih tenggelam dalam kesedihan. Selama seminggu ini, ia tidak melakukan apapun, hanya diam dan melamun.Tatapannya pun kosong seperti tidak ada gairah hidup. Bahkan untuk makan saja harus selalu diingatkan agar tidak sampai terlewatkan dan malah mengganggu kesehatannya.“Aku nggak tega melihat Naina seperti itu.”Zelda dan Grissham menatap sendu ke arah Naina yang duduk di gazebo. Mereka berdiri berdampingan di dekat pintu teras samping rumah. Hanya keduanya yang masih bertahan di rumah ini karena tidak tega meninggalkan Naina dalam kondisi seperti itu.“Naina kembali terpuruk untuk yang kedua kalinya,” ucap Zelda menghela napas berat.Grissham menoleh dengan mengerutkan kening. “Kedua
Naina membalas tatapan Pak Raynald. Ada ketegasan sekaligus kelembutan dalam sorot mata itu. Seakan terhipnotis, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dan tenggelam dalam tatapan menyejukkan itu.Persis seperti warnanya yang hijau sehingga mampu memberikan ketenangan dalam hati meski hanya lewat tatapan saja.Beberapa detik setelahnya, Naina memutuskan kontak mata itu dan memilih menunduk bersamaan dengan Pak Raynald yang menurunkan tangannya. Ia merenungkan semua perkataan pria itu.Benar, Naina tidak boleh seperti ini terus. Kesedihannya tidak akan pernah mampu menghidupkan Oma Hira kembali. Oma Hira hanya membutuhkan doanya, bukan rasa sedihnya.Life must go onYa, Naina harus tetap menjalankan hidup sebaik mungkin di dunia ini. Ia lebih baik mewujudkan keinginan Oma Hira yang belum tercapai daripada berdiam diri di sini.Naina mendongak menatap langit cerah berwarna biru disertai awan halus yang berjalan perlahan. Katanya, orang yang sudah meninggal bisa melihat semua aktivitas k
“By the way, Tante Mahira pernah mengatakan bahwa kita ini mirip. Benarkah? Memangnya kita semirip apa?”Naina tertawa kecil. “Saya juga tidak tahu.”“Tetapi warna mata kita sama.”“Mungkin hanya kebetulan saja.”Pak Raynald menggeleng tidak setuju. “Saya merasa ini bukan sebuah kebetulan semata. Saya yakin pasti ada sesuatu dibaliknya.”“Iya, kata Oma setiap pertemuan pasti ada hikmahnya.”“Ck! Bukan itu yang saya maksud, Loraaa. Kau ini menyebalkan sekali.”Naina menanggapinya dengan tertawa apalagi waktu Pak Raynald ingin membuktikan sendiri melalui kamera untuk bercermin. Dan pada akhirnya jadi foto bersama.Di sisi lain, Zelda tersenyum lega melihat Naina yang sudah bisa tersenyum bahkan sampai tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat sangat seru. “Ternyata Uncle Raynald berhasil membujuk dan menghibur Lora. Tahu begitu, aku minta tolong kepadanya dari kemarin,” ujar Grissham dengan tatapan mengarah ke Naina.“Nggak nyangka sih kalau Naina bakal luluh dengan Om Ray,” t
Mira mencoba menghubungi Tuan Albern dan Zelda karena hanya memiliki kontak mereka yang notabennya majikan. Namun sayang, mereka sama sekali tidak mengangkat panggilannya setelah beberapa kali mencoba.Evan, orang kepercayaan Oma Hira yang tinggal di paviliun juga sedang sangat sibuk dan jarang pulang semenjak Oma Hira meninggal. Pria itu bilang banyak hal yang perlu diurus dan meminta Mira menjaga Naina atas permintaan Oma Hira.Mira sangat bingung tak tahu harus melakukan apa. Namun, ia tidak juga bisa berdiam diri di sini menunggu mereka datang yang ada malah membahayakan nyawa Naina.Mira berjongkok dan menyentuh lengan Naina yang masih setia memejamkan mata. “Mbak Nai, Mbak mendengarkanku kan?”Naina membuka mata dengan pandangan yang sayu dan buram. Ia berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya. “Tolong… sakit…” lirihnya.Mira membantu Naina bangkit dan memapahnya menuju ke ruang depan. Ia akan meminta tolong kepada siapapun yang datang ke rumah ini. Atau ia akan memesa