“Omaaa….!” Naina membuka matanya dengan napas terengah-engah. Wajahnya dipenuhi oleh keringat. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ternyata berada di sebuah ruangan. Tak lupa, ada infus yang menancap di tangannya. Entah apa yang terjadi dengannya sebelum ini. “Lora.” Pak Raynald yang baru saja masuk ruangan tampak berjalan menghampiri ranjang tempat Naina berbaring. “Syukurlah, kau sudah sadar.” Naina mengernyit heran lalu berusaha bangun dengan perlahan dibantu oleh Pak Raynald. “Kenapa saya berada di sini? Di mana Oma?” “Kau pingsan tadi. Sekarang semuanya sedang mengurus pemakaman Tante Mahira, jadi saya yang menjagamu di sini,” jawab Pak Raynald yang mendudukkan dirinya di kursi samping bed. Naina terkesiap dengan tubuh menegang kaku. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika bayangan di ruangan Oma Hira kembali terputar diikuti suara dokter yang berdengung di telinganya. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Ibu Mahira menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 11.40 WI
Seminggu telah terlewati semenjak kepergian Oma Hira. Duka masih kental menyelimuti keluarga itu. Namun, mereka tidak bisa berdiam diri terus-terusan dan harus menjalankan rutinitas seperti biasa. Perlahan mereka mulai mengikhlaskan Oma Hira meski sangat sulit.Akan tetapi, berbeda dengan Naina yang masih tenggelam dalam kesedihan. Selama seminggu ini, ia tidak melakukan apapun, hanya diam dan melamun.Tatapannya pun kosong seperti tidak ada gairah hidup. Bahkan untuk makan saja harus selalu diingatkan agar tidak sampai terlewatkan dan malah mengganggu kesehatannya.“Aku nggak tega melihat Naina seperti itu.”Zelda dan Grissham menatap sendu ke arah Naina yang duduk di gazebo. Mereka berdiri berdampingan di dekat pintu teras samping rumah. Hanya keduanya yang masih bertahan di rumah ini karena tidak tega meninggalkan Naina dalam kondisi seperti itu.“Naina kembali terpuruk untuk yang kedua kalinya,” ucap Zelda menghela napas berat.Grissham menoleh dengan mengerutkan kening. “Kedua
Naina membalas tatapan Pak Raynald. Ada ketegasan sekaligus kelembutan dalam sorot mata itu. Seakan terhipnotis, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dan tenggelam dalam tatapan menyejukkan itu.Persis seperti warnanya yang hijau sehingga mampu memberikan ketenangan dalam hati meski hanya lewat tatapan saja.Beberapa detik setelahnya, Naina memutuskan kontak mata itu dan memilih menunduk bersamaan dengan Pak Raynald yang menurunkan tangannya. Ia merenungkan semua perkataan pria itu.Benar, Naina tidak boleh seperti ini terus. Kesedihannya tidak akan pernah mampu menghidupkan Oma Hira kembali. Oma Hira hanya membutuhkan doanya, bukan rasa sedihnya.Life must go onYa, Naina harus tetap menjalankan hidup sebaik mungkin di dunia ini. Ia lebih baik mewujudkan keinginan Oma Hira yang belum tercapai daripada berdiam diri di sini.Naina mendongak menatap langit cerah berwarna biru disertai awan halus yang berjalan perlahan. Katanya, orang yang sudah meninggal bisa melihat semua aktivitas k
“By the way, Tante Mahira pernah mengatakan bahwa kita ini mirip. Benarkah? Memangnya kita semirip apa?”Naina tertawa kecil. “Saya juga tidak tahu.”“Tetapi warna mata kita sama.”“Mungkin hanya kebetulan saja.”Pak Raynald menggeleng tidak setuju. “Saya merasa ini bukan sebuah kebetulan semata. Saya yakin pasti ada sesuatu dibaliknya.”“Iya, kata Oma setiap pertemuan pasti ada hikmahnya.”“Ck! Bukan itu yang saya maksud, Loraaa. Kau ini menyebalkan sekali.”Naina menanggapinya dengan tertawa apalagi waktu Pak Raynald ingin membuktikan sendiri melalui kamera untuk bercermin. Dan pada akhirnya jadi foto bersama.Di sisi lain, Zelda tersenyum lega melihat Naina yang sudah bisa tersenyum bahkan sampai tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat sangat seru. “Ternyata Uncle Raynald berhasil membujuk dan menghibur Lora. Tahu begitu, aku minta tolong kepadanya dari kemarin,” ujar Grissham dengan tatapan mengarah ke Naina.“Nggak nyangka sih kalau Naina bakal luluh dengan Om Ray,” t
Mira mencoba menghubungi Tuan Albern dan Zelda karena hanya memiliki kontak mereka yang notabennya majikan. Namun sayang, mereka sama sekali tidak mengangkat panggilannya setelah beberapa kali mencoba.Evan, orang kepercayaan Oma Hira yang tinggal di paviliun juga sedang sangat sibuk dan jarang pulang semenjak Oma Hira meninggal. Pria itu bilang banyak hal yang perlu diurus dan meminta Mira menjaga Naina atas permintaan Oma Hira.Mira sangat bingung tak tahu harus melakukan apa. Namun, ia tidak juga bisa berdiam diri di sini menunggu mereka datang yang ada malah membahayakan nyawa Naina.Mira berjongkok dan menyentuh lengan Naina yang masih setia memejamkan mata. “Mbak Nai, Mbak mendengarkanku kan?”Naina membuka mata dengan pandangan yang sayu dan buram. Ia berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya. “Tolong… sakit…” lirihnya.Mira membantu Naina bangkit dan memapahnya menuju ke ruang depan. Ia akan meminta tolong kepada siapapun yang datang ke rumah ini. Atau ia akan memesa
Sontak, Zelda membulatkan mata terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Rasa khawatir langsung memenuhinya hatinya.Ia pun segera bangkit, menyambar tasnya, lantas menghampiri Grissham. “Kita harus ke rumah sakit sekarang,” ajaknya dengan raut wajah panik.“Ada apa?” tanya Grissham heran dan ikut berdiri.Zelda menunjukkan pesan Mira pada sepupunya. Tanpa menunggu lagi, ia menggandeng tangan Grissham keluar ruangan dengan tergesa-gesa.“Apa Pak Seto masih menunggu?” tanya Zelda di undakan tangga.“Tentu saja. Aku memintanya menungguku.”“Kalau gitu kau berangkat bersamaku saja.” Zelda terus melangkah lebar tanpa memedulikan sekitar dengan tangan yang masih setia menggandeng Grissham.Tiba di teras butik, perempuan itu menghampiri Pak Seto yang hendak memasuki mobil entah dari mana. “Pak, saya minta tolong. Nanti Bapak pulang ke rumah utama, ya, untuk mengambil perlengkapan bayi di kamar Naina.”“Semua udah disiapkan, kok tinggal mengambil aja. Atau Bapak bisa minta tolong sama ART di ru
“Saya memiliki golongan darah A negatif dan bersedia mendonorkan darah untuk pasien.” “Om Raynald?” gumam Zelda sambil menatap orang itu. Pak Raynald berjalan mendekat dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. “Saya bersedia mendonorkan darah untuk pasien atas nama Naina Leonora.” “Baik, silakan Bapak mengikuti suster itu untuk dilakukan pengecekan dan tindakan lebih lanjut,” balas Dokter Yunita sembari menunjuk suster yang tadi ikit bersamanya. “Mari, Pak, ikut saya.” Pak Raynald hanya mengangguk dan mengikuti langkah sang suster. “Baiklah, kami akan segera melakukan tindakan operasi untuk Ibu Naina,” ucap Dokter Yunita hendak berbalik badan. “Tunggu, Dokter,” cegah Grissham membuat sang dokter mengurungkan niatnya. “Apakah boleh menemani pasien selama operasi berlangsung?” Pria itu tiba-tiba teringat dengan Naina yang selalu menagih janji Oma Hira yang akan menemaninya operasi. Ia ingin menepati janji Oma Hira kepada Naina supaya tidak menjadi beban untuk neneknya. “Moh
Grissham beralih memeluk Zelda dari samping dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya digunakan untuk menggenggam tangan sang sepupu yang terasa dingin. “Kau tak boleh berkata seperti itu, Zee. Berpikirlah positif. Kita doakan semoga mereka semua selamat. Lora dan si kembar dalam keadaan sehat, hm?” balasnya. Zelda yang menyandarkan kepalanya di dada Grissham hanya mengangguk. Tangannya melingkar di pinggang sang sepupu dan memeluknya erat berusaha mencari ketenangan di sana. Grissham sendiri sebenarnya juga merasakan hal yang sama seperti Zelda. Namun, ia berusaha mengontrol perasaannya agar tetap tenang dan menjadi penguat untuk mereka. Jika dirinya ikutan panik, malahan akan membuat suasana semakin kacau. Beberapa jam kemudian setelah sekian lama menunggu, akhirnya Dokter Yunita keluar masih memakai pakaian khas operasi berwarna biru. Semuanya pun berdiri menyambut kedatangan dokter itu. Dokter Yunita melepaskan maskernya dan menatap mereka satu-persatu. “Bayi kembar