Zelda menatap haru pemandangan di hadapannya dengan air mata yang terus berjatuhan. Bukan suami yang menemani Naina melahirkan, bukan pula seorang ayah yang pertama kali menggendong dan mengazani si kembar. Melainkan orang lain yang notabennya baru dikenal yang melakukan semua itu. Zelda menggigit bibirnya menahan isakan yang hampir lolos mengingat nasib Naina yang kurang beruntung sejak kecil. “Naina nggak sendirian. Ada kita yang selalu menemani dan menyayanginya,” ucapnya disertai sesenggukan. Grissham merangkul pundak Zelda dan mengusapnya. Sedikit banyak ia mulai mengerti tentang kehidupan Naina yang sekarang. “Lora adalah keluarga kita.” Tak lama, pintu terbuka dan muncullah Pak Raynald yang berjalan mendekat. “Bayinya sangat lucu dan menggemaskan. Apa kalian tidak ingin melihatnya?” “Nanti saja, Uncle. Kami cukup melihatnya dari sini. Yang terpenting kami sudah tahu bahwa bayinya sehat,” jawab Grissham yang dibalas anggukan oleh Zelda. Zelda menatap Pak Raynald dengan ma
Zelda menggigit kukunya merasa sangat gelisah dan bingung. Ia tidak bisa meninggalkan Naina sendirian, tetapi ia juga ingin sekali melihat kondisi baby girl. Tidak mungkin dirinya mengandalkan bodyguard. Dokter pasti akan mencari keluarga pasien atau orang yang bertanggung jawab atas pasien.Perempuan itu bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras untuk mengambil keputusan yang tepat. Hingga akhirnya ia memilih ke ruang NICU sebentar lalu kembali ke sini lagi. Iya, sepertinya itu pilihan yang tepat.Zelda menghampiri ranjang Naina. “Nai, aku tinggal sebentar nggak papa, ya? Aku ingin menengok baby girl yang katanya sedang kritis. Aku tinggal, ya. Sebentaaar aja.” Ia lantas berjalan ke arah pintu. Beberapa langkah sebelum sampai, pintu dibuka dari luar dan menampakkan Grissham dengan raut wajah yang sama paniknya. “Apa kau ingin ke ruang NICU?” tanyanya.Zelda mengangguk. “Aku ingin melihat kondisinya baby girl.”“Sebaiknya kau menunggu di sini sambil me
Naina menatap sekeliling tempatnya berpijak yang terasa sangat asing. Ia berdiri di sebuah taman yang luas dan indah. Tidak seorang pun di sini, kecuali dirinya.Hamparan berbagai macam bunga warna-warni terbentang luas di berbagai sudut. Ada pula berapa pohon yang tumbuh di sekitar taman semakin menyejukkan mata.Cuaca cerah, tetapi tidak panas menambah suasana yang damai. Angin berhembus pelan menerbangkan gamis putih yang dikenakannya.Naina memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar yang bercampur dengan wangi bunga. Ia merasakan ketenangan yang luar biasa di sini. Meski hanya sendiri, dirinya sama sekali tidak merasa takut.“Mama!”Naina membuka matanya dan menoleh. Sontak, ia langsung berkaca-kaca melihat sosok yang baru saja memanggilnya ‘Mama’. “Altair….”Beberapa meter dari posisinya, ada Altair yang berlari kencang ke arahnya. Wanita itu berlutut sambil merentangkan tangannya menyambut sang anak. “Altair, putraku.” Naina memeluk erat anakn
Tangis Naina langsung pecah ketika dua orang itu telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Ia terisak diikuti oleh bayi di gendongannya yang juga ikut menangis kencang. Naina menenangkan putrinya hingga terlelap. Ia mengusap pipi lalu mengedarkan pandangannya. Ia sendirian bersama putrinya di sini. Dirinya tidak tahu bagaimana cara agar bisa kembali.Dalam sekejap tempat ini berubah menjadi di sebuah rumah yang tidak diketahui oleh Naina, masih dengan menggendong putrinya. Ia berada di dalam ruang tamu yang sangat luas dan mewah. “Naina….”Lagi, panggilan itu membuat Naina menoleh ke belakang. Matanya membulat melihat seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya. “Mas Dhafin.”Dhafin berjalan mendekat. “Bayi siapa yang kau gendong itu, Naina?”Naina tidak menjawab melainkan semakin memeluk erat putrinya seolah akan ada yang merebut. Ia menggerakkan kakinya melangkah mundur saat Dhafin terus berjalan maju.“Kembalilah bersamaku, Naina,” ucap Dhafin dengan raut wajah sendu dan m
“Dhafin.”Arvan menepuk bahu Dhafin yang masih telungkup di atas meja. “Semuanya udah siap. Kita tinggal briefing lalu berangkat.”Dhafin mendongak lalu menegakkan tubuhnya. Ia menatap Arvan dengan sorot mata sayu. Penampilannya sedikit berantakan ditambah lagi rambut yang acak-acakan.Arvan membulatkan mata terkejut melihat wajah sahabatnya yang tampak sangat pucat. “Kamu sakit?”“Aku baik-baik aja.” Dhafin mengusap wajah dan menyunggar rambutnya guna mengusir rasa kantuk yang hampir menyerang.Arvan menyentuh kening Dhafin yang langsung ditepis oleh empunya. “Baik-baik aja apanya? Panas banget gini, gila!”Dhafin menghela napas panjang. “Cuma sedikit nggak enak badan.”“Ya, tetep aja kamu nggak sehat. Yakin kamu ingin ikut ke luar kota?” tanya Arvan dengan raut wajah khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dhafin mengangguk. “Aku nggak papa, Van,” jawabnya seraya membereskan barangnya untuk bersiap-siap.“Kamu sakit, Dhafin! Kamu itu demam tinggi. Sebaiknya kamu nggak usah ikut aja
Freya berjalan di atas catwalk dengan sangat lihai untuk memperagakan busana hasil rancangan Zelda. Senyumnya mengembang seiring dengan langkah kakinya. Ia mengangkat dagu percaya diri sambil bergerak dengan elegan. Acara fashion show malam ini memang cukup bergengsi dengan dihadiri oleh beberapa desainer terkenal. Oleh karena itu, bagi orang mendapatkan undangan khusus di acara ini merupakan suatu kehormatan dan sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Zelda menjadi salah satu tamu undangan khusus itu. Ia duduk berdampingan dengan para desainer dan berkenalan dengan mereka bahkan ada yang mengajaknya kolaborasi. Dirinya merasa sangat bangga berada di posisi ini. Pantas saja sang ayah memaksanya untuk datang, ternyata banyak sekali manfaatnya. Zelda tersenyum menatap para modelnya yang sedang beraksi di sana sambil sesekali mengobrol dengan teman baru satu profesinya. Ia mengedarkan pandangannya dan ternyata banyak orang yang hadir. Selain itu, acara ini disiarkan secara la
Tiga hari sudah Dhafin berada di luar kota. Semua pekerjaannya telah selesai dan hari ini jadwal mereka kembali pulang ke kota asal. Kini, ia sedang meneliti barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal. “Kau yakin akan pulang sendirian, Dhaf?” tanya Arvan setelah memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil inventaris perusahaan dan kembali ke teras villa. Dhafin hanya mengangguk lantas meminta tolong supirnya untuk memasukkan semua barang dalam bagasi. Ia berencana akan mampir ke suatu tempat lebih dulu sehabis dari sini. “Tapi mukamu pucat begitu. Itu artinya kau masih sakit,” ucap Arvan lagi yang terlihat keberatan Dhafin pulang sendirian bersama supir pribadinya. “Udah jauh lebih mendingan dibanding yang kemarin.” Dhafin sebetulnya masih merasakan sedikit pusing, tetapi tidak separah di hari pertama. Tubuhnya juga terasa lebih ringan sehingga masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang sendirian. “Ya, kan udah diobati bahkan dikasih infus.” Arvan menatap teman-teman timnya
Mata indah yang hampir tiga minggu ini terpejam terlihat bergerak pelan. Perlahan-lahan mata itu mulai terbuka, lalu mengerjap-ngerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retina.Tenggorokannya terasa sangat kering dengan tubuh yang lemas luar biasa. Rasanya ia tak punya daya walau hanya sekedar bersuara.Naina menggerakkan bola matanya memandang sekeliling yang ternyata berada di kamar rumah sakit. Ia menatap jendela yang tampak gelap. Itu artinya waktu menunjukkan malam hari entah pukul berapa, ditambah lagi suasana yang sangat sepi dan hening.Sudah berapa lama dirinya tidak sadar? Perlahan, Naina menggerakkan kepalanya menoleh ke arah samping kiri tepatnya di sofa. Ada Grissham yang tertidur pulas di sana. Ia melihat hanya laki-laki itu yang berada di ruangan ini.Seolah merasa diawasi, Grissham membuka matanya perlahan. Ia mengernyitkan dahi sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengumpulkan kesadarannya.Laki-laki itu langsung beranjak bangun begitu melihat Nai
Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin
“Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara
Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad
Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka
Ting!Dhafin beranjak dari posisi berbaringnya lantas mengambil ponselnya yang berdenting dalam tas kerjanya. Ia melihat ada beberapa pesan dari Arvan, salah satunya link video dari salah satu sosmed.[Tonton video itu sampai habis][Di situ Lora klarifikasi]Tanpa menunggu lama, Dhafin menekan tautan yang dikirim oleh sahabatnya dan langsung terhubung ke aplikasi TikTik.Video berdurasi lima menit itu mulai terputar. Diawali dengan Lora yang menjelaskan tentang hubungannya dengan Dhafin secara singkat. Lalu dilanjut dengan penjelasan mengenai kronologi sebernarnya waktu liburan bersama dengan dirinya. Di sana, Lora juga mencantumkan bukti berupa percakapannya bersama pengasuh si kembar.“Saya dengan Mas Dhafin tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya berkaitan dengan kepentingan anak-anak. Saya tidak melarang dan membatasi Mas Dhafin bertemu dengan mereka.”“Saya tidak ingin menjadi ibu jahat yang memisahkan anak dengan ayahnya. Mau bagaimana pun Mas Dhafin itu ayah kan
“Oh… atau jangan-jangan semua masalah yang terjadi di restorannya Lora itu juga karena ulahmu?”“Kamu menuduhku, Dhaf? Hanya demi Lora kamu tega menuduhku?” tanya Freya dengan mata yang kembali berkabut.Dhafin mendengus keras. “Aku cuma bertanya. Melihat tingkahmu yang kelewatan ini, aku jadi berpikir kalau kamulah yang menjadi dalangnya.”Plak!Freya menampar pipi Dhafin hingga tertoleh ke samping. “Tega kamu menuduhku seperti itu! Aku nggak mungkin menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit. Aku nggak segila itu, Dhaf!”Dhafin kembali menoleh ke arah Freya sambil mengusap pipinya. “Terserah apa katamu, yang pasti berhenti mengusik hidup Lora!”“Jika sekali lagi aku mendengar berita nggak bener tentang Lora dan kamulah penyebabnya, aku nggak akan tinggal diam. Kau akan berurusan denganku!” balasnya tajam.Freya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. “Kamu berubah, Dhaf. Kamu bukan Dhafin yang kukenal.”Dhafin tertawa keras hingga suaranya terdengar me