Share

102. Tawa bahagia

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-10-20 23:57:40

Naina menatap sekeliling tempatnya berpijak yang terasa sangat asing. Ia berdiri di sebuah taman yang luas dan indah. Tidak seorang pun di sini, kecuali dirinya.

Hamparan berbagai macam bunga warna-warni terbentang luas di berbagai sudut. Ada pula berapa pohon yang tumbuh di sekitar taman semakin menyejukkan mata.

Cuaca cerah, tetapi tidak panas menambah suasana yang damai. Angin berhembus pelan menerbangkan gamis putih yang dikenakannya.

Naina memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar yang bercampur dengan wangi bunga.

Ia merasakan ketenangan yang luar biasa di sini. Meski hanya sendiri, dirinya sama sekali tidak merasa takut.

“Mama!”

Naina membuka matanya dan menoleh. Sontak, ia langsung berkaca-kaca melihat sosok yang baru saja memanggilnya ‘Mama’. “Altair….”

Beberapa meter dari posisinya, ada Altair yang berlari kencang ke arahnya. Wanita itu berlutut sambil merentangkan tangannya menyambut sang anak.

“Altair, putraku.” Naina memeluk erat anakn
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   103. Firasat Buruk

    Tangis Naina langsung pecah ketika dua orang itu telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Ia terisak diikuti oleh bayi di gendongannya yang juga ikut menangis kencang. Naina menenangkan putrinya hingga terlelap. Ia mengusap pipi lalu mengedarkan pandangannya. Ia sendirian bersama putrinya di sini. Dirinya tidak tahu bagaimana cara agar bisa kembali.Dalam sekejap tempat ini berubah menjadi di sebuah rumah yang tidak diketahui oleh Naina, masih dengan menggendong putrinya. Ia berada di dalam ruang tamu yang sangat luas dan mewah. “Naina….”Lagi, panggilan itu membuat Naina menoleh ke belakang. Matanya membulat melihat seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya. “Mas Dhafin.”Dhafin berjalan mendekat. “Bayi siapa yang kau gendong itu, Naina?”Naina tidak menjawab melainkan semakin memeluk erat putrinya seolah akan ada yang merebut. Ia menggerakkan kakinya melangkah mundur saat Dhafin terus berjalan maju.“Kembalilah bersamaku, Naina,” ucap Dhafin dengan raut wajah sendu dan m

    Last Updated : 2024-10-20
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   104. Haruskah Ada Perceraian?

    “Dhafin.”Arvan menepuk bahu Dhafin yang masih telungkup di atas meja. “Semuanya udah siap. Kita tinggal briefing lalu berangkat.”Dhafin mendongak lalu menegakkan tubuhnya. Ia menatap Arvan dengan sorot mata sayu. Penampilannya sedikit berantakan ditambah lagi rambut yang acak-acakan.Arvan membulatkan mata terkejut melihat wajah sahabatnya yang tampak sangat pucat. “Kamu sakit?”“Aku baik-baik aja.” Dhafin mengusap wajah dan menyunggar rambutnya guna mengusir rasa kantuk yang hampir menyerang.Arvan menyentuh kening Dhafin yang langsung ditepis oleh empunya. “Baik-baik aja apanya? Panas banget gini, gila!”Dhafin menghela napas panjang. “Cuma sedikit nggak enak badan.”“Ya, tetep aja kamu nggak sehat. Yakin kamu ingin ikut ke luar kota?” tanya Arvan dengan raut wajah khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dhafin mengangguk. “Aku nggak papa, Van,” jawabnya seraya membereskan barangnya untuk bersiap-siap.“Kamu sakit, Dhafin! Kamu itu demam tinggi. Sebaiknya kamu nggak usah ikut aja

    Last Updated : 2024-10-21
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   105. Wanita yang Dicintai Grissham

    Freya berjalan di atas catwalk dengan sangat lihai untuk memperagakan busana hasil rancangan Zelda. Senyumnya mengembang seiring dengan langkah kakinya. Ia mengangkat dagu percaya diri sambil bergerak dengan elegan. Acara fashion show malam ini memang cukup bergengsi dengan dihadiri oleh beberapa desainer terkenal. Oleh karena itu, bagi orang mendapatkan undangan khusus di acara ini merupakan suatu kehormatan dan sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Zelda menjadi salah satu tamu undangan khusus itu. Ia duduk berdampingan dengan para desainer dan berkenalan dengan mereka bahkan ada yang mengajaknya kolaborasi. Dirinya merasa sangat bangga berada di posisi ini. Pantas saja sang ayah memaksanya untuk datang, ternyata banyak sekali manfaatnya. Zelda tersenyum menatap para modelnya yang sedang beraksi di sana sambil sesekali mengobrol dengan teman baru satu profesinya. Ia mengedarkan pandangannya dan ternyata banyak orang yang hadir. Selain itu, acara ini disiarkan secara la

    Last Updated : 2024-10-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   106. Obat Rindu Lewat Makanan

    Tiga hari sudah Dhafin berada di luar kota. Semua pekerjaannya telah selesai dan hari ini jadwal mereka kembali pulang ke kota asal. Kini, ia sedang meneliti barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal. “Kau yakin akan pulang sendirian, Dhaf?” tanya Arvan setelah memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil inventaris perusahaan dan kembali ke teras villa. Dhafin hanya mengangguk lantas meminta tolong supirnya untuk memasukkan semua barang dalam bagasi. Ia berencana akan mampir ke suatu tempat lebih dulu sehabis dari sini. “Tapi mukamu pucat begitu. Itu artinya kau masih sakit,” ucap Arvan lagi yang terlihat keberatan Dhafin pulang sendirian bersama supir pribadinya. “Udah jauh lebih mendingan dibanding yang kemarin.” Dhafin sebetulnya masih merasakan sedikit pusing, tetapi tidak separah di hari pertama. Tubuhnya juga terasa lebih ringan sehingga masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang sendirian. “Ya, kan udah diobati bahkan dikasih infus.” Arvan menatap teman-teman timnya

    Last Updated : 2024-10-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   107. Dimana Anakku?

    Mata indah yang hampir tiga minggu ini terpejam terlihat bergerak pelan. Perlahan-lahan mata itu mulai terbuka, lalu mengerjap-ngerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retina.Tenggorokannya terasa sangat kering dengan tubuh yang lemas luar biasa. Rasanya ia tak punya daya walau hanya sekedar bersuara.Naina menggerakkan bola matanya memandang sekeliling yang ternyata berada di kamar rumah sakit. Ia menatap jendela yang tampak gelap. Itu artinya waktu menunjukkan malam hari entah pukul berapa, ditambah lagi suasana yang sangat sepi dan hening.Sudah berapa lama dirinya tidak sadar? Perlahan, Naina menggerakkan kepalanya menoleh ke arah samping kiri tepatnya di sofa. Ada Grissham yang tertidur pulas di sana. Ia melihat hanya laki-laki itu yang berada di ruangan ini.Seolah merasa diawasi, Grissham membuka matanya perlahan. Ia mengernyitkan dahi sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengumpulkan kesadarannya.Laki-laki itu langsung beranjak bangun begitu melihat Nai

    Last Updated : 2024-10-23
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   108. Bertemu Baby Girl

    Melihat kebungkaman mereka, Naina merasa ada yang tidak beres. Perasaannya menjadi tidak enak. Kemungkinan terburuk merasuk dalam pikirannya apalagi mengingat ia yang melahirkan sebelum waktunya. Mungkinkah... “Putriku lahir prematur?” Kedua saudara sepupu itu masih bungkam. Mereka tidak tega jika harus menceritakan keadaan baby girl yang sebenarnya. Ditambah lagi kondisi Naina yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Mereka khawatir akan semakin memperburuk kesehatan Naina. Naina menggoyangkan lengan Zelda yang masih mengunci mulutnya bahkan menghindari bertatapan dengannya. “Zelda, jawab!” Wanita itu kemudian beralih ke Grissham. Raut wajahnya sudah tidak karuan. Antara panik, khawatir, dan takut semuanya bercampur menjadi satu. “Kak, tolong beritahu aku yang sebenarnya.” “Nai, kamu tenang, ya. Kamu jangan panik gini,” ucap Zelda membuka suara sembari menggenggam tangan Naina erat dan mengusap lengan sahabatnya. “Bagaimana aku nggak panik? Kalian kayak menutupi sesuat

    Last Updated : 2024-10-24
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   109. Nama untuk Baby Twins

    “Dokter, apakah aku boleh menyusui putriku?” tanya Naina tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat mulut baby girl yang bergerak-gerak seperti ingin menyusu. “Untuk sementara ini masih menggunakan dot dulu untuk membantu baby girl lebih mengembangkan refleks menghisap. Nanti akan ada latihan sendiri untuk DBF,” jawab dokter anak itu. “Saya sudah merasakan ASI-nya keluar, Dok. Ini saja rasanya merembes.” Naina melirik ke arah dadanya yang terlihat basah membentuk bulatan. Sejak bangun tidur tadi, wanita itu merasakan pay*daranya mengencang. Saat perjalanan ke sini, ia merasa ada yang merembes dan langsung berpikir kalau itu adalah ASI-nya. Untungnya tertutup kerudung sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Jujur saja, Naina sangat senang. Ia pikir ASI-nya tidak akan keluar mengingat dirinya yang tidak melakukan IMD waktu bayinya lahir. Dirinya takut tidak bisa memberikan ASI ekslusif untuk si kembar. “Wah, bagus itu. Kita hanya perlu merangsang supaya ASI-nya keluar lebih deras

    Last Updated : 2024-10-24
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   110. Keluarga Cemara

    Naina tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya, melainkan menatap mereka semua satu-persatu yang tampak menunggu jawabannya. Ia menghela napas panjang dan tersenyum. “Kenapa kau bertanya seperti itu, Zelda?” tanya Pak Anton kepada putrinya karena diantara mereka hanya Zelda terlihat tidak senang. Zelda melirik Naina sekilas. “Bukan apa-apa, Pa. Aku cuma khawatir Naina bakal dibilang caper dengan menyematkan nama Wirabuana di belakang nama dedek twins.” “Naina sama Dhafin kan sebentar lagi cerai yang otomatis Naina bukan bagian dari Wirabuana lagi. Aku khawatirnya Naina dituduh sengaja memanfaatkan dedek twins untuk menarik simpati mereka,” jelasnya. Naina mengangguk paham dan membenarkan perkataan Zelda dalam hati. Dirinya juga sempat mempunyai pikiran seperti itu. Sebelum memutuskan, ia sudah melalui pertimbangan matang-matang tentang nama untuk dedek twins semenjak bangun dan siap menerima apapun konsekuensi kedepannya. Wanita itu menatap Zelda dengan senyuman lalu m

    Last Updated : 2024-10-25

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   301. Jangan Terlena

    Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   300. Cemburunya Grissham

    Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   299. Berubah

    Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   298. Keputusan yang Tak Bisa Diganggu Gugat

    Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   297. Perhatian yang Timpang

    Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   296. Permintaan Maaf

    “Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   295. Permintaan untuk Datang Kembali

    Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   294. Jejak Tradisi

    Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   293. Persiapan Pernikahan

    Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status