Melihat kebungkaman mereka, Naina merasa ada yang tidak beres. Perasaannya menjadi tidak enak. Kemungkinan terburuk merasuk dalam pikirannya apalagi mengingat ia yang melahirkan sebelum waktunya. Mungkinkah... “Putriku lahir prematur?” Kedua saudara sepupu itu masih bungkam. Mereka tidak tega jika harus menceritakan keadaan baby girl yang sebenarnya. Ditambah lagi kondisi Naina yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Mereka khawatir akan semakin memperburuk kesehatan Naina. Naina menggoyangkan lengan Zelda yang masih mengunci mulutnya bahkan menghindari bertatapan dengannya. “Zelda, jawab!” Wanita itu kemudian beralih ke Grissham. Raut wajahnya sudah tidak karuan. Antara panik, khawatir, dan takut semuanya bercampur menjadi satu. “Kak, tolong beritahu aku yang sebenarnya.” “Nai, kamu tenang, ya. Kamu jangan panik gini,” ucap Zelda membuka suara sembari menggenggam tangan Naina erat dan mengusap lengan sahabatnya. “Bagaimana aku nggak panik? Kalian kayak menutupi sesuat
“Dokter, apakah aku boleh menyusui putriku?” tanya Naina tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat mulut baby girl yang bergerak-gerak seperti ingin menyusu. “Untuk sementara ini masih menggunakan dot dulu untuk membantu baby girl lebih mengembangkan refleks menghisap. Nanti akan ada latihan sendiri untuk DBF,” jawab dokter anak itu. “Saya sudah merasakan ASI-nya keluar, Dok. Ini saja rasanya merembes.” Naina melirik ke arah dadanya yang terlihat basah membentuk bulatan. Sejak bangun tidur tadi, wanita itu merasakan pay*daranya mengencang. Saat perjalanan ke sini, ia merasa ada yang merembes dan langsung berpikir kalau itu adalah ASI-nya. Untungnya tertutup kerudung sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Jujur saja, Naina sangat senang. Ia pikir ASI-nya tidak akan keluar mengingat dirinya yang tidak melakukan IMD waktu bayinya lahir. Dirinya takut tidak bisa memberikan ASI ekslusif untuk si kembar. “Wah, bagus itu. Kita hanya perlu merangsang supaya ASI-nya keluar lebih deras
Naina tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya, melainkan menatap mereka semua satu-persatu yang tampak menunggu jawabannya. Ia menghela napas panjang dan tersenyum. “Kenapa kau bertanya seperti itu, Zelda?” tanya Pak Anton kepada putrinya karena diantara mereka hanya Zelda terlihat tidak senang. Zelda melirik Naina sekilas. “Bukan apa-apa, Pa. Aku cuma khawatir Naina bakal dibilang caper dengan menyematkan nama Wirabuana di belakang nama dedek twins.” “Naina sama Dhafin kan sebentar lagi cerai yang otomatis Naina bukan bagian dari Wirabuana lagi. Aku khawatirnya Naina dituduh sengaja memanfaatkan dedek twins untuk menarik simpati mereka,” jelasnya. Naina mengangguk paham dan membenarkan perkataan Zelda dalam hati. Dirinya juga sempat mempunyai pikiran seperti itu. Sebelum memutuskan, ia sudah melalui pertimbangan matang-matang tentang nama untuk dedek twins semenjak bangun dan siap menerima apapun konsekuensi kedepannya. Wanita itu menatap Zelda dengan senyuman lalu m
“Siang ini kita menjenguk Lora, yuk. Kebetulan jadwalku banyak yang kosong hari ini. Nanti sekalian kita mampir ke Restoran Star Shine,” ajak Pak Raynald ketika tiba di ruang tamu.Setelah mengadzani baby twins waktu itu, ia menjadi jarang pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Naina karena pekerjaan yang banyak.Hanya seminggu sekali dirinya berkunjung. Itu pun tidak menentu bahkan terkadang tidak datang sebab perjalanannya juga lumayan memakan waktu. Ia hanya mendengar kabar dari sahabatnya saja, Tuan Albern.“Maaf, Mas. Hari ini aku memiliki jadwal sangat padat,” balas sang istri.Pak Raynald meredupkan tatapannya. “Padahal aku berniat mengajakmu supaya bisa memeriksa baby girl yang mengalami BBLR.”“Duh… bagaimana, ya?” Sang istri terlihat bimbang dan merasa tidak enak. “Aku udah punya janji pada beberapa pasien anak yang kutangani.”“Andai kau bekerja di RSIA Kasih Bunda, mungkin kau yang menanganinya langsung, Sweetheart.”“Aku minta maaf, Mas. Aku benar-benar nggak bisa kalau har
“Assalamu'alaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Siang ini Pak Raynald datang berkunjung dengan membawa dua paper bag besar sebagai buah tangan yang diberikan kepada Naina. Naina sendiri ditemani oleh Mira untuk menemui pria itu mengingat keduanya yang tidak memiliki hubungan keluarga agar tidak terjadi fitnah. Di tambah lagi ia yang hanya sendirian di rumah sebesar ini bersama ART lain, sementara pemilik aslinya sedang bekerja. Mereka semua duduk di ruang tamu dengan Naina yang memangku baby Zora. Sedangkan baby Azhar dipangku oleh Mira. “Ya Allah, Pak, sampai repot-repot membawa sesuatu segala. Bapak datang ke sini aja udah membuat kami senang banget,” ucap Naina yang merasa tidak enak dibawakan banyak barang oleh Pak Raynald. “Sama sekali tidak merepotkan, Lora. Ini belum seberapa bahkan saya ingin memberikan yang lebih,” balas Pak Raynald. Naina menyunggingkan senyum manis. “Terima kasih, Pak. Pasti baby twins akan sangat menyukainya.” “Sama-sama, semoga bermanfaat.” Pak Raynald
Pria itu lantas menatap intens baby Zora yang anteng di pangkuan ibunya. “Apa aku boleh menggendongnya?” izinya penuh harap. “Boleh, Om.” Naina mengubah posisi menggendongnya secara perlahan. Tangan kirinya menyangga kepala, sedangkan tangan kanannya menopang punggung hingga pant*t di bayi. Baby Zora menggeliat pelan seraya mengusap-usap wajah menggunakan tangan mungilnya. Pelan-pelan matanya terbuka dan berkedip-kedip lucu. “Uluh uluh… putri Mama udah bangun, Sayang.” Naina mencium kening dan kedua pipi bulat baby Zora. “Adek Zora ikut Grandpa Raynald, ya.” “Grandpa?” gumam Pak Raynald tak percaya Naina akan memberikan panggilan khusus seperti itu. “Not bad.” Naina melirik sejenak Pak Raynald yang duduk di sofa single lalu beranjak dari duduknya menghampiri beliau. Ia memindahkan baby Zora ke dalam gendongan Pak Raynald kemudian kembali duduk di tempatnya tadi. “Hallo, baby girl. Kau cantik sekali mirip seperti ibumu.” Pak Raynald merasa sangat bahagia yang tidak bisa diungkapka
Tok tok tok Naina yang baru selesai menidurkan baby Azhar di box bayi berjalan ke arah pintu. Ia membukanya dan mendapati Mira yang berdiri di sana. “Mbak Nai, ditunggu Nona Zelda dan Den Grissham untuk makan malam bersama di ruang makan,” beritahu Mira. “Oke, Mbak Mira. Aku akan ke sana.” Naina hendak masuk ingin melihat anaknya sekali lagi untuk memastikan benar-benar aman. “Mbak Nai.” Mira segera mencegah Naina. “Biar saya saja yang menjaga dedek twins selagi Mbak Nai pergi makan malam.” Naina mengangguk setuju. “Baiklah, titip mereka, ya. Kalau ada apa-apa segera beritahu saya.” “Siap, Mbak Nai.” Naina berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Baru dua langkah, ia berbalik. “Oh ya, Mbak udah makan belum?” “Udah, Mbak. Saya tadi makan di dapur bareng sama yang lainnya.” Naina mengangguk paham lantas menlanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia pun menikmati makan malam bersama dengan Zelda dan Grissham. Mereka memang memilih menginap di sini selama dirinya dalam masa pemuliha
Semua orang yang ada di ruang tengah menoleh guna melihat siapa orang yang baru saja berbicara itu.“Mbak Mira?” gumam Naina menatap perempuan berkerudung hitam yang berjalan mendekat.Mira berhenti di samping sofa yang diduduki Naina dan berdiri di sana. “Saya minta maaf, telah lancang dan nggak sengaja mendengar pembicaraan kalian.”“Mbak Mira ke sini? Dedek twins gimana? Sendirian dong?” tanya Naina beruntun karena merasa sedikit khawatir sekaligus gusar. Ia mulai menunjukkan sikap posesif terhadap anak-anaknya.“Saya minta maaf, Mbak, udah meninggalkan dedek twins. Mbak tenang aja, dedek twins aman dan masih bobo. Saya keluar kamar juga untuk menanyakan letak botol dot milik Adek Zora,” jawab Mira sembari memilin ujung bajunya, takut jika Naina akan memarahinya.Naina menghembuskan napas lega. Namun, sedetik kemudian ia menepuk keningnya seakan teringat sesuatu. “Botol dotnya Zora ada di tempat cuci piring. Aku lupa belum sempat mencucinya.”Mira mengangguk paham. “Nanti saya yan
Dhafin membulatkan matanya tidak menyangka. Ia menggelengkan kepalanya kuat. “Nggak, Lora. Aku nggak bisa kalau nggak bertemu dengan anak-anakku. Tolong, jangan seperti ini.”“Itu urusanmu! Bukan urusanku!” balas Lora ketus. Ia berbalik badan lalu berjalan menuju mobil Grissham. Namun, baru beberapa langkah, sebuah tangan menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan mantan suami sekaligus ayahnya anak-anak?“Lora, dengarkan aku dulu.”Lora menyentak kasar tangan Dhafin hingga terlepas kemudian melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan panggilan Dhafin. “Lora, tunggu!”“Lora!”“Lora!”Dhafin berusaha mengejar wanita itu, tetapi terlambat ketika Lora masuk ke dalam mobil milik Grissham. Ia hanya bisa menatap kepergian mobil itu dengan perasaan yang sangat berantakan. “Argh! Sialan!”Dhafin menyunggar rambutnya frustasi dan mendesah kasar. Ia berjalan kembali menghampiri orang tuanya. “Semua ini gara-gara Mama sama Papa.”“Kalau aja kalian nggak membawa Azhar tanpa izin, Lora nggak akan m
Azhar menoleh ke arah sumber suara. Kedua matanya langsung berbinar-binar begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. “Mama!” serunya lalu loncat turun dari kursi. Kaki kecilnya berlari kencang menghampiri sang ibu disertai senyuman lebar.Lora berlutut sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambut kedatangan putranya. Ia sedikit terhuyung ke belakang saat Azhar menubruk tubuhnya dan masuk dalam pelukan. Wanita itu mendekap Azhar erat-erat seolah sudah lama tidak berjumpa dan takut putranya akan pergi bila pelukan ini terlepas. Butiran air dari kelopak matanya luruh tanpa diminta. Ia bahagia sekaligus terharu akhirnya bisa menemukan Azhar setelah semalaman dibuat khawatir setengah mati. “Mama kangen banget, Sayang, Mama khawatir. Jangan pergi-pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama nggak bisa berjauhan sama Azhar.”“Mama,” panggil Azhar. Tangan kecilnya memeluk erat leher sang ibu dan menenggelamkan wajahnya di sana. Lora menangguk seraya mengusap kepala
Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin
“Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara
Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad
Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka