“Dokter, apakah aku boleh menyusui putriku?” tanya Naina tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat mulut baby girl yang bergerak-gerak seperti ingin menyusu. “Untuk sementara ini masih menggunakan dot dulu untuk membantu baby girl lebih mengembangkan refleks menghisap. Nanti akan ada latihan sendiri untuk DBF,” jawab dokter anak itu. “Saya sudah merasakan ASI-nya keluar, Dok. Ini saja rasanya merembes.” Naina melirik ke arah dadanya yang terlihat basah membentuk bulatan. Sejak bangun tidur tadi, wanita itu merasakan pay*daranya mengencang. Saat perjalanan ke sini, ia merasa ada yang merembes dan langsung berpikir kalau itu adalah ASI-nya. Untungnya tertutup kerudung sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Jujur saja, Naina sangat senang. Ia pikir ASI-nya tidak akan keluar mengingat dirinya yang tidak melakukan IMD waktu bayinya lahir. Dirinya takut tidak bisa memberikan ASI ekslusif untuk si kembar. “Wah, bagus itu. Kita hanya perlu merangsang supaya ASI-nya keluar lebih deras
Naina tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya, melainkan menatap mereka semua satu-persatu yang tampak menunggu jawabannya. Ia menghela napas panjang dan tersenyum. “Kenapa kau bertanya seperti itu, Zelda?” tanya Pak Anton kepada putrinya karena diantara mereka hanya Zelda terlihat tidak senang. Zelda melirik Naina sekilas. “Bukan apa-apa, Pa. Aku cuma khawatir Naina bakal dibilang caper dengan menyematkan nama Wirabuana di belakang nama dedek twins.” “Naina sama Dhafin kan sebentar lagi cerai yang otomatis Naina bukan bagian dari Wirabuana lagi. Aku khawatirnya Naina dituduh sengaja memanfaatkan dedek twins untuk menarik simpati mereka,” jelasnya. Naina mengangguk paham dan membenarkan perkataan Zelda dalam hati. Dirinya juga sempat mempunyai pikiran seperti itu. Sebelum memutuskan, ia sudah melalui pertimbangan matang-matang tentang nama untuk dedek twins semenjak bangun dan siap menerima apapun konsekuensi kedepannya. Wanita itu menatap Zelda dengan senyuman lalu m
“Siang ini kita menjenguk Lora, yuk. Kebetulan jadwalku banyak yang kosong hari ini. Nanti sekalian kita mampir ke Restoran Star Shine,” ajak Pak Raynald ketika tiba di ruang tamu.Setelah mengadzani baby twins waktu itu, ia menjadi jarang pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Naina karena pekerjaan yang banyak.Hanya seminggu sekali dirinya berkunjung. Itu pun tidak menentu bahkan terkadang tidak datang sebab perjalanannya juga lumayan memakan waktu. Ia hanya mendengar kabar dari sahabatnya saja, Tuan Albern.“Maaf, Mas. Hari ini aku memiliki jadwal sangat padat,” balas sang istri.Pak Raynald meredupkan tatapannya. “Padahal aku berniat mengajakmu supaya bisa memeriksa baby girl yang mengalami BBLR.”“Duh… bagaimana, ya?” Sang istri terlihat bimbang dan merasa tidak enak. “Aku udah punya janji pada beberapa pasien anak yang kutangani.”“Andai kau bekerja di RSIA Kasih Bunda, mungkin kau yang menanganinya langsung, Sweetheart.”“Aku minta maaf, Mas. Aku benar-benar nggak bisa kalau har
“Assalamu'alaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Siang ini Pak Raynald datang berkunjung dengan membawa dua paper bag besar sebagai buah tangan yang diberikan kepada Naina. Naina sendiri ditemani oleh Mira untuk menemui pria itu mengingat keduanya yang tidak memiliki hubungan keluarga agar tidak terjadi fitnah. Di tambah lagi ia yang hanya sendirian di rumah sebesar ini bersama ART lain, sementara pemilik aslinya sedang bekerja. Mereka semua duduk di ruang tamu dengan Naina yang memangku baby Zora. Sedangkan baby Azhar dipangku oleh Mira. “Ya Allah, Pak, sampai repot-repot membawa sesuatu segala. Bapak datang ke sini aja udah membuat kami senang banget,” ucap Naina yang merasa tidak enak dibawakan banyak barang oleh Pak Raynald. “Sama sekali tidak merepotkan, Lora. Ini belum seberapa bahkan saya ingin memberikan yang lebih,” balas Pak Raynald. Naina menyunggingkan senyum manis. “Terima kasih, Pak. Pasti baby twins akan sangat menyukainya.” “Sama-sama, semoga bermanfaat.” Pak Raynald
Pria itu lantas menatap intens baby Zora yang anteng di pangkuan ibunya. “Apa aku boleh menggendongnya?” izinya penuh harap. “Boleh, Om.” Naina mengubah posisi menggendongnya secara perlahan. Tangan kirinya menyangga kepala, sedangkan tangan kanannya menopang punggung hingga pant*t di bayi. Baby Zora menggeliat pelan seraya mengusap-usap wajah menggunakan tangan mungilnya. Pelan-pelan matanya terbuka dan berkedip-kedip lucu. “Uluh uluh… putri Mama udah bangun, Sayang.” Naina mencium kening dan kedua pipi bulat baby Zora. “Adek Zora ikut Grandpa Raynald, ya.” “Grandpa?” gumam Pak Raynald tak percaya Naina akan memberikan panggilan khusus seperti itu. “Not bad.” Naina melirik sejenak Pak Raynald yang duduk di sofa single lalu beranjak dari duduknya menghampiri beliau. Ia memindahkan baby Zora ke dalam gendongan Pak Raynald kemudian kembali duduk di tempatnya tadi. “Hallo, baby girl. Kau cantik sekali mirip seperti ibumu.” Pak Raynald merasa sangat bahagia yang tidak bisa diungkapka
Tok tok tok Naina yang baru selesai menidurkan baby Azhar di box bayi berjalan ke arah pintu. Ia membukanya dan mendapati Mira yang berdiri di sana. “Mbak Nai, ditunggu Nona Zelda dan Den Grissham untuk makan malam bersama di ruang makan,” beritahu Mira. “Oke, Mbak Mira. Aku akan ke sana.” Naina hendak masuk ingin melihat anaknya sekali lagi untuk memastikan benar-benar aman. “Mbak Nai.” Mira segera mencegah Naina. “Biar saya saja yang menjaga dedek twins selagi Mbak Nai pergi makan malam.” Naina mengangguk setuju. “Baiklah, titip mereka, ya. Kalau ada apa-apa segera beritahu saya.” “Siap, Mbak Nai.” Naina berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Baru dua langkah, ia berbalik. “Oh ya, Mbak udah makan belum?” “Udah, Mbak. Saya tadi makan di dapur bareng sama yang lainnya.” Naina mengangguk paham lantas menlanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia pun menikmati makan malam bersama dengan Zelda dan Grissham. Mereka memang memilih menginap di sini selama dirinya dalam masa pemuliha
Semua orang yang ada di ruang tengah menoleh guna melihat siapa orang yang baru saja berbicara itu.“Mbak Mira?” gumam Naina menatap perempuan berkerudung hitam yang berjalan mendekat.Mira berhenti di samping sofa yang diduduki Naina dan berdiri di sana. “Saya minta maaf, telah lancang dan nggak sengaja mendengar pembicaraan kalian.”“Mbak Mira ke sini? Dedek twins gimana? Sendirian dong?” tanya Naina beruntun karena merasa sedikit khawatir sekaligus gusar. Ia mulai menunjukkan sikap posesif terhadap anak-anaknya.“Saya minta maaf, Mbak, udah meninggalkan dedek twins. Mbak tenang aja, dedek twins aman dan masih bobo. Saya keluar kamar juga untuk menanyakan letak botol dot milik Adek Zora,” jawab Mira sembari memilin ujung bajunya, takut jika Naina akan memarahinya.Naina menghembuskan napas lega. Namun, sedetik kemudian ia menepuk keningnya seakan teringat sesuatu. “Botol dotnya Zora ada di tempat cuci piring. Aku lupa belum sempat mencucinya.”Mira mengangguk paham. “Nanti saya yan
Naina menghela napas lantas membalikkan tubuhnya menghadap Grissham. Lagi-lagi pertanyaan itu. Saat di rumah sakit, ia yang bertanya tidak dijawab. Sekarang malah dipertanyakan lagi. Wanita yang mengenakan daster panjang beserta kerudung itu menggeleng. “Aku sama sekali nggak mengingatmu, Kak. Yang kutahu kamu adalah cucu pertama Oma Hira, anaknya Tuan Albern, dan sepupunya Zelda. Itu saja.” Grissham menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana training panjangnya. “Aku meminta waktumu untuk berbicara berdua. Apa kau bisa?” Naina menganggukkan kepalanya. “Boleh, tapi aku ingin mengecek dedek twins dulu sebentar.” “Baiklah, aku akan menunggumu di teras dekat kolam renang.” Setelah mengatakan itu, Grissham berlalu dari sana. Naina pun melanjutkan langkahnya menuju kamar. “Bagaimana dedek twins? Rewel nggak, Mbak?” tanyanya begitu tiba di dalam kamar. “Aman kok, Mbak. Dedek twins bobo anteng. Tadi sempat kebangun sebentar terus n