“Jadi Kakak itu benar-benar Kak Sham?”“Iya, Lora. Ini aku, Sham, orang yang pernah hadir dan dekat denganmu.” Grissham menjeda sejenak ucapannya untuk melihat raut wajah Naina yang tampak menatapnya serius.“Waktu pertama kali kita bertemu lagi di rumah sakit, aku memanggilmu Lora. Kau ingat kan? Padahal kau hanya menyebutkan nama lengkapmu saja.”“Itu karena aku tahu panggilanmu yang dulu adalah Lora. Aku sengaja bilang seperti itu agar kau ingat,” ceritanya.Naina mengangguk membenarkan. “Aku sebenarnya ingat, Kak. Tapi aku nggak ingin menanggapi lebih jauh dan mungkin memang hanya kebetulan semata.”Grissham sudah bisa menebak itu mengingat kembali ekspresi Naina saat itu yang tampak terkejut. “Awalnya aku juga ragu apakah kau adalah Lora yang kukenal dulu atau bukan.”“Sebelumnya aku sudah pernah melihatmu lewat postingan dengan wajah yang tertutup. Aku juga tahu, banyak yang memiliki nama Lora. Banyak juga yang menggunakan nama Naina.”“Namun, perempuan yang bernama Naina Leonor
Pada waktu bersamaan, ibunya mengalami kritis yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Grissham ditelepon berkali-kali oleh keluarganya untuk memintanya pulang.Saat itu, ia sedang pergi ke toilet tanpa membawa apapun termasuk ponselnya. Namun, Freya dengan liciknya membiarkan saja tanpa mengangkat lalu menghapus semua jejak itu supaya acara kencannya tidak terganggu karena sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua.Grissham kembali dan melanjutkan acara kencannya di pasar malam. Ia berusaha menghargai keberadaan Freya meski dalam hati dan perasaannya tidak enak. Hingga ponselnya berdering dan ada panggilan masuk dari Zelda. Grissham segera mengangkatnya. “Ya, Zee?” tanyanya ketika telepon tersambung.“Kak Isham di mana sekarang?” tanya Zelda dengan suara parau seperti habis menangis. Hal itu membuat Grissham merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Aku….” Grissham melirik Freya sejenak yang tampak menikmati jajanan. Ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. “Aku sedang ada uru
Beberapa hari telah terlewati. Aqiqah dedek twins telah terlaksana. Begitu pula dengan Naina yang juga sudah selesai masa nifasnya. Sekarang ini, ibu dari dua anak itu sedang dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ia pergi bertiga bersama Zelda dan Mira dengan diantar supir, sedangkan Grissham katanya nanti akan menyusul setelah menyelesaikan pekerjaan. “Rumahnya agak jauh dari restoran, nggak papa, ya? Tapi aku jamin lingkungannya nyaman banget dan pastinya aman. Rumahnya juga dekat dengan fasilitas umum, jadi kalau butuh apa-apa nggak perlu jauh-jauh,” beritahu Zelda saat hendak pergi. “Nggak papa kok, Zel. Yang terpenting ada tempat tinggal yang layak untukku dan anak-anak,” balas Naina yang hanya menerima saja. Sudah untung dicarikan kontrakan dan tinggal menempati. Rasanya tidak tahu diri sekali bila mengajukan protes. “Cantik sesekali putri Mama. Semakin ke sini kecantikan Adek Zora semakin terlihat, ya.” Naina yang duduk di antara Z
Naina terbungkam tidak bisa berkata-kata. Wajahnya seketika berubah sendu. Benarkah ia pilih kasih terhadap dedek twins? Padahal dirinya sudah berusaha semaksimal mungkin agar bisa adil tanpa membedakan kasih sayang.Naina memang lebih perhatian ke baby Zora karena terlalu khawatir bila diagnosa dokter menjadi kenyataan. Ia ingin menjaga baby Zora yang memiliki tubuh sangat rentan.Tetapi ternyata apa yang dilakukannya ini salah. Tanpa sadar, Naina bersikap pilih kasih terhadap kedua anaknya. Ya, ia juga baru menyadarinya sekarang setelah diingatkan oleh Zelda.“Jangan sampai ketika udah besar nanti, mereka akan saling membenci karena kasih sayangmu yang berbeda,” lanjut Zelda mengungkapkan keresahannya.Deg!Naina mematung dengan jantung mencelos. Ia menggeleng pelan. Tidak! Dirinya tidak akan membiarkan itu terjadi. Dedek twins harus hidup rukun dan saling menyayangi layaknya saudara kandung.“Jujur, aku sama sekali nggak sadar udah bersikap pilih kasih. Tapi beneran aku nggak bern
Zelda tertawa kecil menatap Naina yang tak berhenti terperangah melihat isi dalam rumah ini. “Sebenarnya rumah ini tuh ditinggalkan pemiliknya pindah ke kota lain tanpa membawa apapun kecuali barang berharga.”“Rumah ini pun dijual, sayangnya belum ada yang cocok dengan harga yang diajukan pemilik rumah. Banyak para calon pembeli yang menawar dan jauh dari harga jual sebelumnya.”“Jadi, nggak ada titik temu. Akhirnya pemilik rumah memutuskan untuk mengontrakkan rumahnya aja biar ada yang menempati dan tidak kosong,” ceritanya panjang lebar.Naina manggut-manggut paham. Sayang sekali rumah sebagus ini ditinggalkan begitu saja. Mungkin kota yang dituju si pemilik rumah sangat jauh. Karena tidak ingin terlalu rempong membawa banyak barang, jadi ditinggalkan begitu saja.Wanita itu menepuk-nepuk pant*t baby Zora seraya berjalan mengikuti Zelda menuju area belakang. Ada kamar mandi yang terpisah antara tempat mandi dan tempat WC. Ada pula tempat loundry di sana sekaligus digunakan untuk w
Tok tok tok Dhafin yang sedang bercengkrama–lebih tepatnya mendengarkan semua keluhan Freya menoleh ke arah pintu utama yang sengaja dibuka agar tidak menimbulkan praduga negatif. Orang tuanya sedang ada acara di luar sehingga hanya dirinya dan Freya yang berada di rumah ini bersama dengan ART. Ia beranjak dari duduknya menghampiri satpam rumah yang berdiri di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya. “Ini, Den, ada kiriman untuk Aden.” Satpam itu menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Dhafin. “Dari siapa?” “Dari asistennya Pak Ridwan, Den. Beliau hanya menitipkan surat itu karena ada urusan lain yang mendesak.” Dhafin sedikit mengernyitkan kening. Pak Ridwan adalah pengacara keluarganya. Asisten beliau mengirimkan sebuah surat yang pastinya bukan surat sembarangan. Satu yang terlintas dalam benaknya. Tentang perceraiannya dengan Naina. “Kalau gitu saya permisi kembali ke depan, Den,” pamit sang satpam. Dhafin mengangguk singkat. “Terima kasih.” Ia balik badan setelah satpam it
“Saya pasti akan datang.” Dhafin ingin memperjuangkan pernikahannya dengan Naina agar tidak jadi bercerai. Meskipun sudah di ambang kehancuran, setidaknya masih ada sedikit kesempatan untuk memperjuangkan. Untuk itu, Dhafin harus mendatangi setiap undangan dari pengadilan agama. Entah harus menjalani berapa kali mediasi, ia tidak peduli. Yang terpenting dirinya dan Naina bisa bersatu kembali. “Kalau misalkan ada halangan yang membuat Pak Dhafin tidak bisa hadir, Bapak harus konfirmasi kepada saya,” ucap Pak Ridwan di seberang sana. “Baiklah.” Dhafin menjeda perkataannya sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Ia berdehem kecil ketika tiba-tiba rasa gugup melanda dirinya. “Apa… apakah Naina akan datang nantinya?” “Tentang itu, saya akan konfirmasi ke Pak Bagas lebih dulu sebagai pengacara Ibu Naina.” “Kalau bisa secepatnya, Pak.” “Setelah ini saya akan menghubungi Pak Bagas dulu. Saya akan segera memberitahu Pak Dhafin jika sudah mendapatkan informasi.” “Baik, saya tunggu.”
“Kak Sham, terima kasih banyak, ya. Kakak udah mengantar kami ke klinik.” Naina tersenyum ke arah Grissham lalu mengalihkan perhatiannya pada baby Zora yang sedang tertidur tenang di bouncer. Di dahi bayi itu terdapat fevers untuk menurunkan demam. “Sama-sama, Lora. Untungnya, aku datang tepat waktu sehingga bisa langsung mengantar kalian,” balas Grissham disertai dengan senyuman tulus. Naina menghela napas panjang seraya mengusap kepala baby Zora yang sudah digunduli. “Aku tadi benar-benar panik waktu Zora demam tinggi.” “Aku takut banget Zora akan mengalami kejang karena suhu tubuh yang terlalu tinggi. Mau cepat-cepat dibawa ke klinik, tapi belum punya kendaraan,” ucapnya. Grissham menyentuh kaki mungil baby Zora yang tidak dilapisi apapun. “Semua itu sudah berlalu. Sekarang, demam Zora mulai turun. Kita tinggal pantau kondisinya. Semoga saja semakin membaik.” Naina mengangguk pelan. “Aamiin, ya Allah. Sekali lagi makasih udah menolongku, Kak. Aku nggak tau kalau nggak ada Kak
Lora bergidik ngeri padahal Grissham mengatakannya dengan suara tenang seperti biasa. Namun, entah kenapa ia merasa merinding ketika mendengarnya.Seperti ada ancaman tersirat di dalamnya. Ia menggelengkan kepala dan memilih segera menghabiskan makanannya yang tersisa sedikit.Grissham tersenyum kecil melihat respon calon istrinya ini. Ia meletakkan sendok dan garpu ke dalam piringnya yang sudah kosong lantas mendorong ke tengah meja.Dengan tangan yang terlipat di atas meja, Grissham menatap Lora lekat-lekat. Ia memperhatikan setiap gerakan kecil wanita itu yang selalu menarik di matanya.Lora yang merasa ditatap pun menjadi salah tingkah dibuatnya meski sudah sering. Kepala tertunduk menghindari bertemu pandang dengan Grissham. “A-apaan sih, Kak? Kenapa menatapku seperti itu?”Grissham tidak menjawab melainkan mengulurkan tangannya lalu mengusap sudut bibir Lora yang terdapat sisa makanan. “Bibirmu sedikit belepotan. Rupanya kau tidak pernah berubah, ya.”Sontak, tubuh Lora menegan
“Assalamu'alaikum, Lora, calon istriku.”Lora yang semula fokus pada laptop mengangkat kepalanya lalu menyunggingkan senyum begitu melihat seseorang yang baru saja masuk. “Waalaikumsalam, Kak Sham.”Grissham berjalan menghampiri Lora yang duduk di kursi kerja dan berdiri di seberangnya. Ia menumpukan tangannya di atas meja dengan sedikit mencondongkan tubuh. “Tampaknya kau sangat sibuk. Apa kau sedang banyak pekerjaan, hm?” tanyanya.“Cuma ngecek laporan keuangan bulanan aja sih. Ini udah selesai kok.” Lora mengeluarkan semua tab dalam laptopnya lantas menekan tombol ‘Shutdown’ untuk menonaktifkan.Grissham tersenyum lebar dan menegakkan tubuhnya. “Baguslah, aku ingin mengajakmu makan siang bersama.”Lora menutup laptopnya setelah memastikan benar-benar mati. Ia beranjak dari duduknya lalu mendekati Grissham. “Boleh, mau makan dimana?”“Di sini saja agar tidak jauh-jauh. Untuk apa makan di luar kalau kita sendiri mempunyai restoran?” Grissham menggandeng tangan Lora, mengajak keluar
“Apa kau bahagia hari ini, Lora?” tanya Grissham menatap Lora yang tengah memandang ke arah langit malam.Keduanya sekarang ini duduk di salah satu kursi panjang taman samping mansion yang luas. Masih dengan memakai baju batik couple serta riasan yang belum di hapus.“Iya, aku bahagia, sangat.” Lora menatap Grissham sejenak disertai senyum manis lalu kembali menatap ke atas. “Jujur, ini pertama kalinya aku berada di momen ini. Dan aku merasa… berharga.”Grissham mengerutkan keningnya. “Pertama kali? Memangnya saat bersama Dhafin dulu kau tidak….” Ia langsung menghentikan perkataannya melihat Lora yang langsung melunturkan senyum. “Ah, iya, aku lupa.”Lora kembali menatap Grissham dengan wajah sedikit murung. “Kakak kan tau sendiri gimana pernikahanku sama Mas Dhafin. Mana ada acara lamaran kayak gini?”Grissham menjadi tidak enak. “Maaf, Lora, aku benar-benar lupa tentang itu.”Lora kembali mengulas senyuman. “Nggak papa. Makasih, ya, Kak, udah datang kemari dan menunjukkan keseriusa
Lora tidak langsung menjawab, melainkan berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila. Ia tak menduga Grissham bisa seromantis ini bahkan tanpa membawa teks.Dalam hati, wanita itu merasa terharu sekaligus dicintai sebegitu dalamnya. Sebelum menjawab, Lora mengalihkan tatapan ke arah orang tuanya. Mereka mengangguk kompak seakan memberi isyarat agar dirinya segera menjawab. Ia kembali menatap Grissham sambil menarik napasnya.“Bismillahirrahmanirrahim…. Dengan restu Ayah sama Ibun dan seluruh keluarga besar, aku bersedia menikah denganmu, Kak Sham,” ujarnya disertai senyuman.Seruan syukur terucap bebarengan hingga terdengar memenuhi ruangan. Lora menghembuskan lega, berhasil menyelesaikan bagiannya dengan lancar tanpa terbata-bata. Selanjutnya, ada pertukaran cincin. MC pun memanggil seseorang yang bertugas membawakan cincin itu. Tak lama, datanglah seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang merupakan anak dari sepupu pertama Lora. Di tangannya membawa kotak
Ruang tamu di mansion utama keluarga Kusuma yang sangat luas itu tampak indah dengan beberapa ornamen bunga sebagai hiasannya. Di bagian depan yang menjadi panggung utama terdapat dua kursi dan dekorasi sederhana bertuliskan ‘G & L’ pada dindingnya. Ya, hari ini atau lebih tepatnya malam ini acara pertunangan Lora dengan Grissham akhirnya digelar. Acaranya berlangsung secara intimate yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan orang terdekat saja. Beberapa tamu sudah mulai berdatangan karena memang acaranya dilaksanakan pukul tujuh dengan tujuan agar tidak kemalaman. Sementara itu, sang pemeran utama masih berada di kamar sedang bersiap. Ia membiarkan MUA menyiapkan penampilannya di hari istimewa ini, mulai dari make-up hingga tatanan kerudung. “Sudah selesai.” “Cantik banget, Mbak Lora.” Lora tersenyum menanggapi ucapan mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu bersiap-siap. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Di sana dirinya tampak sangat cantik dengan
Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga. “Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri. “Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan. Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin
Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.” ‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah. “Tapi, Lora–” Drrtt! Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.” “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.” Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitnya lantas berlalu meninggalkan Dhafin sendirian. “Wa’alaikumsalam.” Dhafin me
“Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku
[Assalamu'alaikum, Mas. Apa hari ini kamu ada waktu untuk bertemu?][Aku ingin membahas kelanjutan permintaan rujuk waktu itu sekaligus memberikan jawaban. Rasanya nggak enak kalau lewat telepon][Waalaikumsalam, Lora. Sepulang kantor nanti sore aku free. Ingin bertemu dimana?][Di kafe dekat kantormu aja. Bisa kan?][Bisa-bisa, sampai bertemu nanti]Itu merupakan sepengal pesan yang dikirimkan oleh Lora siang tadi. Dhafin jadi kembali teringat dengan permintaan mantan istrinya yang ingin minta petunjuk lewat sholat Istikharah selama seminggu.Tanpa terasa tibalah hari ini saatnya Dhafin mendengar jawaban itu. Sungguh, ia sangat antusias dan tidak sabar ingin segera bertemu Lora. Ia berharap jawaban yang diberikan oleh Lora sama seperti yang dirinya punya usai melaksanakan sholat Istikharah juga.Kini, pria berparas tampan itu duduk sendiriam di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Tubuhnya bersandar pada kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Ia menunggu kehadiran