Share

121. Butuh Baby Sitter

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-11-02 20:08:08

Zelda tertawa kecil menatap Naina yang tak berhenti terperangah melihat isi dalam rumah ini. “Sebenarnya rumah ini tuh ditinggalkan pemiliknya pindah ke kota lain tanpa membawa apapun kecuali barang berharga.”

“Rumah ini pun dijual, sayangnya belum ada yang cocok dengan harga yang diajukan pemilik rumah. Banyak para calon pembeli yang menawar dan jauh dari harga jual sebelumnya.”

“Jadi, nggak ada titik temu. Akhirnya pemilik rumah memutuskan untuk mengontrakkan rumahnya aja biar ada yang menempati dan tidak kosong,” ceritanya panjang lebar.

Naina manggut-manggut paham. Sayang sekali rumah sebagus ini ditinggalkan begitu saja. Mungkin kota yang dituju si pemilik rumah sangat jauh. Karena tidak ingin terlalu rempong membawa banyak barang, jadi ditinggalkan begitu saja.

Wanita itu menepuk-nepuk pant*t baby Zora seraya berjalan mengikuti Zelda menuju area belakang. Ada kamar mandi yang terpisah antara tempat mandi dan tempat WC.

Ada pula tempat loundry di sana sekaligus digunakan untuk w
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ida Wida
naina coba lihat ke depan , orang yang bukan apa"tulus mencintai mu apa kamu masih mengharapkan si dhapin yg brengs*k itu , lagian itu egois banget udah tunangan gak mau lepasin naina dasar emang maunya enak sendiri gak mikirin perasaan orang lain ......
goodnovel comment avatar
Misnawati
sambungan nya mana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   122. Surat Undangan

    Tok tok tok Dhafin yang sedang bercengkrama–lebih tepatnya mendengarkan semua keluhan Freya menoleh ke arah pintu utama yang sengaja dibuka agar tidak menimbulkan praduga negatif. Orang tuanya sedang ada acara di luar sehingga hanya dirinya dan Freya yang berada di rumah ini bersama dengan ART. Ia beranjak dari duduknya menghampiri satpam rumah yang berdiri di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya. “Ini, Den, ada kiriman untuk Aden.” Satpam itu menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Dhafin. “Dari siapa?” “Dari asistennya Pak Ridwan, Den. Beliau hanya menitipkan surat itu karena ada urusan lain yang mendesak.” Dhafin sedikit mengernyitkan kening. Pak Ridwan adalah pengacara keluarganya. Asisten beliau mengirimkan sebuah surat yang pastinya bukan surat sembarangan. Satu yang terlintas dalam benaknya. Tentang perceraiannya dengan Naina. “Kalau gitu saya permisi kembali ke depan, Den,” pamit sang satpam. Dhafin mengangguk singkat. “Terima kasih.” Ia balik badan setelah satpam it

    Last Updated : 2024-11-03
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   123. Mediasi Pertama

    “Saya pasti akan datang.” Dhafin ingin memperjuangkan pernikahannya dengan Naina agar tidak jadi bercerai. Meskipun sudah di ambang kehancuran, setidaknya masih ada sedikit kesempatan untuk memperjuangkan. Untuk itu, Dhafin harus mendatangi setiap undangan dari pengadilan agama. Entah harus menjalani berapa kali mediasi, ia tidak peduli. Yang terpenting dirinya dan Naina bisa bersatu kembali. “Kalau misalkan ada halangan yang membuat Pak Dhafin tidak bisa hadir, Bapak harus konfirmasi kepada saya,” ucap Pak Ridwan di seberang sana. “Baiklah.” Dhafin menjeda perkataannya sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Ia berdehem kecil ketika tiba-tiba rasa gugup melanda dirinya. “Apa… apakah Naina akan datang nantinya?” “Tentang itu, saya akan konfirmasi ke Pak Bagas lebih dulu sebagai pengacara Ibu Naina.” “Kalau bisa secepatnya, Pak.” “Setelah ini saya akan menghubungi Pak Bagas dulu. Saya akan segera memberitahu Pak Dhafin jika sudah mendapatkan informasi.” “Baik, saya tunggu.”

    Last Updated : 2024-11-03
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   124. Menjadi Sosok Ayah

    “Kak Sham, terima kasih banyak, ya. Kakak udah mengantar kami ke klinik.” Naina tersenyum ke arah Grissham lalu mengalihkan perhatiannya pada baby Zora yang sedang tertidur tenang di bouncer. Di dahi bayi itu terdapat fevers untuk menurunkan demam. “Sama-sama, Lora. Untungnya, aku datang tepat waktu sehingga bisa langsung mengantar kalian,” balas Grissham disertai dengan senyuman tulus. Naina menghela napas panjang seraya mengusap kepala baby Zora yang sudah digunduli. “Aku tadi benar-benar panik waktu Zora demam tinggi.” “Aku takut banget Zora akan mengalami kejang karena suhu tubuh yang terlalu tinggi. Mau cepat-cepat dibawa ke klinik, tapi belum punya kendaraan,” ucapnya. Grissham menyentuh kaki mungil baby Zora yang tidak dilapisi apapun. “Semua itu sudah berlalu. Sekarang, demam Zora mulai turun. Kita tinggal pantau kondisinya. Semoga saja semakin membaik.” Naina mengangguk pelan. “Aamiin, ya Allah. Sekali lagi makasih udah menolongku, Kak. Aku nggak tau kalau nggak ada Kak

    Last Updated : 2024-11-04
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   125. Alasan Tidak Hadir

    Naina menghela napas berat lantas mengubah posisi duduknya dengan menekuk lutut. “Aku seharian ini sama sekali nggak pegang ponsel. Sejak bangun tidur Zora rewel banget dan ternyata suhu badannya hangat.” “Dia pengennya digendong terus. Waktu ditidurkan, langsung nangis. Aku nggak bisa melakukan apapun selain menenangkan Zora. Aku kompres pakai air hangat sama ngasih ASI.” “Tapi semakin ke sini, badan Zora semakin panas hingga akhirnya demam tinggi. Aku panik banget, takut, cemas semuanya jadi satu. Untungnya ada Kak Sham yang datang dan langsung membawa kami ke klinik.” “Kamu tau, Zel? Demamnya Zora tinggi banget waktu diperiksa sama dokter di sana. Beruntung nggak sampai kejang sama nggak perlu rawat inap,” ceritanya panjang lebar. Zelda menghembuskan napas lega. “Syukurlah…. Berarti kamu nggak kemana-mana hari ini?” “Cuma ke klinik doang. Selain itu, aku pure di rumah. Aku nggak bisa kemana-mana karena Zora nggak mau ditinggal. Ini aja baru banget aku tidurkan di bouncer,” jela

    Last Updated : 2024-11-04
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   126. Harta Warisan

    Naina sedang menggendong baby Zora sambil diayun-ayunkan. Tangannya menepuk-nepuk pant*t sang anak dengan bibir yang senantiasa menyenandungkan sholawat.Malam ini baby Zora kembali rewel. Tubuhnya tidak lagi demam tinggi melainkan hanya hangat. Mungkin karena merasakan badannya yang sakit menjadikan bayi itu merengek terus.Untungnya, baby Azhar bisa diajak kompromi. Bayi itu seakan mengerti dengan kondisi adik kembarnya yang sedang sakit sehingga tidak menuntut banyak dan lebih anteng.Naina menunduk melihat putrinya yang sudah tidur dengan lelap. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya. “Adek Zora bobo di kasur, ya, biar lebih leluasa bobonya.”Dengan sangat perlahan, wanita itu melepaskan gendongan jarik lalu membaringkan baby Zora di samping baby Azhar yang sudah lebih dulu tertidur.Baby Zora menggeliat dengan mengusap-usap wajahnya menggunakan tangan mungilnya. Naina dengan sigap menepuk-nepuk pelan paha putrinya agar tidak terbangun. “Sssttt….”Ia mencium kening satu-persatu putra

    Last Updated : 2024-11-05
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   127. Surat dari Oma

    Tuan Albern tampak menghela napas. “Apa yang dikatakan Pak Firman memang benar, Naina. Kau mendapatkan sebagian harta warisan peninggalan ibu saya dan beberapa asetnya.” “Tapi kenapa harus saya, Tuan? Masih ada Zelda dan Kak Grissham sebagai cucu kandung Oma Hira, sementara saya ini bukan siapa-siapa,” sanggah Naina masih tak menyangka.“Harta warisan ini murni milik ibuku. Semua anak dan cucunya sudah mendapatkan bagian masing-masing. Ini merupakan wasiat dari Ibu untuk memberikannya kepadamu, Naina,” ujar Tuan Albern.Pak Firman menyodorkan sebuah map yang berisi sejumlah kertas beserta bulpoint ke arah Naina. “Ini, Bu. Silakan dibaca lalu ditandatangani berkas pengalihan aset atas nama Ibu Naina.”Naina membaca dengan seksama semua berkas itu. “Restoran Star Shine diberikan untukku?” tanya Naina menatap Tuan Albern meminta penjelasan.Tuan Albern menganggukkan kepalanya. “Dari awal restoran dibeli memang tujuannya untuk diberikan kepadamu. Ibu memang tidak bilang apapun, tetapi sa

    Last Updated : 2024-11-06
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   128. Lagi-lagi Perjanjian

    Pertanyaan dari Tuan Albern itu membuat Naina tersadar. Ia mengusap kedua pipinya yang basah lalu menatap berkas-berkas di atas meja.“Tolong, terima peninggalan Ibu karena merupakan wasiat terakhir dari beliau. Saya hanya menjalankan amanah saja,” kata Tuan Albern lagi.Naina memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan tegas, “baiklah, saya menerimanya. Saya bersedia menjalankan wasiat dari Oma Hira dengan sebaik mungkin.”Ia meraih pulpen bersiap untuk menandatangani berkas pengalihan aset. “Apa saja yang perlu saya tanda tangani?”Pak Firman menjelaskan sekaligus memberikan arahan kepada Naina mengenai dokumen mana saja yang wajib ditandatangani.“Terima kasih atas kerja samanya, Bu Naina,” ujarnya ketika Naina telah selesai membubuhkan tanda tangannya.“Seharusnya saya yang berterima kasih, Pak. Saya merasa tidak pantas mendapatkannya,” balas Naina dengan kepala tertunduk sambil memainkan jemari di pangkuannya.“Kau pantas dan berhak, Naina. Ibu sa

    Last Updated : 2024-11-06
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   129. Bangkitlah, Naina!

    Naina membulatkan matanya terkejut mendengarkan kata pedas yang terlontar dari mulut Evan. Seketika, hatinya berdenyut sakit disertai rasa perih tak terkira. “Apa maksudmu? Aku tidak hidup di bawah belas kasihan orang lain!” sanggahnya tidak terima.“Oh ya?” Evan tersenyum miring terkesan mengejeknya. “Kau lupa diri rupanya. Baiklah, biar kuingatkan kembali. Kau tinggal bersama kami di kelurga Steward berkat siapa?”“Kau mempunyai karir yang bagus, menjadi model dan pengelola restoran, semua itu berkat siapa? Kau berada di titik ini berkat siapa?”“Itu apa namanya kalau bukan hidup di bawah belas kasihan orang lain? Tanpa bantuan Zelda dan Oma, kau takkan bisa seperti sekarang,” cercanya.Naina mengeraskan rahangnya dengan tatapan yang menyorot tajam ke arah Evan. “Kau tak tahu apapun! Jangan seenaknya menjudge-ku!” Evan tersenyum berhasil membuat emosi Naina terpancing. “Siapa bilang aku tak tahu apapun, hm? Sebelum kau diterima Oma tinggal di rumah, aku sudah lebih dulu mencari ta

    Last Updated : 2024-11-06

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   266. Perlakuan Manis

    Lora bergidik ngeri padahal Grissham mengatakannya dengan suara tenang seperti biasa. Namun, entah kenapa ia merasa merinding ketika mendengarnya.Seperti ada ancaman tersirat di dalamnya. Ia menggelengkan kepala dan memilih segera menghabiskan makanannya yang tersisa sedikit.Grissham tersenyum kecil melihat respon calon istrinya ini. Ia meletakkan sendok dan garpu ke dalam piringnya yang sudah kosong lantas mendorong ke tengah meja.Dengan tangan yang terlipat di atas meja, Grissham menatap Lora lekat-lekat. Ia memperhatikan setiap gerakan kecil wanita itu yang selalu menarik di matanya.Lora yang merasa ditatap pun menjadi salah tingkah dibuatnya meski sudah sering. Kepala tertunduk menghindari bertemu pandang dengan Grissham. “A-apaan sih, Kak? Kenapa menatapku seperti itu?”Grissham tidak menjawab melainkan mengulurkan tangannya lalu mengusap sudut bibir Lora yang terdapat sisa makanan. “Bibirmu sedikit belepotan. Rupanya kau tidak pernah berubah, ya.”Sontak, tubuh Lora menegan

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   265. Lunch Bersama

    “Assalamu'alaikum, Lora, calon istriku.”Lora yang semula fokus pada laptop mengangkat kepalanya lalu menyunggingkan senyum begitu melihat seseorang yang baru saja masuk. “Waalaikumsalam, Kak Sham.”Grissham berjalan menghampiri Lora yang duduk di kursi kerja dan berdiri di seberangnya. Ia menumpukan tangannya di atas meja dengan sedikit mencondongkan tubuh. “Tampaknya kau sangat sibuk. Apa kau sedang banyak pekerjaan, hm?” tanyanya.“Cuma ngecek laporan keuangan bulanan aja sih. Ini udah selesai kok.” Lora mengeluarkan semua tab dalam laptopnya lantas menekan tombol ‘Shutdown’ untuk menonaktifkan.Grissham tersenyum lebar dan menegakkan tubuhnya. “Baguslah, aku ingin mengajakmu makan siang bersama.”Lora menutup laptopnya setelah memastikan benar-benar mati. Ia beranjak dari duduknya lalu mendekati Grissham. “Boleh, mau makan dimana?”“Di sini saja agar tidak jauh-jauh. Untuk apa makan di luar kalau kita sendiri mempunyai restoran?” Grissham menggandeng tangan Lora, mengajak keluar

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   264. Ajarkan Aku Mencintaimu

    “Apa kau bahagia hari ini, Lora?” tanya Grissham menatap Lora yang tengah memandang ke arah langit malam.Keduanya sekarang ini duduk di salah satu kursi panjang taman samping mansion yang luas. Masih dengan memakai baju batik couple serta riasan yang belum di hapus.“Iya, aku bahagia, sangat.” Lora menatap Grissham sejenak disertai senyum manis lalu kembali menatap ke atas. “Jujur, ini pertama kalinya aku berada di momen ini. Dan aku merasa… berharga.”Grissham mengerutkan keningnya. “Pertama kali? Memangnya saat bersama Dhafin dulu kau tidak….” Ia langsung menghentikan perkataannya melihat Lora yang langsung melunturkan senyum. “Ah, iya, aku lupa.”Lora kembali menatap Grissham dengan wajah sedikit murung. “Kakak kan tau sendiri gimana pernikahanku sama Mas Dhafin. Mana ada acara lamaran kayak gini?”Grissham menjadi tidak enak. “Maaf, Lora, aku benar-benar lupa tentang itu.”Lora kembali mengulas senyuman. “Nggak papa. Makasih, ya, Kak, udah datang kemari dan menunjukkan keseriusa

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   263. Calon Istri

    Lora tidak langsung menjawab, melainkan berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila. Ia tak menduga Grissham bisa seromantis ini bahkan tanpa membawa teks.Dalam hati, wanita itu merasa terharu sekaligus dicintai sebegitu dalamnya. Sebelum menjawab, Lora mengalihkan tatapan ke arah orang tuanya. Mereka mengangguk kompak seakan memberi isyarat agar dirinya segera menjawab. Ia kembali menatap Grissham sambil menarik napasnya.“Bismillahirrahmanirrahim…. Dengan restu Ayah sama Ibun dan seluruh keluarga besar, aku bersedia menikah denganmu, Kak Sham,” ujarnya disertai senyuman.Seruan syukur terucap bebarengan hingga terdengar memenuhi ruangan. Lora menghembuskan lega, berhasil menyelesaikan bagiannya dengan lancar tanpa terbata-bata. Selanjutnya, ada pertukaran cincin. MC pun memanggil seseorang yang bertugas membawakan cincin itu. Tak lama, datanglah seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang merupakan anak dari sepupu pertama Lora. Di tangannya membawa kotak

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   262. Melamarmu

    Ruang tamu di mansion utama keluarga Kusuma yang sangat luas itu tampak indah dengan beberapa ornamen bunga sebagai hiasannya. Di bagian depan yang menjadi panggung utama terdapat dua kursi dan dekorasi sederhana bertuliskan ‘G & L’ pada dindingnya. Ya, hari ini atau lebih tepatnya malam ini acara pertunangan Lora dengan Grissham akhirnya digelar. Acaranya berlangsung secara intimate yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan orang terdekat saja. Beberapa tamu sudah mulai berdatangan karena memang acaranya dilaksanakan pukul tujuh dengan tujuan agar tidak kemalaman. Sementara itu, sang pemeran utama masih berada di kamar sedang bersiap. Ia membiarkan MUA menyiapkan penampilannya di hari istimewa ini, mulai dari make-up hingga tatanan kerudung. “Sudah selesai.” “Cantik banget, Mbak Lora.” Lora tersenyum menanggapi ucapan mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu bersiap-siap. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Di sana dirinya tampak sangat cantik dengan

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   261. Pilihan Akhir Lora

    Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga. “Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri. “Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan. Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   260. Perjuangkan Cintamu, Dhafin!

    Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.” ‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah. “Tapi, Lora–” Drrtt! Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.” “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.” Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitnya lantas berlalu meninggalkan Dhafin sendirian. “Wa’alaikumsalam.” Dhafin me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   259. Keputusan Bulat

    “Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   258. Satu Jawaban

    [Assalamu'alaikum, Mas. Apa hari ini kamu ada waktu untuk bertemu?][Aku ingin membahas kelanjutan permintaan rujuk waktu itu sekaligus memberikan jawaban. Rasanya nggak enak kalau lewat telepon][Waalaikumsalam, Lora. Sepulang kantor nanti sore aku free. Ingin bertemu dimana?][Di kafe dekat kantormu aja. Bisa kan?][Bisa-bisa, sampai bertemu nanti]Itu merupakan sepengal pesan yang dikirimkan oleh Lora siang tadi. Dhafin jadi kembali teringat dengan permintaan mantan istrinya yang ingin minta petunjuk lewat sholat Istikharah selama seminggu.Tanpa terasa tibalah hari ini saatnya Dhafin mendengar jawaban itu. Sungguh, ia sangat antusias dan tidak sabar ingin segera bertemu Lora. Ia berharap jawaban yang diberikan oleh Lora sama seperti yang dirinya punya usai melaksanakan sholat Istikharah juga.Kini, pria berparas tampan itu duduk sendiriam di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Tubuhnya bersandar pada kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Ia menunggu kehadiran

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status