Zelda berada di sebuah restoran sedang menunggu kedatangan seseorang. Jam makan siang ini ia menyempatkan waktu untuk menemui orang itu karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.Perempuan berdarah campuran itu belum memesan makanan, melainkan hanya minuman karena ingin makan siang bersama dengan orang itu. Ia mengaduk-ngaduk jusnya sambil sesekali menatap jam tangannya.“Hai, Sayang.”Seorang laki-laki tampan yang mengenakan kemeja navy datang disertai senyuman manis lalu mencium pucuk kepala Zelda. Ia mengambil tempat duduk di hadapan perempuan yang menjadi kekasihnya ini. Zelda memasang wajah cemberut dengan bibir manyun. Ia mengetuk-mengetuk jam tangannya sebagai isyarat bahwa laki-laki itu datang melewati waktu yang dijanjikan.Laki-laki berkulit cerah itu terkekeh kecil menahan gemas. “Iya, aku sadar, aku telat. Aku minta maaf, ya, soalnya tadi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu di kantor.”“Dimaafin!” balas Zelda tidak ikhlas.Laki-laki itu tersenyum, memanggil wai
Zelda menggeleng tidak setuju. Perumpamaan macam apa itu? Kekasihnya ini selalu saja merendah. “Kalau kita nggak mencobanya, mana tahu? Kamu nggak capek apa?”“Enam tahun itu bukan waktu yang sebentar, loh. Aku ingin menunjukkan pada dunia kalau kamu adalah kekasih terbaikku.”“Aku nggak ingin lagi sembunyi-sembunyi menemuimu. Kamu nggak capek apa main rahasiaan kek gini?” keluhnya.“Aku juga sama capeknya sepertimu. Tapi seru kan?” Laki-laki itu kembali menatap Zelda dengan senyum jenaka dan menaik-turunkan kedua alisnya untuk menggoda sang kekasih.“Seru apaan? Makin nggak jelas yang ada.” Zelda mendengus keras sambil berdecak kesal. Ia melengos, enggan menatap kekasihnya. “Dulu ada Oma sebagai alasan, terus ditambah lagi ada Naina yang membuatku sering berkunjung.”“Sekarang Oma udah nggak ada, Naina juga udah pergi dari rumah. Jadi, aku nggak punya alasan untuk berkunjung ke rumah itu dan menemuimu,” ujarnya.“Kan ada Grissham,” balas laki-laki itu.Zelda memutar bola mata malas.
Dhafin mengepalkan tangan kuat hingga buku-buku jemarinya tampak memutih. Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Arvan. Sahabatnya itu sejak awal memang sangat mendukungnya berjuang untuk kembali rujuk dengan Naina. Namun, sekarang berbanding terbalik dan malah terkesan membuatnya mundur. Sahabat macam apa itu? Sebenarnya Arvan mendukungnya atau tidak?“Tenang dulu, Dhaf. Jangan keburu emosi.” Arvan menggerakkan tangannya mencegah Dhafin yang tampak seperti ingin memakannya hidup-hidup. Pria itu mengubah posisi duduk menjadi sedikit serong ke arah sahabatnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai menjelaskan. “Aku bilang seperti itu bukan asal bicara, Dhaf. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan.”“Pertama, kamu udah mengucapkan talak dua kepada Naina. Otomatis dalam agama, kalian bukan suami-istri lagi. Itu akan semakin memudahkan kalian untuk berpisah,” katanya.“Aku nggak sengaja,” sanggah Dhafin cepat menyela perkataan Arvan.“Sengaja atau nggak, talak udah
Dhafin keluar ruangan sidang dengan langkah lunglai. Semangat hidupnya telah terenggut bersamaan dengan pembacaan putusan itu. Rumah tangganya dengan Naina resmi telah berakhir. Hatinya hancur berkeping-keping tak lagi berbentuk. Ia baru menyadari perasannya yang mencintai Naina ketika sudah berpisah. Apakah ini yang dinamakan karma?Dari awal persidangan, Naina sama sekali tidak hadir dan hanya diwakilkan oleh Pak Bagas. Entah dimana wanita itu dan sesibuk apa. Sebegitu sakit hatinya kah Naina sampai-sampai enggan bertemu dengannya walau di akhir persidangan ini?“Pak Dhafin.”Dhafin menoleh dan mendapati Pak Bagas yang berjalan menghampirinya. Ia meminta Pak Ridwan untuk pulang duluan karena ada beberapa hal yang ingin dirinya sampaikan kepada Pak Bagas.“Pak Dhafin, ini ada titipan dari Ibu Naina dan meminta saya untuk menyerahkannya kepada Pak Dhafin.” Pak Bagas menyodorkan sebuah cincin yang dimasukkan ke dalam plastik klip kepada Dhafin. Dhafin menerima cincin itu dan mengam
“Senang bekerja sama dengan anda, Bu Lora.” Wanita cantik dengan balutan blezer panjang disertai kerudung segi empat itu menyunggingkan senyum ramah.Ia menyambut uluran tangan pria di depannya yang menjadi kliennya sebagai bentuk kesepakatan.“Terima kasih, Pak. Semoga kerja sama ini saling bisa menguntungkan dan menjadi berkah untuk kita semua.”Keduanya melepaskan jabat tangan mereka.Pria itu ikut tersenyum. “Aamiin.... Bu Lora tahu? Sejak awal restoran ini berdiri, saya ingin sekali mengajukan kerja sama karena saya yakin prospeknya sangat bagus. Saya memantau dulu perkembangannya, Bu.”“Dan ternyata terbukti selama hampir tiga tahun, Restoran Star Shine tak pernah surut dari pelanggan bahkan semakin terkenal. Hal itu semakin memantapkan niat saya untuk melakukan kerja sama ini,” ungkapnya.Wanita yang dipanggil Lora itu lagi-lagi tersenyum. Ia menautkan tangannya yang berada di atas meja. “Alhamdulillah, semua ini juga berkat dukungan orang-orang terdekat yang sangat saya sayan
Lora mengangguk paham dan beralih menatap kepala restoran yang bernama Fitri. Ingat dengan Fitri?Fitri ini merupakan karyawan yang dulunya hanya seorang waiter. Ia mengangkat Fitri sebagai kepala restoran karena memiliki kesetiaan sekaligus dedikasi yang tinggi.Selain itu, Fitri juga memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus sehingga mampu mengorganisir kegiatan di restoran dengan sangat baik. Ya, kurang lebih dalam satu setengah tahun ini Fitri menduduki jabatan itu. Lora sangat terbantu dengan adanya Fitri. Pekerjaannya menjadi lebih teratur dan tertata sehingga tidak keteteran.“Apa ada kendala selama satu bulan ini, Mbak Fit?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada. “Belum ada kendala yang serius sih, Mbak. Cuma kami lagi butuh karyawan baru sebagai waiter karena banyak pelanggan baru yang berdatangan. Selain itu, beberapa karyawan juga dimutasi ke restoran cabang,” jawab Fitri.“Oke, kamu open recruitment aja. Nanti kalau udah di tahap wawancara, langsung kabari saya. Biar
Ting! Suara ponsel berdenting tanda adanya pesan masuk. Lora segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja lantas membuka pesan dari Amina, baby sitter si kembar.[Assalamu'alaikum, Mbak Lora. Apa Mbak Lora sibuk? Ini si kembar pengen video call. Kira-kira bisa nggak Mbak?]Keduanya sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman manis. Tanpa membalas pesan itu, ia langsung menekan tombol panggilan video dan menunggu panggilan diangkat.Seperti inilah rutinitasnya setiap hari. Lora akan selalu menyempatkan waktu untuk melakukan video call dengan anak-anaknya agar mereka tidak merasa diabaikan dan kekurangan kasih sayang.“Mama!”Layar ponsel telah berubah dengan menampilkan wajah tampan putranya yang tengah tersenyum ke arah kamera.“Assalamu'alaikum, kesayangan Mama,” sapa Lora dengan sangat ceria.“Ayo, dijawab dulu salam mamanya.” Kali ini suara Amina terdengar meski tidak terlihat di kamera. “Waalaikum…”“Cayam,” sahut Azhar dengan suara lucunya khas balita.Lora tertawa gemas
“Ayah!” Laki-laki itu menoleh dan melepaskan kaca mata hitamnya untuk melihat lebih jelas dua anak kecil yang sedang berlari ke arahnya. Ia berlutut seraya merentangkan tangan menyambut mereka. Kedua anak yang berbeda gender itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ia mencium satu persatu kepala mereka dengan penuh kasih sayang. “Anak-anak Ayah.” Beberapa saat kemudian, pelukan ketiganya terlepas. Laki-laki yang dipanggil ‘ayah’ itu beralih mengusap kepala mereka. “Azhar dan Zora kangen Ayah tidak, hm?” tanyanya. “Tanen banet, Ayah (kangen banget, Ayah),” jawab Azhar, sedangkan Zora hanya mengangguk saja. “Kalau kangen, kiss Ayah dulu sini.” Laki-laki itu mencondongkan dan mengetuk-ngetuk pipinya sebagai isyarat agar dicium. Azhar maju dan memberikan ciuman di pipi kanan ayahnya. Laki-laki itu beralih ke Zora yang hanya terdiam di tempatnya. “Zora tidak kangen Ayah?” tanyanya dengan wajah dibuat sedih. “Oya tanen (Zora Kangen).” Tanpa diminta lagi, Zora langsung mencium pi
Dokter Radha melipat tangannya di atas meja. “Dokter Livia dipindah tugaskan di rumah sakit daerah kota Semarang. Beliau yang menunjuk Tante secara langsung untuk menjadi dokternya Dek Zora.”“Kebetulan Tante ini dokter spesialis anak yang khusus penyakit jantung, jadi pas banget bisa menangani Dek Zora. Tante juga baru dipindahkan ke rumah sakit ini. Ya, sekitar semingguan lah,” jelasnya.Lora manggut-manggut paham. “Tapi Dokter Livia nggak bilang apa-apa ke aku tentang masalah ini, Tan.”“Mungkin belum sempat. Kan pindah tugas juga butuh banyak persiapan. Nanti pasti dikabarin kok. Atau nggak kamu yang tanya duluan,” balas Dokter Radha.Lora mengangguk patuh. “Iya, Tante, nanti aku akan menghubungi Dokter Livia.”Selanjutnya, mereka berdua membahas tentang masalah penyakit Zora. Dokter Radha yang sudah terbiasa menangani pasien penyakit jantung memberikan tips agar penyakit Zora tidak mudah kambuh. Obrolan keduanya pun mengalir hingga ke pribadi bahkan sampai bertukar nomor ponsel
Ceklek! Pintu ruangan rawat inap Zora terbuka dan muncullah seorang wanita berjas putih khas dokter yang keluar bersama satu orang suster. Lora yang duduk di kursi tunggu depan ruangan langsung bangkit lalu menghampiri dokter itu diikuti oleh yang lain. Ia mengerutkan kening heran melihat dokter yang menangani Zora saat ini berbeda dengan dokter yang sebelumnya.“Bagaimana kondisi putri saya, Dokter?” tanyanya.Sang dokter tersenyum ramah. “Demamnya Adek Zora sudah mulai menurun dan kondisinya juga sudah stabil.”“Alhamdulillahirabbil ‘alamiin.” Mereka mengucap syukur serentak sebagai respon atas perkataan dokter. Ekspresi lega terpancar jelas di wajah mereka semua.Dokter wanita itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas. “Meskipun begitu Adek Zora tetap harus dirawat inap untuk memantau naik-turunnya demam.”“Apalagi Adek Zora memiliki riwayat penyakit jantung bawaan. Jika kondisinya terus stabil seperti ini, insyaallah Adek Zora akan bisa segera pulang,” jelasnya.Lora men
Dhafin membulatkan matanya tidak menyangka. Ia menggelengkan kepalanya kuat. “Nggak, Lora. Aku nggak bisa kalau nggak bertemu dengan anak-anakku. Tolong, jangan seperti ini.”“Itu urusanmu! Bukan urusanku!” balas Lora ketus. Ia berbalik badan lalu berjalan menuju mobil Grissham. Namun, baru beberapa langkah, sebuah tangan menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan mantan suami sekaligus ayahnya anak-anak?“Lora, dengarkan aku dulu.”Lora menyentak kasar tangan Dhafin hingga terlepas kemudian melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan panggilan Dhafin. “Lora, tunggu!”“Lora!”“Lora!”Dhafin berusaha mengejar wanita itu, tetapi terlambat ketika Lora masuk ke dalam mobil milik Grissham. Ia hanya bisa menatap kepergian mobil itu dengan perasaan yang sangat berantakan. “Argh! Sialan!”Dhafin menyunggar rambutnya frustasi dan mendesah kasar. Ia berjalan kembali menghampiri orang tuanya. “Semua ini gara-gara Mama sama Papa.”“Kalau aja kalian nggak membawa Azhar tanpa izin, Lora nggak akan m
Azhar menoleh ke arah sumber suara. Kedua matanya langsung berbinar-binar begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. “Mama!” serunya lalu loncat turun dari kursi. Kaki kecilnya berlari kencang menghampiri sang ibu disertai senyuman lebar.Lora berlutut sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambut kedatangan putranya. Ia sedikit terhuyung ke belakang saat Azhar menubruk tubuhnya dan masuk dalam pelukan. Wanita itu mendekap Azhar erat-erat seolah sudah lama tidak berjumpa dan takut putranya akan pergi bila pelukan ini terlepas. Butiran air dari kelopak matanya luruh tanpa diminta. Ia bahagia sekaligus terharu akhirnya bisa menemukan Azhar setelah semalaman dibuat khawatir setengah mati. “Mama kangen banget, Sayang, Mama khawatir. Jangan pergi-pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama nggak bisa berjauhan sama Azhar.”“Mama,” panggil Azhar. Tangan kecilnya memeluk erat leher sang ibu dan menenggelamkan wajahnya di sana. Lora menangguk seraya mengusap kepala
Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin
“Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara