Lora mengangguk paham dan beralih menatap kepala restoran yang bernama Fitri. Ingat dengan Fitri?Fitri ini merupakan karyawan yang dulunya hanya seorang waiter. Ia mengangkat Fitri sebagai kepala restoran karena memiliki kesetiaan sekaligus dedikasi yang tinggi.Selain itu, Fitri juga memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus sehingga mampu mengorganisir kegiatan di restoran dengan sangat baik. Ya, kurang lebih dalam satu setengah tahun ini Fitri menduduki jabatan itu. Lora sangat terbantu dengan adanya Fitri. Pekerjaannya menjadi lebih teratur dan tertata sehingga tidak keteteran.“Apa ada kendala selama satu bulan ini, Mbak Fit?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada. “Belum ada kendala yang serius sih, Mbak. Cuma kami lagi butuh karyawan baru sebagai waiter karena banyak pelanggan baru yang berdatangan. Selain itu, beberapa karyawan juga dimutasi ke restoran cabang,” jawab Fitri.“Oke, kamu open recruitment aja. Nanti kalau udah di tahap wawancara, langsung kabari saya. Biar
Ting! Suara ponsel berdenting tanda adanya pesan masuk. Lora segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja lantas membuka pesan dari Amina, baby sitter si kembar.[Assalamu'alaikum, Mbak Lora. Apa Mbak Lora sibuk? Ini si kembar pengen video call. Kira-kira bisa nggak Mbak?]Keduanya sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman manis. Tanpa membalas pesan itu, ia langsung menekan tombol panggilan video dan menunggu panggilan diangkat.Seperti inilah rutinitasnya setiap hari. Lora akan selalu menyempatkan waktu untuk melakukan video call dengan anak-anaknya agar mereka tidak merasa diabaikan dan kekurangan kasih sayang.“Mama!”Layar ponsel telah berubah dengan menampilkan wajah tampan putranya yang tengah tersenyum ke arah kamera.“Assalamu'alaikum, kesayangan Mama,” sapa Lora dengan sangat ceria.“Ayo, dijawab dulu salam mamanya.” Kali ini suara Amina terdengar meski tidak terlihat di kamera. “Waalaikum…”“Cayam,” sahut Azhar dengan suara lucunya khas balita.Lora tertawa gemas
“Ayah!” Laki-laki itu menoleh dan melepaskan kaca mata hitamnya untuk melihat lebih jelas dua anak kecil yang sedang berlari ke arahnya. Ia berlutut seraya merentangkan tangan menyambut mereka. Kedua anak yang berbeda gender itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ia mencium satu persatu kepala mereka dengan penuh kasih sayang. “Anak-anak Ayah.” Beberapa saat kemudian, pelukan ketiganya terlepas. Laki-laki yang dipanggil ‘ayah’ itu beralih mengusap kepala mereka. “Azhar dan Zora kangen Ayah tidak, hm?” tanyanya. “Tanen banet, Ayah (kangen banget, Ayah),” jawab Azhar, sedangkan Zora hanya mengangguk saja. “Kalau kangen, kiss Ayah dulu sini.” Laki-laki itu mencondongkan dan mengetuk-ngetuk pipinya sebagai isyarat agar dicium. Azhar maju dan memberikan ciuman di pipi kanan ayahnya. Laki-laki itu beralih ke Zora yang hanya terdiam di tempatnya. “Zora tidak kangen Ayah?” tanyanya dengan wajah dibuat sedih. “Oya tanen (Zora Kangen).” Tanpa diminta lagi, Zora langsung mencium pi
Lora mengangguk lantas ikut bergabung bersama anak-anaknya yang tampak asyik bermain bersama Grissham. Ia tersenyum melihat interaksi mereka layaknya ayah dan anak. Lora tahu, Grissham begitu tulus menyayangi putra-putrinya seperti anak kandungnya sendiri. Sejak si kembar masih bayi, laki-laki itu selalu menyebut dirinya sebagai ayah. Bukan hanya itu saja, Grissham bahkan mengajari mereka agar memanggilnya ayah hingga keterusan sampai sekarang. Laki-laki blesteran itu benar-benar menjadi sosok ayah yang baik untuk si kembar. Berkat Grissham pula, anak-anaknya tidak kekurangan kasih sayang seorang ayah. Mereka juga sangat dekat dan nempel dengan Grissham ketika datang berkunjung. Lora sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Toh, Grissham sendiri yang menginginkannya. Ia tidak pernah meminta Grissham agar menjadi ayahnya si kembar. Semua mengalir begitu saja tanpa adanya paksaan. “Azhar, Zora… sekarang waktunya bobo.” Makan malam bersama telah usai. Amina dan Bi Imah, ART rumah ini
“Aozora!” Lora berkata dengan tegas dan dingin. Mungkin jika di telinga orang lain terdengar seperti membentak. Ia hanya ingin menegur Zora karena tidak suka dengan sikap kasarnya. Sontak, suasana di ruang makan berubah hening bahkan Azhar yang sedari tadi terus mengoceh bersama Mira pun ikut terdiam. Zora sendiri sudah menundukkan kepalanya tanpa berani menatap sang ibu. “Mbak Lora,” tegur Mira memperingatkan. Ia menggeleng pelan saat Lora menatapnya. Di tegur seperti itu membuat Lora langsung tersadar apalagi melihat putrinya yang menunduk takut. Ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya secara berulang untuk meredakan kekesalannya. “Astaghfirullahalazim, ya Allah.” Lora mencondongkan tubuhnya ke arah baby chair Zora setelah berhasil mengendalikan emosinya. “Zora, Mama minta maaf, Sayang. Mama nggak bermaksud membentak Zora.” Tidak mendapatkan respon, wanita itu memegang dagu putrinya lantas mengangkatnya. Ia bisa melihat mata Zora yang berkaca-kaca dengan bibir menc
“Mereka nanya begitu?” tanya Zelda tidak percaya. “Iya, aku jawab Onty El lagi bekerja. Kapan-kapan akan berkunjung,” jawab Lora. “Ya Allah, twins…. Jadi semakin kangen. Bilangin ke mereka, besok aku akan ke sana.” Lora hanya membalas dengan anggukan kepala saja. Selain Grissham, Zelda juga sangat menyayangi si kembar dan dekat dengan mereka. Sering berkunjung juga, tetapi tidak sesering Grissham. “Lora, aku minta maaf, ya. Kemarin aku nggak datang ke sini. Soalnya kan….” Zelda sengaja menggantungkan perkataannya. “Iya ya, aku paham. Yang sebentar lagi mau menikah mah.” Lora tersenyum jahil seraya menyenggol lengan sahabatnya bermaksud menggoda. “Aku doakan deh semoga lancar sampai hari H.” Zelda tersenyum malu-malu dengan semburat merah menghiasi pipinya. “Aamiin….” Lora mengubah posisi duduknya menjadi serong menghadap Zelda. “Eh iya, Zel. Aku tuh benar-benar nggak nyangka banget, loh, ternyata kamu sama Evan itu sepasang kekasih.” “Udah lama lagi, bahkan sebelum aku menikah.
Lora duduk di kursi tunggu depan kamar inap yang ditempati putrinya. Ia memilih berdiam di sini barang sejenak setelah dokter menjelaskan kondisi Zora. Ia juga meminta Mira untuk masuk lebih dulu. Bukannya tidak sayang, tetapi Lora hanya ingin menata hatinya yang sedang kacau ini. Sungguh, ia tidak sanggup melihat anaknya yang lagi-lagi terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Di sampingnya, ada Grissham yang menemani. Laki-laki itu langsung datang kemari setelah mendapatkan kabar dari Mira. “Aku nggak becus jadi ibu. Gara-gara aku, Zora jadi seperti ini. Aku bukan ibu yang baik. Aku gagal,” kata Lora dengan kepala tertunduk menatap jemari di pangkuannya. Grissham menggeleng tidak setuju. “Nggak, Lora, kau bukan ibu yang gagal. Kejadian ini di luar kendali kita. Kau tetap menjadi ibu terbaik dan hebat untuk twins.” “Tidak mudah berada di posisimu yang selalu meluangkan waktu untuk mereka di tengah-tengah kesibukanmu,” balasnya. Lora menatap Grissham dengan mata berkaca-kaca. “Kam
Aritmia Itulah yang dikatakan dokter setelah hasil pemeriksaan keluar. Betapa hancurnya hati Lora sebagai seorang ibu ketika mendengar diagnosa itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha memberikan pengobatan yang terbaik untuk putrinya. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagi Zora bahkan sampai memiliki dokter langganan yang pada akhirnya menjadi dokter tetap. Setiap kontrol langsung mendatangi dokter itu atau bisa juga dengan membuat janji. “Mama jangan sedih. Zora pasti sembuh.” Ucapan Grissham itu membuat Lora tersadar dari lamunannya. Ia kembali mendekati sang putri yang tengah menatapnya. “Anan dih, Mama. Oya embuh (Jangan sedih, Mama. Zora sembuh),” kata Zora menirukan perkataan Grissham dengan bahasa sederhananya. Lora menarik sudut bibirnya membentuk senyuman haru. Ia mencium pipi Zora dengan gemas. “Iya, Sayang. Zora pasti sembuh.” Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, hari sudah berganti menjadi sore mendekati senja. Zora juga tertidur pulas sete
Dhafin tertawa pelan membuat Zelda dan beberapa orang diantara mereka melongo sejenak. Pasalnya pria yang jarang sekali tersenyum itu kini tertawa. Dan itu karena Lora! “Nggak, Lora, kamu salah paham. Mana mungkin aku nggak peduli sama putraku sendiri?”“Aku menyusun semua rencana ini tanpa melibatkan siapapun termasuk orang tuaku. Aku bertindak sendirian dengan dibantu oleh orang suruhanku.”“Sebelum kamu menyerahkan bukti itu, aku udah menemukan bukti dalam bentuk CCTV yang sangat akurat. Makanya waktu itu aku bilang percaya dengan bukti yang kamu berikan,” lontarnya. Ia menjeda sejenak untuk mengambil napas. “Bagaimana? Apa masih ada hal yang mengganjal di hatimu? Bilang aja, jangan dipendam. Aku siap menjelaskan semuanya.”Lora menggeleng pelan, semua penjelasan Dhafin sudah sangat jelas. “Semua udah clear.”Dhafin tersenyum sebagai balasan lalu mengalihkan pandangannya pada orang tua Lora. Ia pun maju untuk mencium tangan mereka dengan sopan. "Om, Tante… saya sama sekali tidak
“The last plan, now!”Tak berselang lama, suasana berubah menjadi gaduh. Ada sejumlah orang berpakaian hitam yang masuk di ballroom hotel ini dan langsung menuju panggung utama. Beberapa tamu undangan pun ada yang ikut ke depan. “Mereka itu dari pihak kepolisian yang sudah kita ajak kerja sama untuk menangkap keluarga Pak Irawan.”“Beberapa dari mereka juga menyamar sebagai tamu undangan yang merupakan bagian dari rencananya Dhafin,” jelas Pak Raynald melihat Lora yang menatapnya heran. “Ayah tahu tentang rencananya Mas Dhafin?” tanya Lora terkejut sekaligus tak menyangka. “Of course, Sweetheart. Hotel ini milik keluarga ibumu. Tentunya kami memiliki akses untuk itu bahkan pihak Dhafin yang meminta izin ke kita,” jawab Pak Raynald.“Kenapa Ayah nggak memberitahuku atau Kak Sham?” tanya Lora setengah protes. Pak Raynald terkekeh kecil seraya mencubit hidung mancung putrinya. “Biar menjadi surprise, Sayang. Sebenarnya ayah juga baru tahu dua hari sebelum acara.”Lora manggut-manggut
Dokter Radha menyunggingkan senyum manis, mengerti maksud terselubung dari pertanyaan itu.Pasti mantan sahabatnya itu berharap ia belum menemukan keberadaan putri kandungnya.“Tentu saja, aku udah bertemu dengannya. Karena itulah aku berada di sini. Ya kan, Mas?” jawabanya lugas lalu menoleh ke arah sang suami. Pak Raynald mengangguk sebagai balasan. “Baiklah, kalau begitu sekalian saya umumkan di sini.”Tatapannya menyorot pada Lora yang menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Ia tersenyum lembut dan mengangguk untuk memberikan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Dia merupakan wanita kuat yang selama ini hidup sendirian tanpa sanak saudara. Sebelum bertemu dengan kami, dia hanya mempunyai anak-anaknya yang dianggap sebagai keluarga kandung.”“Dan yang tak kalah pe pentingnya, dia hadir di sini karena diundang langsung oleh pemilik acara.”Pria berwajah bule itu menjeda ucapannya sejenak. Beberapa dari mereka tampak berbisik-bisik mempertanyakan siapakah yang menjadi put
Prok prok prok! Suara tepuk tangan itu membuat semua orang menoleh ke arah belakang. Di sana, ada Dokter Radha dan Pak Raynald sedang berjalan di tengah-tengah jalur yang langsung menuju ke panggung utama.Mereka terkejut melihat kehadiran dua orang yang sangat berpengaruh dalam dunia bisnis. Siapa yang tidak mengenal Raynald Brighton? Seorang pengusaha berdarah asing yang mengembangkan perusahaannya di Indonesia dan sudah dikenal baik oleh publik. Lalu Anuradha Kusumaningtyas, seorang dokter anak sekaligus putri tunggal dari keluarga Kusuma yang merupakan salah satu keluarga konglomerat. Semua orang yang di sana tampak tercengang sekaligus terheran-heran tak terkecuali Dhafin dan keluarganya.“Raynald Brighton?” gumam Dhafin dengan tatapan yang mengarah pada dua orang tersebut. “Untuk apa mereka kemari?” tanya Pak Daniel pada dirinya sendiri. Ia tentu saja mengenal sosok yang tengah melangkah mendekat ke arahnya itu. Meski belum pernah menjalin kerja sama, tetapi citra dari o
Dhafin mendengus keras sambil menurunkan tangannya. “Kau masih bertanya kenapa, hm? Karena kau telah melenyapkan nyawa putraku, Freya!”“Anakku yang nggak salah apa-apa harus meninggal karena keegoisanmu!” bentaknya. Ia mengulurkan tangan untuk mencengkeram kuat bahu Freya. “Sebagai ayah, jelas aku nggak terima. Dan gara-gara rayuan mautmu, aku menuduh orang yang nggak bersalah.”“Aku melakukan semua ini untuk menegakkan keadilan untuk putraku. Penjara terlalu mudah untukmu. Jadi, sebelum kau mendekam di sana, kubuat kau tersiksa lebih dulu melalui sanksi sosial.”Pria itu memandang sejenak ke arah meja Lora yang tampak berkali-kali mengusap pipinya dengan tisu. “Selain itu, aku ingin kau merasakan apa yang Lora rasakan dahulu.”“Dihujat, dibenci, dikucilkan atas kesalahan yang nggak pernah diperbuat. Bagaimana rasanya, hm? Enak kan?” tanyanya sinis.Freya menatap Dhafin dengan berlinang air mata. Ia mengepalkan tangan kuat menahan amarah yang mulai memuncak. “Kamu benar-benar kejam,
Dhafin mendengus keras sambil menurunkan tangannya. “Kau masih bertanya kenapa, hm? Karena kau telah melenyapkan nyawa putraku, Freya!”“Anakku yang nggak salah apa-apa harus meninggal karena keegoisanmu!” bentaknya. Ia mengulurkan tangan untuk mencengkeram kuat bahu Freya. “Sebagai ayah, jelas aku nggak terima. Dan gara-gara rayuan mautmu, aku menuduh orang yang nggak bersalah.”“Aku melakukan semua ini untuk menegakkan keadilan untuk putraku. Penjara terlalu mudah untukmu. Jadi, sebelum kau mendekam di sana, kubuat kau tersiksa lebih dulu melalui sanksi sosial.”Pria itu memandang sejenak ke arah meja Lora yang tampak berkali-kali mengusap pipinya dengan tisu. “Selain itu, aku ingin kau merasakan apa yang Lora rasakan dahulu.”“Dihujat, dibenci, dikucilkan atas kesalahan yang nggak pernah diperbuat. Bagaimana rasanya, hm? Enak kan?” tanyanya sinis.Freya menatap Dhafin dengan berlinang air mata. Ia mengepalkan tangan kuat menahan amarah yang mulai memuncak. “Kamu benar-benar kejam,
“Kak, semua itu rencana yang Kakak jalankan?” Lora bertanya kepada Grissham tanpa mengalihkan pandangan dari depan.Ia sangat speechless sekaligus terkejut melihat semua bukti kejahatan Freya yang ditayangkan di hadapan semua orang. Bahkan ada bukti yang bukan berasal dari dirinya. “Tidak, bukan aku.” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia menoleh bersamaan dengan Lora yang menatap ke arahnya.“Rencana yang kususun memang kurang lebih seperti itu, tetapi aku belum memberikan aba-aba kepada mereka untuk beraksi.”“Rencananya nanti setelah akad agar Pak Dhafin merasa menyesal telah menikahi perempuan yang salah,” jelasnya.Lora manggut-manggut paham. Keningnya mengerut memikirkan siapa kira-kira dalang di balik tayangan itu. “Kalau bukan Kak Sham terus siapa? Apa Ayah yang melakukannya?” Grissham menggelengkan kepala. “No! Uncle Raynald menyerahkan semuanya padaku dan terima beres saja. Ayahmu akan datang nanti setelah semuanya terbongkar.”Lora kembali menatap ke depan. Ia
Lora berjalan memasuki gedung hotel tempat akad sekaligus resepsi pernikahan Dhafin dan Freya. Di sampingnya ada Grissham yang memang ikut diundang sebagai rekan bisnis Dhafin.Ia datang sendiri tanpa membawa anak-anaknya yang dititipkan di rumah orang tua Zelda bersama Amina. Kebetulan hari ini weekend sehingga mereka bisa menjaga sekalian menghabiskan waktu dengan si kembar. Malahan dengan senang hati dititipi karena sudah sangat merindukan duo bocil itu. “Apa kau beneran baik-baik saja, Lora?” tanya Grissham saat keduanya berada dalam lift menuju lantai tempat ballroom berada.“Hm?” Lora mendongak menatap Grissham yang lebih tinggi darinya. Ia mengerjapkan mata sejenak, cukup kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba dari laki-laki itu. “Aku baik-baik aja, Kak. Kenapa memangnya?” tanyanya balik.Grissham tersenyum sambil membalas tatapan Lora tepat di kedua bola matanya. “Mungkin saja kau merasa sakit atau bagaimana melihat mantan suamimu yang menikah lagi.”“Ditambah menikahnya deng
Freya terdiam sejenak, teringat ketika dirinya mengizinkan Tika melakukan live streaming di acara itu. “Tapi kenapa nggak kamu matikan saat kita sedang party?”Terdengar suara tawa pelan di seberang sana. “Logika aja sih, Frey. Di acara itu, kita semua melakukan party dan bersenang-senang.”“Beberapa dari kita bahkan ada yang mabuk termasuk aku sendiri. Mana kepikiran buat mematikan live? Jangankan mematikan, ingat kalau live streaming masih menyala aja kagak,” jelasnya.Freya lagi-lagi terdiam. Sedikit banyak ia membenarkan perkataan Tika. Ia sendiri pun tidak ingat apalagi dirinya yang paling parah di sini. Tetapi….“Kenapa kamu malah melakukan live streaming di acara itu? Kamu sengaja, ya?” tanyanya setengah menuduh. Tika menghembuskan napas kasar. Mungkin merasa kesal karena selalu dipojokkan. “Itu udah menjadi kebiasaanku ketika kita kumpul bareng.”“Apa kamu lupa? Aku niatnya cuma pengen seru-seruan sekalian mengabadikan momen itu. Aku pun nggak pernah menduga kalau akhirnya ja