“Mereka nanya begitu?” tanya Zelda tidak percaya. “Iya, aku jawab Onty El lagi bekerja. Kapan-kapan akan berkunjung,” jawab Lora. “Ya Allah, twins…. Jadi semakin kangen. Bilangin ke mereka, besok aku akan ke sana.” Lora hanya membalas dengan anggukan kepala saja. Selain Grissham, Zelda juga sangat menyayangi si kembar dan dekat dengan mereka. Sering berkunjung juga, tetapi tidak sesering Grissham. “Lora, aku minta maaf, ya. Kemarin aku nggak datang ke sini. Soalnya kan….” Zelda sengaja menggantungkan perkataannya. “Iya ya, aku paham. Yang sebentar lagi mau menikah mah.” Lora tersenyum jahil seraya menyenggol lengan sahabatnya bermaksud menggoda. “Aku doakan deh semoga lancar sampai hari H.” Zelda tersenyum malu-malu dengan semburat merah menghiasi pipinya. “Aamiin….” Lora mengubah posisi duduknya menjadi serong menghadap Zelda. “Eh iya, Zel. Aku tuh benar-benar nggak nyangka banget, loh, ternyata kamu sama Evan itu sepasang kekasih.” “Udah lama lagi, bahkan sebelum aku menikah.
Lora duduk di kursi tunggu depan kamar inap yang ditempati putrinya. Ia memilih berdiam di sini barang sejenak setelah dokter menjelaskan kondisi Zora. Ia juga meminta Mira untuk masuk lebih dulu. Bukannya tidak sayang, tetapi Lora hanya ingin menata hatinya yang sedang kacau ini. Sungguh, ia tidak sanggup melihat anaknya yang lagi-lagi terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Di sampingnya, ada Grissham yang menemani. Laki-laki itu langsung datang kemari setelah mendapatkan kabar dari Mira. “Aku nggak becus jadi ibu. Gara-gara aku, Zora jadi seperti ini. Aku bukan ibu yang baik. Aku gagal,” kata Lora dengan kepala tertunduk menatap jemari di pangkuannya. Grissham menggeleng tidak setuju. “Nggak, Lora, kau bukan ibu yang gagal. Kejadian ini di luar kendali kita. Kau tetap menjadi ibu terbaik dan hebat untuk twins.” “Tidak mudah berada di posisimu yang selalu meluangkan waktu untuk mereka di tengah-tengah kesibukanmu,” balasnya. Lora menatap Grissham dengan mata berkaca-kaca. “Kam
Aritmia Itulah yang dikatakan dokter setelah hasil pemeriksaan keluar. Betapa hancurnya hati Lora sebagai seorang ibu ketika mendengar diagnosa itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha memberikan pengobatan yang terbaik untuk putrinya. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagi Zora bahkan sampai memiliki dokter langganan yang pada akhirnya menjadi dokter tetap. Setiap kontrol langsung mendatangi dokter itu atau bisa juga dengan membuat janji. “Mama jangan sedih. Zora pasti sembuh.” Ucapan Grissham itu membuat Lora tersadar dari lamunannya. Ia kembali mendekati sang putri yang tengah menatapnya. “Anan dih, Mama. Oya embuh (Jangan sedih, Mama. Zora sembuh),” kata Zora menirukan perkataan Grissham dengan bahasa sederhananya. Lora menarik sudut bibirnya membentuk senyuman haru. Ia mencium pipi Zora dengan gemas. “Iya, Sayang. Zora pasti sembuh.” Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, hari sudah berganti menjadi sore mendekati senja. Zora juga tertidur pulas sete
“Jadi benar, kamu adalah Naina yang menyamar menjadi Lora?” Dhafin berjalan mendekat dengan tatapan tak pernah lepas dari wanita di depannya ini.Lora menatap heran ke arah Dhafin seraya mengerutkan kening. “Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya permisi.”Wanita itu kembali menghadap depan dan mulai melangkah menjauh. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Dhafin di sini. Di antara banyaknya orang yang ada di rumah sakit terkenal ini, kenapa harus Dhafin yang ia temui? Lora hanya belum siap bertemu kembali meski sebelumnya sudah mewanti-wanti bila sewaktu-waktu dipertemukan lagi. Namun, ia tak menduga akan secepat ini.Dhafin buru-buru menahan tangan wanita yang ia yakini sebagai Naina untuk mencegah kepergiannya. “Tunggu, Naina, aku belum selesai bicara.”Lora menatap sejenak tangan Dhafin yang memegang tangannya kemudian berbalik badan. Ia menarik tangannya kuat hingga pegangan itu terlepas. “Maaf, Anda salah orang. Saya bukan Naina,” ujarnya diakhiri dengan seny
Dhafin menoleh ketika mendengar Freya yang juga memanggil Lora dengan nama Naina. Itu artinya wanita di hadapannya ini memang benar-benar Naina. Kecurigaannya dahulu terbukti bahwa sebenarnya Naina dan Lora adalah orang yang sama. Perasaannya untuk Lora pun tidak salah karena ternyata wanita itu merupakan mantan istrinya. Setelah bercerai, rasa ketertarikannya kepada Lora semakin besar. Ia sempat merasa bersalah sebab dirinya bisa secepat itu melupakan Naina dan berpindah hati pada Lora.Sekarang semuanya sudah jelas. Perasaannya kepada Lora berasal dari alam bawah sadar dan ikatan batinnya yang mengatakan bahwa Lora adalah Naina.Sementara itu, Freya terkejut melihat keberadaan wanita yang paling dibencinya berada di rumah sakit ini. Lebih mengejutkannya lagi, ia mendengar Naina dipanggil Lora oleh laki-laki di samping wanita itu. Tanpa bertanya pun dirinya sudah bisa membaca situasi.“Aku nggak menyangka akan bertemu kamu lagi setelah tiga tahun lamanya. Dan apa tadi? Lora? Tern
Plak!Lora menampar keras pipi Freya. “Keterlaluan kamu! Kau boleh menuduhku yang tidak-tidak, tapi jangan pernah menuduh anak-anakku!” marahnya dengan napas memburu. Tatapan matanya menyorot sangat tajam.Freya terkejut dan memegang pipinya yang terasa panas. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali mengendalikan ekspresinya seolah tidak terjadi apapun.“Aku kan cuma bertanya. Wajar dong,” balasnya membela diri.“Mereka jelas anak-anakku. Aku ayahnya. Jangan menuduh sembarangan,” sahut Dhafin ketus karena tidak terima. Enak saja dituduh anak orang lain. Ia sendiri yang membuatnya.Lora yang mendapatkan pembelaan dari Dhafin diam-diam tersenyum dalam hati. Sejak awal, pria itu sudah mengetahui kehamilannya. Ia yakin Dhafin tidak akan mudah percaya dengan omong kosong Freya.“Atas dasar apa kau menuduh anak-anakku seperti itu, hah?” tanyanya sengit dengan mengangkat dagu tanpa rasa takut.Freya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Gini, ya, Lora. Kamu pergi dari rumah da
Tiba di depan ruangan sang keponakan, Dhafin tidak langsung masuk, melainkan berhenti sejenak lalu menatap Freya tajam. “Diamlah!”Pria itu merasa pusing mendengarkan segala omongan Freya. Saat ini, ia sedang tidak ingin memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Ia akan mencari tahu kebenarannya sendiri nanti.Dhafin kembali melanjutkan jalannya memasuki ruangan bersama Freya yang mendampingi.“Kalian ini dari mana saja sih? Kenapa baru sampai?” tanya Davira langsung sesaat setelah keduanya tiba.“Itu, Kak, tadi kami sempat bertemu–”“Rekan kerja. Aku menyapanya dan mengobrol sedikit,” potong Dhafin sebelum Freya sempat menyelesaikan ucapannya. Ia tidak sepenuhnya berbohong karena dirinya memang benar-benar bertemu dengan Grissham yang merupakan rekan kerjanya. Ya, anggaplah seperti itu.Davira mengangguk percaya. “Ya udah, aku titip Daisha sebentar. Aku mau membersihkan diri dulu.”“Mas Sean belum ke sini?” tanya Dhafin karena tidak melihat batang hidung kakak iparnya di ruan
Dhafin bingung harus menjawab apa. Haruskah dirinya mengaku bahwa ia adalah ayahnya Aozora? Tetapi bukankah akan terkesan sangat aneh? Ia yang tidak pernah muncul dalam kehidupan Lora tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya Aozora. Mana ada orang yang percaya, kecuali Lora sendiri yang bilang.“Halo... Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya.” Mira melambaikan tangannya di depan wajah Dhafin yang tampak sedang melamun.Dhafin tersentak. Namun, ia segera menguasai diri. “Anda tidak mengenal saya?”Mira menatap Dhafin datar. “Memangnya Anda siapa yang harus saya kenal?”Benar juga, tetapi Dhafin ini kan dikenal dengan CEO Wirabuana Group. Hampir semua orang mengenalnya. Masa perempuan ini sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya? Ia merasa harga dirinya sedikit tergores.Dhafin mendadak gugup hingga membuatnya tergagap. Ingin membuat perempuan itu mati kutu, malah dirinya yang dibuat tidak berkutik. “Eee… saya... Saya itu–” Belum sempat melanjutkan, suara dering ponsel di saku celana memoto
Sore ini, Lora sedang menunggu kedatangan Dhafin di restorannya cabang dua yang sudah mulai dibuka. Ia mengedarkan pandangan menatap para pengunjung yang silih berganti masuk. Meskipun tidak seramai dulu, tetapi baginya sudah cukup membuktikan bahwa restoran ini kembali diterima oleh publik.Wanita yang mengenakan cardigan rajut warna merah muda dengan bawahan rok berwarna putih itu beralih menatap jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu sejak ia datang ke sini. Namun, belum ada tanda-tanda Dhafin akan datang padahal jarak kantornya ke restoran ini pun tidak terlalu jauh.Lora menghembuskan napas kesal. Dhafin yang membuat janji, tetapi pria itu juga yang telat. Ia bahkan sampai meninggalkan putrinya bersama dengan Grissham yang datang berkunjung sebelum dirinya berangkat tadi. Kalau dalam waktu tiga puluh menit Dhafin belum datang juga, ia akan meninggalkan restoran ini dan kembali ke rumah sakit.Sebenarnya, Lora juga tidak ingin menerima ajakan Dhafin untuk bertemu. Namun,
Dokter Radha melipat tangannya di atas meja. “Dokter Livia dipindah tugaskan di rumah sakit daerah kota Semarang. Beliau yang menunjuk Tante secara langsung untuk menjadi dokternya Dek Zora.”“Kebetulan Tante ini dokter spesialis anak yang khusus penyakit jantung, jadi pas banget bisa menangani Dek Zora. Tante juga baru dipindahkan ke rumah sakit ini. Ya, sekitar semingguan lah,” jelasnya.Lora manggut-manggut paham. “Tapi Dokter Livia nggak bilang apa-apa ke aku tentang masalah ini, Tan.”“Mungkin belum sempat. Kan pindah tugas juga butuh banyak persiapan. Nanti pasti dikabarin kok. Atau nggak kamu yang tanya duluan,” balas Dokter Radha.Lora mengangguk patuh. “Iya, Tante, nanti aku akan menghubungi Dokter Livia.”Selanjutnya, mereka berdua membahas tentang masalah penyakit Zora. Dokter Radha yang sudah terbiasa menangani pasien penyakit jantung memberikan tips agar penyakit Zora tidak mudah kambuh. Obrolan keduanya pun mengalir hingga ke pribadi bahkan sampai bertukar nomor ponsel
Ceklek! Pintu ruangan rawat inap Zora terbuka dan muncullah seorang wanita berjas putih khas dokter yang keluar bersama satu orang suster. Lora yang duduk di kursi tunggu depan ruangan langsung bangkit lalu menghampiri dokter itu diikuti oleh yang lain. Ia mengerutkan kening heran melihat dokter yang menangani Zora saat ini berbeda dengan dokter yang sebelumnya.“Bagaimana kondisi putri saya, Dokter?” tanyanya.Sang dokter tersenyum ramah. “Demamnya Adek Zora sudah mulai menurun dan kondisinya juga sudah stabil.”“Alhamdulillahirabbil ‘alamiin.” Mereka mengucap syukur serentak sebagai respon atas perkataan dokter. Ekspresi lega terpancar jelas di wajah mereka semua.Dokter wanita itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas. “Meskipun begitu Adek Zora tetap harus dirawat inap untuk memantau naik-turunnya demam.”“Apalagi Adek Zora memiliki riwayat penyakit jantung bawaan. Jika kondisinya terus stabil seperti ini, insyaallah Adek Zora akan bisa segera pulang,” jelasnya.Lora men
Dhafin membulatkan matanya tidak menyangka. Ia menggelengkan kepalanya kuat. “Nggak, Lora. Aku nggak bisa kalau nggak bertemu dengan anak-anakku. Tolong, jangan seperti ini.”“Itu urusanmu! Bukan urusanku!” balas Lora ketus. Ia berbalik badan lalu berjalan menuju mobil Grissham. Namun, baru beberapa langkah, sebuah tangan menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan mantan suami sekaligus ayahnya anak-anak?“Lora, dengarkan aku dulu.”Lora menyentak kasar tangan Dhafin hingga terlepas kemudian melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan panggilan Dhafin. “Lora, tunggu!”“Lora!”“Lora!”Dhafin berusaha mengejar wanita itu, tetapi terlambat ketika Lora masuk ke dalam mobil milik Grissham. Ia hanya bisa menatap kepergian mobil itu dengan perasaan yang sangat berantakan. “Argh! Sialan!”Dhafin menyunggar rambutnya frustasi dan mendesah kasar. Ia berjalan kembali menghampiri orang tuanya. “Semua ini gara-gara Mama sama Papa.”“Kalau aja kalian nggak membawa Azhar tanpa izin, Lora nggak akan m
Azhar menoleh ke arah sumber suara. Kedua matanya langsung berbinar-binar begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. “Mama!” serunya lalu loncat turun dari kursi. Kaki kecilnya berlari kencang menghampiri sang ibu disertai senyuman lebar.Lora berlutut sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambut kedatangan putranya. Ia sedikit terhuyung ke belakang saat Azhar menubruk tubuhnya dan masuk dalam pelukan. Wanita itu mendekap Azhar erat-erat seolah sudah lama tidak berjumpa dan takut putranya akan pergi bila pelukan ini terlepas. Butiran air dari kelopak matanya luruh tanpa diminta. Ia bahagia sekaligus terharu akhirnya bisa menemukan Azhar setelah semalaman dibuat khawatir setengah mati. “Mama kangen banget, Sayang, Mama khawatir. Jangan pergi-pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama nggak bisa berjauhan sama Azhar.”“Mama,” panggil Azhar. Tangan kecilnya memeluk erat leher sang ibu dan menenggelamkan wajahnya di sana. Lora menangguk seraya mengusap kepala
Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin
“Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim