Dhafin bingung harus menjawab apa. Haruskah dirinya mengaku bahwa ia adalah ayahnya Aozora? Tetapi bukankah akan terkesan sangat aneh? Ia yang tidak pernah muncul dalam kehidupan Lora tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya Aozora. Mana ada orang yang percaya, kecuali Lora sendiri yang bilang.“Halo... Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya.” Mira melambaikan tangannya di depan wajah Dhafin yang tampak sedang melamun.Dhafin tersentak. Namun, ia segera menguasai diri. “Anda tidak mengenal saya?”Mira menatap Dhafin datar. “Memangnya Anda siapa yang harus saya kenal?”Benar juga, tetapi Dhafin ini kan dikenal dengan CEO Wirabuana Group. Hampir semua orang mengenalnya. Masa perempuan ini sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya? Ia merasa harga dirinya sedikit tergores.Dhafin mendadak gugup hingga membuatnya tergagap. Ingin membuat perempuan itu mati kutu, malah dirinya yang dibuat tidak berkutik. “Eee… saya... Saya itu–” Belum sempat melanjutkan, suara dering ponsel di saku celana memoto
“What?! Seriously? Kamu bertemu dengan Lora yang ternyata adalah Naina?”“Iya, aku akan menceritakannya nanti.”“Kenapa Naina–maksudku Lora bisa ada di sana? Sedang menjenguk orang sakit atau–”“Aozora, Putriku yang sakit,” potong Dhafin.“Sakit apa?” tanya Arvan.“Aku nggak tau. Makanya aku ingin mencari tau semuanya. Ini adalah kesempatanku mumpung bertemu mereka,” jawab Dhafin lantas mengalihkan pandangannya pada bunga bougenville di depan sana.“Benar, gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Jangan sia-siakan,” saran Arvan.Dhafin menghela napas berat. “Tapi aku nggak yakin Lora mau menemuiku apalagi mengizinkanku bertemu Aozora.”“Dicoba aja dulu. Diterima atau ditolak itu urusan belakangan. Mau bagaimanapun kamu adalah ayahnya yang berhak bertemu.”Dhafin mengangguk. “Ya, mungkin besok.”Pria itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sebelas. Terlalu mepet bila harus mencari tahu tentang penyakit Aozora karena ia juga harus kembali ke kantor. “Setengah dua belas ak
Sudah tiga hari Zora dirawat inap. Kondisinya berangsur-angsur pulih. Kata dokter, besok sudah diperbolehkan pulang.Selama tiga hari ini, Lora senantiasa mendampingi Zora dan sama sekali tidak pulang ke rumah. Ia khawatir bila dirinya pulang, Zora akan mencarinya dan malah semakin memperburuk kesehatan gadis kecil itu.Untuk masalah Azhar, Lora merasa tenang meninggalkan putranya di rumah karena sudah ada Zelda yang menginap.Ada pula Evan dan Grissham yang setiap hari datang berkunjung sehingga membuat Azhar tidak merasa sendirian.Lora juga tidak serta merta mengabaikan Azhar begitu saja. Ia selalu melakukan video call guna memantau dan mengetahui apa saja kegiatan Azhar tanpa kehadiran dirinya sekaligus memberikan perhatian.Untung saja Azhar itu termasuk anak yang pintar dan penurut sehingga tidak memaksa menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk kembarannya.Terkait dengan pekerjaan, Lora menyerahkan dan mempercayakan semuanya pada Mira. Ia meminta Mira memantau kondisi semua res
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h
Plak!“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.Sayangnya, ia justru didorong menjauh.Bugh!“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ib
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang
[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]Deg!Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!][Iblis berkedok manusia][Dasar pembunuh!][Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!][Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa][Pembunuh!!
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h
Sudah tiga hari Zora dirawat inap. Kondisinya berangsur-angsur pulih. Kata dokter, besok sudah diperbolehkan pulang.Selama tiga hari ini, Lora senantiasa mendampingi Zora dan sama sekali tidak pulang ke rumah. Ia khawatir bila dirinya pulang, Zora akan mencarinya dan malah semakin memperburuk kesehatan gadis kecil itu.Untuk masalah Azhar, Lora merasa tenang meninggalkan putranya di rumah karena sudah ada Zelda yang menginap.Ada pula Evan dan Grissham yang setiap hari datang berkunjung sehingga membuat Azhar tidak merasa sendirian.Lora juga tidak serta merta mengabaikan Azhar begitu saja. Ia selalu melakukan video call guna memantau dan mengetahui apa saja kegiatan Azhar tanpa kehadiran dirinya sekaligus memberikan perhatian.Untung saja Azhar itu termasuk anak yang pintar dan penurut sehingga tidak memaksa menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk kembarannya.Terkait dengan pekerjaan, Lora menyerahkan dan mempercayakan semuanya pada Mira. Ia meminta Mira memantau kondisi semua res
“What?! Seriously? Kamu bertemu dengan Lora yang ternyata adalah Naina?”“Iya, aku akan menceritakannya nanti.”“Kenapa Naina–maksudku Lora bisa ada di sana? Sedang menjenguk orang sakit atau–”“Aozora, Putriku yang sakit,” potong Dhafin.“Sakit apa?” tanya Arvan.“Aku nggak tau. Makanya aku ingin mencari tau semuanya. Ini adalah kesempatanku mumpung bertemu mereka,” jawab Dhafin lantas mengalihkan pandangannya pada bunga bougenville di depan sana.“Benar, gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Jangan sia-siakan,” saran Arvan.Dhafin menghela napas berat. “Tapi aku nggak yakin Lora mau menemuiku apalagi mengizinkanku bertemu Aozora.”“Dicoba aja dulu. Diterima atau ditolak itu urusan belakangan. Mau bagaimanapun kamu adalah ayahnya yang berhak bertemu.”Dhafin mengangguk. “Ya, mungkin besok.”Pria itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sebelas. Terlalu mepet bila harus mencari tahu tentang penyakit Aozora karena ia juga harus kembali ke kantor. “Setengah dua belas ak
Dhafin bingung harus menjawab apa. Haruskah dirinya mengaku bahwa ia adalah ayahnya Aozora? Tetapi bukankah akan terkesan sangat aneh? Ia yang tidak pernah muncul dalam kehidupan Lora tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya Aozora. Mana ada orang yang percaya, kecuali Lora sendiri yang bilang.“Halo... Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya.” Mira melambaikan tangannya di depan wajah Dhafin yang tampak sedang melamun.Dhafin tersentak. Namun, ia segera menguasai diri. “Anda tidak mengenal saya?”Mira menatap Dhafin datar. “Memangnya Anda siapa yang harus saya kenal?”Benar juga, tetapi Dhafin ini kan dikenal dengan CEO Wirabuana Group. Hampir semua orang mengenalnya. Masa perempuan ini sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya? Ia merasa harga dirinya sedikit tergores.Dhafin mendadak gugup hingga membuatnya tergagap. Ingin membuat perempuan itu mati kutu, malah dirinya yang dibuat tidak berkutik. “Eee… saya... Saya itu–” Belum sempat melanjutkan, suara dering ponsel di saku celana memoto
Tiba di depan ruangan sang keponakan, Dhafin tidak langsung masuk, melainkan berhenti sejenak lalu menatap Freya tajam. “Diamlah!”Pria itu merasa pusing mendengarkan segala omongan Freya. Saat ini, ia sedang tidak ingin memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Ia akan mencari tahu kebenarannya sendiri nanti.Dhafin kembali melanjutkan jalannya memasuki ruangan bersama Freya yang mendampingi.“Kalian ini dari mana saja sih? Kenapa baru sampai?” tanya Davira langsung sesaat setelah keduanya tiba.“Itu, Kak, tadi kami sempat bertemu–”“Rekan kerja. Aku menyapanya dan mengobrol sedikit,” potong Dhafin sebelum Freya sempat menyelesaikan ucapannya. Ia tidak sepenuhnya berbohong karena dirinya memang benar-benar bertemu dengan Grissham yang merupakan rekan kerjanya. Ya, anggaplah seperti itu.Davira mengangguk percaya. “Ya udah, aku titip Daisha sebentar. Aku mau membersihkan diri dulu.”“Mas Sean belum ke sini?” tanya Dhafin karena tidak melihat batang hidung kakak iparnya di ruan
Plak!Lora menampar keras pipi Freya. “Keterlaluan kamu! Kau boleh menuduhku yang tidak-tidak, tapi jangan pernah menuduh anak-anakku!” marahnya dengan napas memburu. Tatapan matanya menyorot sangat tajam.Freya terkejut dan memegang pipinya yang terasa panas. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali mengendalikan ekspresinya seolah tidak terjadi apapun.“Aku kan cuma bertanya. Wajar dong,” balasnya membela diri.“Mereka jelas anak-anakku. Aku ayahnya. Jangan menuduh sembarangan,” sahut Dhafin ketus karena tidak terima. Enak saja dituduh anak orang lain. Ia sendiri yang membuatnya.Lora yang mendapatkan pembelaan dari Dhafin diam-diam tersenyum dalam hati. Sejak awal, pria itu sudah mengetahui kehamilannya. Ia yakin Dhafin tidak akan mudah percaya dengan omong kosong Freya.“Atas dasar apa kau menuduh anak-anakku seperti itu, hah?” tanyanya sengit dengan mengangkat dagu tanpa rasa takut.Freya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Gini, ya, Lora. Kamu pergi dari rumah da
Dhafin menoleh ketika mendengar Freya yang juga memanggil Lora dengan nama Naina. Itu artinya wanita di hadapannya ini memang benar-benar Naina. Kecurigaannya dahulu terbukti bahwa sebenarnya Naina dan Lora adalah orang yang sama. Perasaannya untuk Lora pun tidak salah karena ternyata wanita itu merupakan mantan istrinya. Setelah bercerai, rasa ketertarikannya kepada Lora semakin besar. Ia sempat merasa bersalah sebab dirinya bisa secepat itu melupakan Naina dan berpindah hati pada Lora.Sekarang semuanya sudah jelas. Perasaannya kepada Lora berasal dari alam bawah sadar dan ikatan batinnya yang mengatakan bahwa Lora adalah Naina.Sementara itu, Freya terkejut melihat keberadaan wanita yang paling dibencinya berada di rumah sakit ini. Lebih mengejutkannya lagi, ia mendengar Naina dipanggil Lora oleh laki-laki di samping wanita itu. Tanpa bertanya pun dirinya sudah bisa membaca situasi.“Aku nggak menyangka akan bertemu kamu lagi setelah tiga tahun lamanya. Dan apa tadi? Lora? Tern
“Jadi benar, kamu adalah Naina yang menyamar menjadi Lora?” Dhafin berjalan mendekat dengan tatapan tak pernah lepas dari wanita di depannya ini.Lora menatap heran ke arah Dhafin seraya mengerutkan kening. “Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya permisi.”Wanita itu kembali menghadap depan dan mulai melangkah menjauh. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Dhafin di sini. Di antara banyaknya orang yang ada di rumah sakit terkenal ini, kenapa harus Dhafin yang ia temui? Lora hanya belum siap bertemu kembali meski sebelumnya sudah mewanti-wanti bila sewaktu-waktu dipertemukan lagi. Namun, ia tak menduga akan secepat ini.Dhafin buru-buru menahan tangan wanita yang ia yakini sebagai Naina untuk mencegah kepergiannya. “Tunggu, Naina, aku belum selesai bicara.”Lora menatap sejenak tangan Dhafin yang memegang tangannya kemudian berbalik badan. Ia menarik tangannya kuat hingga pegangan itu terlepas. “Maaf, Anda salah orang. Saya bukan Naina,” ujarnya diakhiri dengan seny
Aritmia Itulah yang dikatakan dokter setelah hasil pemeriksaan keluar. Betapa hancurnya hati Lora sebagai seorang ibu ketika mendengar diagnosa itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha memberikan pengobatan yang terbaik untuk putrinya. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagi Zora bahkan sampai memiliki dokter langganan yang pada akhirnya menjadi dokter tetap. Setiap kontrol langsung mendatangi dokter itu atau bisa juga dengan membuat janji. “Mama jangan sedih. Zora pasti sembuh.” Ucapan Grissham itu membuat Lora tersadar dari lamunannya. Ia kembali mendekati sang putri yang tengah menatapnya. “Anan dih, Mama. Oya embuh (Jangan sedih, Mama. Zora sembuh),” kata Zora menirukan perkataan Grissham dengan bahasa sederhananya. Lora menarik sudut bibirnya membentuk senyuman haru. Ia mencium pipi Zora dengan gemas. “Iya, Sayang. Zora pasti sembuh.” Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, hari sudah berganti menjadi sore mendekati senja. Zora juga tertidur pulas sete