Lora menarik kasar tangannya dari genggaman Dhafin. Wajah yang selalu menampilkan ekspresi datar itu tampak memelas dan sendu. Ada sorot mata penyesalan dalam mata tajam milik mantan suaminya.Ia tidak tahu apakah semua itu dari dalam lubuk hati atau hanya pura-pura agar keinginannya tercapai. Namun, yang pasti dirinya tidak akan mudah tertipu oleh sikap Dhafin yang kadang berubah-ubah.“Lebih baik sekarang kamu pulang, Mas,” ucapnya seraya memalingkan wajah.“Lora… tolong.” Dhafin tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Lora. Wanita itu sangat keras kepala yang tidak mudah digoyahkan.“Apa sebegitu fatalkah kesalahanku sampai-sampai kamu nggak memberiku kesempatan?” tanyanya.“Sudahlah, Mas, mending pulang aja.” Lora masih berpaling muka untuk menyembunyikan air mata yang mulai luruh. Ia pun mengusapnya supaya tidak ketahuan.Dhafin menghela napas panjang untuk mengisi stok kesabarannya. “Lora, aku punya hak atas anakku. Kau tak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan a
Lora menegakkan tubuhnya dan menatap Dhafin sengit. “Kenapa memangnya?! Mau bilang kalau aku bukan ibu yang baik? Ibu yang nggak becus jaga anaknya sampai bisa sakit? Iya?!”“Aku nggak bilang seperti itu,” balas Dhafin dengan santai.“Iya, tapi kamu pasti akan menuduhku kan? Seperti dulu, kamu yang selalu menyalahkanku atas apa yang terjadi sama Altair tanpa mau mendengar penjelasanku.”“Suudzon mulu.”“Bukan suudzon, tapi memang fakta!”Dhafin memilih diam tanpa membalas perkataan Lora lagi. Jika diteruskan, pasti akan merembet kemana-mana yang berujung mengungkit kesalahannya di masa lalu.Bukan tidak ingin mengakui kesalahan, tetapi bila diungkit terus-menerus membuatnya semakin merasa bersalah dan merutuki kebodohannya dulu.“Zora, putri Papa tidurnya nyenyak sekali. Kapan bangun, Sayang? Papa ingin memeluk dan mengajak Zora bermain,” ucapnya dengan tangan yang masih setia mengusap kepala Zora.Pria itu mengamati putrinya dengan seksama. Ia mengerutkan kening ketika menyadari sesu
Lora menyingkir untuk memberikan ruang pada Grissham mendekati Zora. Ia berjalan menghampiri Dhafin dan memilih berdiri di samping pria itu.Ada rasa khawatir sekaligus tidak enak dengan Dhafin yang melihat putrinya memanggil Grissham dengan sebutan ayah. Namun, dirinya tidak bisa mengontrol ucapan Zora karena masih kecil dan belum mengerti apa-apa.Lora juga tidak menyangka Grissham tiba di sini dalam waktu cepat pada saat masih ada mantan suaminya. Ia tidak tahu apakah ini akan menimbulkan masalah baru atau tidak.Akan tetapi, dirinya merasa akan ada sesuatu yang terjadi setelah ini.“Ayah…” panggil Zora dengan sangat antusias. “Halo, Zora cantik.” Grissham tersenyum manis sambil melambaikan tangan kecil. Ia memeluk sebentar tubuh mungil Zora lalu memberikan ciuman di kening.“Zora baru bangun tidur, ya?” tanyanya saat melihat rambut kecoklatan sebahu milik Zora berantakan. Ia merapikannya dengan menyisipkan beberapa helai di belakang daun telinga.Laki-laki itu menelisik wajah Zor
Dhafin masih terbungkam. Sungguh, ia tidak bermaksud menuduh Lora seperti itu. Amarah yang belum sepenuhnya hilang terpancing kembali sehingga membuatnya kelepasan.Semua yang dilihatnya ini sangat mendukung tuduhan itu. Hatinya menjadi ragu, tetapi.... “Kamu juga mau bilang kalau Zora itu anak hasil perselingkuhan kami, iya?!” Lora berseru dengan suara lantang.“Lora!” tegur semua orang yang berada di sini. Mereka merasa ucapan Lora sudah keterlaluan apalagi didengar oleh Zora.Lora memandang satu-persatu para orang di ruangan ini dan berakhir menatap Dhafin. Ia maju selangkah lagi. “Kau bisa tes DNA untuk membuktikan kalau Zora benar-benar putrimu.”“Oke! Aku akan tes DNA,” balas Dhafin datar setelah beberapa saat terdiam.Lora melebarkan matanya tidak percaya. Ia pikir Dhafin akan menolak karena sudah yakin bahwa Zora benar-benar putrinya. Dirinya bilang begitu untuk menantang sekaligus mengetes Dhafin. Namun ternyata…. Ia tertawa sarkas. “Gila kamu! Itu artinya kamu meragukan put
Dhafin mengikuti langkah Lora sambil menoleh ke arah putrinya yang sudah turun dari gendongan Grissham. Di sana, Zora terlihat bahagia bermain bersama Grissham. Ia ingin sekali berada di posisi itu, tetapi dirinya harus bersabar.Sesampainya di luar, dua orang itu menempati kursi panjang di depan ruangan. Mereka duduk berdampingan dengan jarak satu kursi.Untuk beberapa menit, keduanya saling bungkam dan larut dalam pikiran masing-masing.Dhafin berhehem untuk memecah keheningan lantas menoleh ke samping. “Kau kemana aja?” “Aku nggak kemana-mana. Aku masih di sini, di kota ini. Hanya saja kamu yang nggak tau keberadaanku,” jawab Lora datar tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan seakan-akan ada objek yang menarik di sana.“Selama ini kau tinggal di mana?” tanya Dhafin lagi.Lora menatap Dhafin sejenak sebelum kembali memandang ke arah depan. “Kamu pastinya udah bisa menebak, bukan?”“Zelda?”Lora mengangguk tanpa memandang Dhafin. “Sejak keluar dari rumah sakit waktu itu, Zelda ya
“Onty El, Dek Oya ma Mama mana?” Azhar bertanya kepada Zelda sambil celingukan ke arah luar pelataran rumah. Ia duduk di kursi teras dengan kaki yang digerak-gerakkan khas balita.Zelda yang duduk di kursi satunya samping Azhar menghela napas dan mengulas senyum. Ini sudah ke sekian kali Azhar menanyakan itu. “Masih dalam perjalanan, Sayang.”“Tok yama banet (Kok lama banget)?” Azhar mengerucutkan bibirnya hingga kedua pipinya menggembung yang malah terlihat sangat menggemaskan.“Perjalanannya jauh, jadi lama,” jawab Zelda dengan sabarnya. Maklum, anak kecil sukanya banyak tanya walau sudah dijawab berkali-kali.“Kakak Azhar,” panggil Amina yang baru saja keluar rumah. Ia berjalan mendekati Azhar dan berlutut di dekat kaki bocah itu.“Bi Mah udah membuat cemilan kesukaan Kakak. Kita makan sama-sama, yuk, sambil menunggu Dek Zora,” ajaknya sembari mengelus kepala Azhar.Azhar menggeleng. “Njang mau nundu Dek Oya duyu. Anti matan macama (Azhar mau nunggu Dek Zora dulu. Nanti makan sam
Azhar mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu lalu memeluk Lora erat. “Njang tanen Mama (Azhar kangen Mama).”Lora membalas pelukan Azhar tak kalah eratnya sekaligus gemas. “Mama juga kangen banget banget sama Azhar.”Wanita itu menciumi wajah putra kecilnya yang empat hari ini tidak ditemuinya. Setelah merasa puas, ia bangkit berdiri lantas mengernyit heran melihat ada mobil asing yang terparkir di pelataran rumah ini. “Itu mobil siapa? Ada tamu, ya?” tanyanya pada Zelda. Zelda mengangguk sebagai jawaban. “Kamu tau nggak siapa tamunya?”Lora menggeleng karena memang tidak tahu. Mobil itu juga tampak asing di matanya. “Memangnya siapa?”Tak lama setelah itu, Pak Raynald muncul dari dalam rumah. “Surprise!”“Om Raynald!” Lora berseru bahagia dengan mata berbinar-binar. Ia sama sekali tidak menyangka Pak Raynald akan mendatangi rumahnya lagi setelah sekian lama. Terakhir bertemu sepertinya satu bulan yang lalu.Pak Raynald berjalan menghampiri. “Hai, Lora,” sapanya. Lora mencium pu
“Papa tumben pulang jam segini?” Bu Anita menyambut suaminya pulang dari kantor. Ia meraih tas kerja dari tangan Pak Daniel usai mencium tangan sang suami.“Tidak terlalu banyak pekerjaan di kantor, jadi bisa pulang cepat,” jawab Pak Daniel datar.“Dhafin mana? Nggak pulang bareng Papa?” tanya Bu Anita sambil melongok keluar rumah. Pasalnya, tadi pagi suami dan anaknya berangkat di mobil yang sama karena mobil Dhafin sedang diservis di bengkel. Namun, sekarang Pak Daniel malah datang sendirian.“Dari jam tiga tadi udah nggak ada di kantor. Entah kemana anak itu.” Pak Daniel melangkah memasuki ruang tamu lantas mendudukkan tubuhnya yang terasa sangat lelah di atas sofa.“Yaudah, biarin aja. Mungkin sedang ada urusan lain. Atau mungkin sedang kencan bersama Freya.” Bu Anita ikut duduk di samping suaminya setelah meletakkan tas kerja di meja. Wanita setengah baya itu mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah Pak Daniel. “Eh, Pa, udah tau berita ter-update belum?”“Berita yang ba
Waktu terus bergerak ke depan, tak bisa diulang walau hanya satu detik. Hari-hari melaju cepat seolah-olah tak mengenal lelah, membiarkan matahari terbit dan tenggelam tanpa jeda.Hubungan Grissham dan Lora perlahan kembali ke titik terang. Tak ada lagi salah paham yang menyesakkan, tak ada lagi diam-diaman yang mendinginkan hati. Kalimat-kalimat yang sempat tersendat, kini telah mengalir kembali, jujur dan penuh pemahaman. Keduanya saling belajar menurunkan ego dan lebih memilih tenang daripada menang.Grissham mulai menerapkan satu per satu nasihat dari sang ayah. Ia menyampaikan isi hatinya pada Lora dalam sebuah percakapan yang tenang dan terbuka. Lora mendengarkan, lalu mengangguk pelan, seolah mengamini langkah baru mereka.Keduanya pun sepakat untuk lebih fokus pada pekerjaan masing-masing agar bisa mengambil cuti panjang menjelang hari bahagia mereka.Hari-hari selanjutnya dipenuhi oleh kesibukan. Jadwal mereka mulai tumpang tindih, membuat pertemuan menjadi hal yang langka.
Pak Albern menyunggingkan senyum lebih lebar, bangga melihat kematangan yang mulai tumbuh dalam diri putranya. “Bagus itu,” ujarnya sembari mengangguk. “Kau boleh saja marah, cemburu, atau bahkan mendiamkan Lora. Tapi jangan terlalu lama.” Ia menyandarkan punggung ke sofa, kedua tangannya bertaut di atas paha, ekspresi wajahnya berubah serius namun tetap hangat. “Ingat, Grissham.” “Jagalah baik-baik hubunganmu dengan Lora. Jaga pula komunikasi di antara kalian, walau hanya lewat pesan singkat. Itu sangat penting dalam sebuah hubungan.” Nadanya mengendur, seolah mengajarkan sesuatu yang lahir dari pengalaman panjang hidupnya. “Kelak dalam kehidupan rumah tangga, sembilan puluh persen masalah bisa diselesaikan atau justru bertambah rumit karena komunikasi. Kalau dari awal sudah retak, bagaimana nanti kedepannya?” Pak Albern menoleh, menatap Grissham dengan mata penuh kebapakan. “Kalau ada yang mengganjal di hatimu, ungkapkan semuanya. Bicarakan baik-baik dan cari solusi bersama.”
Mentari jingga tergelincir ke ufuk barat. Cahaya senja yang meredup memantulkan semburat keemasan di lantai marmer ketika Grissham menapakkan kaki di kediaman keluarga Steward. Langkahnya terlihat gontai, seolah ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Gurat kelelahan tergambar jelas di wajahnya yang rupawan tanpa mampu disembunyikan. “Assalamu'alaikum,” ucapnya begitu memasuki rumah. Kebiasaan kecil itu sudah melekat dalam dirinya. Sebuah ajaran sederhana yang diwariskan Lora—katanya, dari almarhum sang nenek. Ia selalu melafalkannya, setiap kali melewati ambang pintu, entah ada orang di dalam atau tidak. Bahkan di kantornya, kebiasaan itu tetap ia lakukan. “Waalaikumsalam.” Grissham tersentak kaget. Langkahnya otomatis terhenti. Suara balasan itu terdengar jelas, membuatnya cepat menoleh ke arah sumbernya. Di sofa ruang tamu, di bawah cahaya temaram senja, seorang pria paruh baya duduk santai. Salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain, sementara kedua matany
Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir
Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda
Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den
Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya
“Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal