“Senang bekerja sama dengan anda, Bu Lora.” Wanita cantik dengan balutan blezer panjang disertai kerudung segi empat itu menyunggingkan senyum ramah.Ia menyambut uluran tangan pria di depannya yang menjadi kliennya sebagai bentuk kesepakatan.“Terima kasih, Pak. Semoga kerja sama ini saling bisa menguntungkan dan menjadi berkah untuk kita semua.”Keduanya melepaskan jabat tangan mereka.Pria itu ikut tersenyum. “Aamiin.... Bu Lora tahu? Sejak awal restoran ini berdiri, saya ingin sekali mengajukan kerja sama karena saya yakin prospeknya sangat bagus. Saya memantau dulu perkembangannya, Bu.”“Dan ternyata terbukti selama hampir tiga tahun, Restoran Star Shine tak pernah surut dari pelanggan bahkan semakin terkenal. Hal itu semakin memantapkan niat saya untuk melakukan kerja sama ini,” ungkapnya.Wanita yang dipanggil Lora itu lagi-lagi tersenyum. Ia menautkan tangannya yang berada di atas meja. “Alhamdulillah, semua ini juga berkat dukungan orang-orang terdekat yang sangat saya sayan
Lora mengangguk paham dan beralih menatap kepala restoran yang bernama Fitri. Ingat dengan Fitri?Fitri ini merupakan karyawan yang dulunya hanya seorang waiter. Ia mengangkat Fitri sebagai kepala restoran karena memiliki kesetiaan sekaligus dedikasi yang tinggi.Selain itu, Fitri juga memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus sehingga mampu mengorganisir kegiatan di restoran dengan sangat baik. Ya, kurang lebih dalam satu setengah tahun ini Fitri menduduki jabatan itu. Lora sangat terbantu dengan adanya Fitri. Pekerjaannya menjadi lebih teratur dan tertata sehingga tidak keteteran.“Apa ada kendala selama satu bulan ini, Mbak Fit?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada. “Belum ada kendala yang serius sih, Mbak. Cuma kami lagi butuh karyawan baru sebagai waiter karena banyak pelanggan baru yang berdatangan. Selain itu, beberapa karyawan juga dimutasi ke restoran cabang,” jawab Fitri.“Oke, kamu open recruitment aja. Nanti kalau udah di tahap wawancara, langsung kabari saya. Biar
Ting! Suara ponsel berdenting tanda adanya pesan masuk. Lora segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja lantas membuka pesan dari Amina, baby sitter si kembar.[Assalamu'alaikum, Mbak Lora. Apa Mbak Lora sibuk? Ini si kembar pengen video call. Kira-kira bisa nggak Mbak?]Keduanya sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman manis. Tanpa membalas pesan itu, ia langsung menekan tombol panggilan video dan menunggu panggilan diangkat.Seperti inilah rutinitasnya setiap hari. Lora akan selalu menyempatkan waktu untuk melakukan video call dengan anak-anaknya agar mereka tidak merasa diabaikan dan kekurangan kasih sayang.“Mama!”Layar ponsel telah berubah dengan menampilkan wajah tampan putranya yang tengah tersenyum ke arah kamera.“Assalamu'alaikum, kesayangan Mama,” sapa Lora dengan sangat ceria.“Ayo, dijawab dulu salam mamanya.” Kali ini suara Amina terdengar meski tidak terlihat di kamera. “Waalaikum…”“Cayam,” sahut Azhar dengan suara lucunya khas balita.Lora tertawa gemas
“Ayah!”Laki-laki itu menoleh dan melepaskan kaca mata melihat lebih jelas dua anak kecil yang sedang berlari ke arahnya. Ia berlutut seraya merentangkan tangannya menyambut mereka.Kedua anak yang berbeda gender itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ia mencium satu persatu kepala mereka dengan penuh kasih sayang. “Anak-anak Ayah.”Beberapa saat kemudian, pelukan ketiganya terlepas. Laki-laki yang dipanggil ‘ayah’ itu beralih mengusap kepala mereka. “Azhar dan Zora kangen tidak dengan Ayah?” tanyanya.“Tanen banet, Ayah,” jawab Azhar dengan wajah cemberut, sedangkan Zora hanya mengangguk saja. “Ayah lama ndak daten.”Laki-laki itu menyunggingkan senyum manis. Seminggu ini ia memang belum mengunjungi si kembar karena ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk menggantikan ayahnya. “Ayah minta maaf, ya, Nak. Ayah ada pekerjaan di luar kota. Banyaaak banget. Ayah jadinya tidak bisa menemui kalian. Maaf, ya, Sayang,” jelasnya sambil mengulurkan tangan sebagai tanda permintaan maaf.
Lora mengangguk lantas ikut bergabung bersama anak-anaknya yang tampak asyik bermain bersama Grissham. Ia tersenyum melihat interaksi mereka layaknya ayah dan anak.Lora tahu, Grissham begitu tulus menyayangi putra-putrinya seperti anak kandungnya sendiri. Sejak si kembar masih bayi, laki-laki itu selalu menyebut dirinya sebagai ayah.Bukan hanya itu saja, Grissham bahkan mengajari mereka agar memanggilnya ayah hingga keterusan sampai sekarang. Laki-laki blesteran itu benar-benar menjadi sosok ayah yang baik untuk si kembar.Berkat Grissham pula, anak-anaknya tidak kekurangan kasih sayang seorang ayah. Mereka juga sangat dekat dan nempel dengan Grissham ketika datang berkunjung.Lora sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Toh, Grissham sendiri yang menginginkannya. Ia tidak pernah meminta Grissham agar menjadi ayahnya si kembar. Semua mengalir begitu saja tanpa adanya paksaan.“Azhar, Zora… sekarang waktunya bobo.”Makan malam bersama telah usai. Amina dan Bi Imah, ART rumah ini, jug
Plak!“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.Sayangnya, ia justru didorong menjauh.Bugh!“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ib
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang