Zelda menggeleng tidak setuju. Perumpamaan macam apa itu? Kekasihnya ini selalu saja merendah. “Kalau kita nggak mencobanya, mana tahu? Kamu nggak capek apa?”“Enam tahun itu bukan waktu yang sebentar, loh. Aku ingin menunjukkan pada dunia kalau kamu adalah kekasih terbaikku.”“Aku nggak ingin lagi sembunyi-sembunyi menemuimu. Kamu nggak capek apa main rahasiaan kek gini?” keluhnya.“Aku juga sama capeknya sepertimu. Tapi seru kan?” Laki-laki itu kembali menatap Zelda dengan senyum jenaka dan menaik-turunkan kedua alisnya untuk menggoda sang kekasih.“Seru apaan? Makin nggak jelas yang ada.” Zelda mendengus keras sambil berdecak kesal. Ia melengos, enggan menatap kekasihnya. “Dulu ada Oma sebagai alasan, terus ditambah lagi ada Naina yang membuatku sering berkunjung.”“Sekarang Oma udah nggak ada, Naina juga udah pergi dari rumah. Jadi, aku nggak punya alasan untuk berkunjung ke rumah itu dan menemuimu,” ujarnya.“Kan ada Grissham,” balas laki-laki itu.Zelda memutar bola mata malas.
Dhafin mengepalkan tangan kuat hingga buku-buku jemarinya tampak memutih. Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Arvan. Sahabatnya itu sejak awal memang sangat mendukungnya berjuang untuk kembali rujuk dengan Naina. Namun, sekarang berbanding terbalik dan malah terkesan membuatnya mundur. Sahabat macam apa itu? Sebenarnya Arvan mendukungnya atau tidak?“Tenang dulu, Dhaf. Jangan keburu emosi.” Arvan menggerakkan tangannya mencegah Dhafin yang tampak seperti ingin memakannya hidup-hidup. Pria itu mengubah posisi duduk menjadi sedikit serong ke arah sahabatnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai menjelaskan. “Aku bilang seperti itu bukan asal bicara, Dhaf. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan.”“Pertama, kamu udah mengucapkan talak dua kepada Naina. Otomatis dalam agama, kalian bukan suami-istri lagi. Itu akan semakin memudahkan kalian untuk berpisah,” katanya.“Aku nggak sengaja,” sanggah Dhafin cepat menyela perkataan Arvan.“Sengaja atau nggak, talak udah
Dhafin keluar ruangan sidang dengan langkah lunglai. Semangat hidupnya telah terenggut bersamaan dengan pembacaan putusan itu. Rumah tangganya dengan Naina resmi telah berakhir. Hatinya hancur berkeping-keping tak lagi berbentuk. Ia baru menyadari perasannya yang mencintai Naina ketika sudah berpisah. Apakah ini yang dinamakan karma?Dari awal persidangan, Naina sama sekali tidak hadir dan hanya diwakilkan oleh Pak Bagas. Entah dimana wanita itu dan sesibuk apa. Sebegitu sakit hatinya kah Naina sampai-sampai enggan bertemu dengannya walau di akhir persidangan ini?“Pak Dhafin.”Dhafin menoleh dan mendapati Pak Bagas yang berjalan menghampirinya. Ia meminta Pak Ridwan untuk pulang duluan karena ada beberapa hal yang ingin dirinya sampaikan kepada Pak Bagas.“Pak Dhafin, ini ada titipan dari Ibu Naina dan meminta saya untuk menyerahkannya kepada Pak Dhafin.” Pak Bagas menyodorkan sebuah cincin yang dimasukkan ke dalam plastik klip kepada Dhafin. Dhafin menerima cincin itu dan mengam
“Senang bekerja sama dengan anda, Bu Lora.” Wanita cantik dengan balutan blezer panjang disertai kerudung segi empat itu menyunggingkan senyum ramah.Ia menyambut uluran tangan pria di depannya yang menjadi kliennya sebagai bentuk kesepakatan.“Terima kasih, Pak. Semoga kerja sama ini saling bisa menguntungkan dan menjadi berkah untuk kita semua.”Keduanya melepaskan jabat tangan mereka.Pria itu ikut tersenyum. “Aamiin.... Bu Lora tahu? Sejak awal restoran ini berdiri, saya ingin sekali mengajukan kerja sama karena saya yakin prospeknya sangat bagus. Saya memantau dulu perkembangannya, Bu.”“Dan ternyata terbukti selama hampir tiga tahun, Restoran Star Shine tak pernah surut dari pelanggan bahkan semakin terkenal. Hal itu semakin memantapkan niat saya untuk melakukan kerja sama ini,” ungkapnya.Wanita yang dipanggil Lora itu lagi-lagi tersenyum. Ia menautkan tangannya yang berada di atas meja. “Alhamdulillah, semua ini juga berkat dukungan orang-orang terdekat yang sangat saya sayan
Lora mengangguk paham dan beralih menatap kepala restoran yang bernama Fitri. Ingat dengan Fitri?Fitri ini merupakan karyawan yang dulunya hanya seorang waiter. Ia mengangkat Fitri sebagai kepala restoran karena memiliki kesetiaan sekaligus dedikasi yang tinggi.Selain itu, Fitri juga memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus sehingga mampu mengorganisir kegiatan di restoran dengan sangat baik. Ya, kurang lebih dalam satu setengah tahun ini Fitri menduduki jabatan itu. Lora sangat terbantu dengan adanya Fitri. Pekerjaannya menjadi lebih teratur dan tertata sehingga tidak keteteran.“Apa ada kendala selama satu bulan ini, Mbak Fit?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada. “Belum ada kendala yang serius sih, Mbak. Cuma kami lagi butuh karyawan baru sebagai waiter karena banyak pelanggan baru yang berdatangan. Selain itu, beberapa karyawan juga dimutasi ke restoran cabang,” jawab Fitri.“Oke, kamu open recruitment aja. Nanti kalau udah di tahap wawancara, langsung kabari saya. Biar
Ting! Suara ponsel berdenting tanda adanya pesan masuk. Lora segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja lantas membuka pesan dari Amina, baby sitter si kembar.[Assalamu'alaikum, Mbak Lora. Apa Mbak Lora sibuk? Ini si kembar pengen video call. Kira-kira bisa nggak Mbak?]Keduanya sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman manis. Tanpa membalas pesan itu, ia langsung menekan tombol panggilan video dan menunggu panggilan diangkat.Seperti inilah rutinitasnya setiap hari. Lora akan selalu menyempatkan waktu untuk melakukan video call dengan anak-anaknya agar mereka tidak merasa diabaikan dan kekurangan kasih sayang.“Mama!”Layar ponsel telah berubah dengan menampilkan wajah tampan putranya yang tengah tersenyum ke arah kamera.“Assalamu'alaikum, kesayangan Mama,” sapa Lora dengan sangat ceria.“Ayo, dijawab dulu salam mamanya.” Kali ini suara Amina terdengar meski tidak terlihat di kamera. “Waalaikum…”“Cayam,” sahut Azhar dengan suara lucunya khas balita.Lora tertawa gemas
“Ayah!”Laki-laki itu menoleh dan melepaskan kaca mata melihat lebih jelas dua anak kecil yang sedang berlari ke arahnya. Ia berlutut seraya merentangkan tangannya menyambut mereka.Kedua anak yang berbeda gender itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ia mencium satu persatu kepala mereka dengan penuh kasih sayang. “Anak-anak Ayah.”Beberapa saat kemudian, pelukan ketiganya terlepas. Laki-laki yang dipanggil ‘ayah’ itu beralih mengusap kepala mereka. “Azhar dan Zora kangen tidak dengan Ayah?” tanyanya.“Tanen banet, Ayah,” jawab Azhar dengan wajah cemberut, sedangkan Zora hanya mengangguk saja. “Ayah lama ndak daten.”Laki-laki itu menyunggingkan senyum manis. Seminggu ini ia memang belum mengunjungi si kembar karena ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk menggantikan ayahnya. “Ayah minta maaf, ya, Nak. Ayah ada pekerjaan di luar kota. Banyaaak banget. Ayah jadinya tidak bisa menemui kalian. Maaf, ya, Sayang,” jelasnya sambil mengulurkan tangan sebagai tanda permintaan maaf.
Lora mengangguk lantas ikut bergabung bersama anak-anaknya yang tampak asyik bermain bersama Grissham. Ia tersenyum melihat interaksi mereka layaknya ayah dan anak.Lora tahu, Grissham begitu tulus menyayangi putra-putrinya seperti anak kandungnya sendiri. Sejak si kembar masih bayi, laki-laki itu selalu menyebut dirinya sebagai ayah.Bukan hanya itu saja, Grissham bahkan mengajari mereka agar memanggilnya ayah hingga keterusan sampai sekarang. Laki-laki blesteran itu benar-benar menjadi sosok ayah yang baik untuk si kembar.Berkat Grissham pula, anak-anaknya tidak kekurangan kasih sayang seorang ayah. Mereka juga sangat dekat dan nempel dengan Grissham ketika datang berkunjung.Lora sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Toh, Grissham sendiri yang menginginkannya. Ia tidak pernah meminta Grissham agar menjadi ayahnya si kembar. Semua mengalir begitu saja tanpa adanya paksaan.“Azhar, Zora… sekarang waktunya bobo.”Makan malam bersama telah usai. Amina dan Bi Imah, ART rumah ini, jug