Naina sedang menggendong baby Zora sambil diayun-ayunkan. Tangannya menepuk-nepuk pant*t sang anak dengan bibir yang senantiasa menyenandungkan sholawat.Malam ini baby Zora kembali rewel. Tubuhnya tidak lagi demam tinggi melainkan hanya hangat. Mungkin karena merasakan badannya yang sakit menjadikan bayi itu merengek terus.Untungnya, baby Azhar bisa diajak kompromi. Bayi itu seakan mengerti dengan kondisi adik kembarnya yang sedang sakit sehingga tidak menuntut banyak dan lebih anteng.Naina menunduk melihat putrinya yang sudah tidur dengan lelap. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya. “Adek Zora bobo di kasur, ya, biar lebih leluasa bobonya.”Dengan sangat perlahan, wanita itu melepaskan gendongan jarik lalu membaringkan baby Zora di samping baby Azhar yang sudah lebih dulu tertidur.Baby Zora menggeliat dengan mengusap-usap wajahnya menggunakan tangan mungilnya. Naina dengan sigap menepuk-nepuk pelan paha putrinya agar tidak terbangun. “Sssttt….”Ia mencium kening satu-persatu putra
Tuan Albern tampak menghela napas. “Apa yang dikatakan Pak Firman memang benar, Naina. Kau mendapatkan sebagian harta warisan peninggalan ibu saya dan beberapa asetnya.” “Tapi kenapa harus saya, Tuan? Masih ada Zelda dan Kak Grissham sebagai cucu kandung Oma Hira, sementara saya ini bukan siapa-siapa,” sanggah Naina masih tak menyangka.“Harta warisan ini murni milik ibuku. Semua anak dan cucunya sudah mendapatkan bagian masing-masing. Ini merupakan wasiat dari Ibu untuk memberikannya kepadamu, Naina,” ujar Tuan Albern.Pak Firman menyodorkan sebuah map yang berisi sejumlah kertas beserta bulpoint ke arah Naina. “Ini, Bu. Silakan dibaca lalu ditandatangani berkas pengalihan aset atas nama Ibu Naina.”Naina membaca dengan seksama semua berkas itu. “Restoran Star Shine diberikan untukku?” tanya Naina menatap Tuan Albern meminta penjelasan.Tuan Albern menganggukkan kepalanya. “Dari awal restoran dibeli memang tujuannya untuk diberikan kepadamu. Ibu memang tidak bilang apapun, tetapi sa
Pertanyaan dari Tuan Albern itu membuat Naina tersadar. Ia mengusap kedua pipinya yang basah lalu menatap berkas-berkas di atas meja.“Tolong, terima peninggalan Ibu karena merupakan wasiat terakhir dari beliau. Saya hanya menjalankan amanah saja,” kata Tuan Albern lagi.Naina memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan tegas, “baiklah, saya menerimanya. Saya bersedia menjalankan wasiat dari Oma Hira dengan sebaik mungkin.”Ia meraih pulpen bersiap untuk menandatangani berkas pengalihan aset. “Apa saja yang perlu saya tanda tangani?”Pak Firman menjelaskan sekaligus memberikan arahan kepada Naina mengenai dokumen mana saja yang wajib ditandatangani.“Terima kasih atas kerja samanya, Bu Naina,” ujarnya ketika Naina telah selesai membubuhkan tanda tangannya.“Seharusnya saya yang berterima kasih, Pak. Saya merasa tidak pantas mendapatkannya,” balas Naina dengan kepala tertunduk sambil memainkan jemari di pangkuannya.“Kau pantas dan berhak, Naina. Ibu sa
Naina membulatkan matanya terkejut mendengarkan kata pedas yang terlontar dari mulut Evan. Seketika, hatinya berdenyut sakit disertai rasa perih tak terkira. “Apa maksudmu? Aku tidak hidup di bawah belas kasihan orang lain!” sanggahnya tidak terima.“Oh ya?” Evan tersenyum miring terkesan mengejeknya. “Kau lupa diri rupanya. Baiklah, biar kuingatkan kembali. Kau tinggal bersama kami di kelurga Steward berkat siapa?”“Kau mempunyai karir yang bagus, menjadi model dan pengelola restoran, semua itu berkat siapa? Kau berada di titik ini berkat siapa?”“Itu apa namanya kalau bukan hidup di bawah belas kasihan orang lain? Tanpa bantuan Zelda dan Oma, kau takkan bisa seperti sekarang,” cercanya.Naina mengeraskan rahangnya dengan tatapan yang menyorot tajam ke arah Evan. “Kau tak tahu apapun! Jangan seenaknya menjudge-ku!” Evan tersenyum berhasil membuat emosi Naina terpancing. “Siapa bilang aku tak tahu apapun, hm? Sebelum kau diterima Oma tinggal di rumah, aku sudah lebih dulu mencari ta
Zelda berada di sebuah restoran sedang menunggu kedatangan seseorang. Jam makan siang ini ia menyempatkan waktu untuk menemui orang itu karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.Perempuan berdarah campuran itu belum memesan makanan, melainkan hanya minuman karena ingin makan siang bersama dengan orang itu. Ia mengaduk-ngaduk jusnya sambil sesekali menatap jam tangannya.“Hai, Sayang.”Seorang laki-laki tampan yang mengenakan kemeja navy datang disertai senyuman manis lalu mencium pucuk kepala Zelda. Ia mengambil tempat duduk di hadapan perempuan yang menjadi kekasihnya ini. Zelda memasang wajah cemberut dengan bibir manyun. Ia mengetuk-mengetuk jam tangannya sebagai isyarat bahwa laki-laki itu datang melewati waktu yang dijanjikan.Laki-laki berkulit cerah itu terkekeh kecil menahan gemas. “Iya, aku sadar, aku telat. Aku minta maaf, ya, soalnya tadi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu di kantor.”“Dimaafin!” balas Zelda tidak ikhlas.Laki-laki itu tersenyum, memanggil wai
Zelda menggeleng tidak setuju. Perumpamaan macam apa itu? Kekasihnya ini selalu saja merendah. “Kalau kita nggak mencobanya, mana tahu? Kamu nggak capek apa?”“Enam tahun itu bukan waktu yang sebentar, loh. Aku ingin menunjukkan pada dunia kalau kamu adalah kekasih terbaikku.”“Aku nggak ingin lagi sembunyi-sembunyi menemuimu. Kamu nggak capek apa main rahasiaan kek gini?” keluhnya.“Aku juga sama capeknya sepertimu. Tapi seru kan?” Laki-laki itu kembali menatap Zelda dengan senyum jenaka dan menaik-turunkan kedua alisnya untuk menggoda sang kekasih.“Seru apaan? Makin nggak jelas yang ada.” Zelda mendengus keras sambil berdecak kesal. Ia melengos, enggan menatap kekasihnya. “Dulu ada Oma sebagai alasan, terus ditambah lagi ada Naina yang membuatku sering berkunjung.”“Sekarang Oma udah nggak ada, Naina juga udah pergi dari rumah. Jadi, aku nggak punya alasan untuk berkunjung ke rumah itu dan menemuimu,” ujarnya.“Kan ada Grissham,” balas laki-laki itu.Zelda memutar bola mata malas.
Dhafin mengepalkan tangan kuat hingga buku-buku jemarinya tampak memutih. Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Arvan. Sahabatnya itu sejak awal memang sangat mendukungnya berjuang untuk kembali rujuk dengan Naina. Namun, sekarang berbanding terbalik dan malah terkesan membuatnya mundur. Sahabat macam apa itu? Sebenarnya Arvan mendukungnya atau tidak?“Tenang dulu, Dhaf. Jangan keburu emosi.” Arvan menggerakkan tangannya mencegah Dhafin yang tampak seperti ingin memakannya hidup-hidup. Pria itu mengubah posisi duduk menjadi sedikit serong ke arah sahabatnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai menjelaskan. “Aku bilang seperti itu bukan asal bicara, Dhaf. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan.”“Pertama, kamu udah mengucapkan talak dua kepada Naina. Otomatis dalam agama, kalian bukan suami-istri lagi. Itu akan semakin memudahkan kalian untuk berpisah,” katanya.“Aku nggak sengaja,” sanggah Dhafin cepat menyela perkataan Arvan.“Sengaja atau nggak, talak udah
Dhafin keluar ruangan sidang dengan langkah lunglai. Semangat hidupnya telah terenggut bersamaan dengan pembacaan putusan itu. Rumah tangganya dengan Naina resmi telah berakhir. Hatinya hancur berkeping-keping tak lagi berbentuk. Ia baru menyadari perasannya yang mencintai Naina ketika sudah berpisah. Apakah ini yang dinamakan karma?Dari awal persidangan, Naina sama sekali tidak hadir dan hanya diwakilkan oleh Pak Bagas. Entah dimana wanita itu dan sesibuk apa. Sebegitu sakit hatinya kah Naina sampai-sampai enggan bertemu dengannya walau di akhir persidangan ini?“Pak Dhafin.”Dhafin menoleh dan mendapati Pak Bagas yang berjalan menghampirinya. Ia meminta Pak Ridwan untuk pulang duluan karena ada beberapa hal yang ingin dirinya sampaikan kepada Pak Bagas.“Pak Dhafin, ini ada titipan dari Ibu Naina dan meminta saya untuk menyerahkannya kepada Pak Dhafin.” Pak Bagas menyodorkan sebuah cincin yang dimasukkan ke dalam plastik klip kepada Dhafin. Dhafin menerima cincin itu dan mengam